Senin, 11 Februari 2013

Waspadai Komunikasi Manipulatif


Waspadai Komunikasi Manipulatif
S Sinansari Ecip ;   Pernah delapan tahun menjadi Anggota Association for Education in Journalism and Mass Communication, Amerika Serikat
KOMPAS, 11 Februari 2013


Isi pesan yang tidak sebenarnya karena rekayasa, itulah inti komunikasi manipulatif.
Istilah komunikasi manipulatif pernah diucapkan Prof Dr Santoso Hamidjoyo. Dapat terjadi pesan melalui media penuh kepentingan: mulai dari peng-”arah”-an pesan, penyajian pesan berat sebelah, sampai penyodoran kebohongan. Kebohongan acap tiba-tiba jadi komoditas sebab pers tak tampil profesional.

Berita tentang Raffi Ahmad kurang berimbang. Benarkah di rumahnya berlangsung hiruk-pikuk pesta narkoba? Benarkah yang dikuntit petugas Badan Narkotika Nasional semula adalah teman Raffi dan tidak tahu rumah yang dituju itu rumah Raffi? Bagaimana jika Raffi minum barang baru itu karena tidak tahu? Sebagian besar pers tidak memberikan jawabannya.

Juga berita tentang korupsi yang menyangkut petinggi satu parpol. Apakah tersangka dijemput di kantor parpolnya atau di hotel? Siapa sebenarnya perempuan muda yang ditemukan di hotel LM? Mengapa dia diberi uang oleh teman si tersangka? Janganlah pers menghakimi.

Kurang Gigih

Belum lagi berita-berita lain sebelumnya, yang hampir semuanya menyisakan sejumlah pertanyaan bagi khalayak. Berita-berita tersebut tidak tuntas, sengaja, atau tidak sengaja. Pers hanya terima berita jadi yang diberikan oleh sumber-sumber resmi yang isinya bias. Wartawan masih kurang melakukan pengejaran informasi tersembunyi.

Pers kurang berusaha lebih gigih untuk mencari informasi. Mereka tidak mencari tambahan berita di luar sumber resmi, yang sebenarnya juga berkewenangan memberi informasi meskipun mereka, misalnya, penarik ojek atau penjual gorengan. Pengecekan dan pengecekan ulang tidak dilakukan, sementara hal itu adalah kewajiban pers seperti disebut dalam UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik.

Informasi melalui media massa bagi sebagian besar khalayak sudah merupakan kebutuhan pokok. Bagaimana jika kebiasaan sajian berita tak berimbang, bahkan menghakimi, disuguhkan dalam kaitan kampanye pemilu yang sudah mulai panas? Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilu, dan Komisi Penyiaran Indonesia kali ini harus lebih ketat menata dan mengawasi kampanye lewat media. Jangan ragu menjatuhkan sanksi.

Dalam kaitan itu, perhatikan grup-grup media. Ada grup MNC (RCTI dkk). Meski pemiliknya keluar dari Nasdem, bukan berarti bebas diawasi. Ada pula TVOne dkk. Lalu Metro TV dkk, Kompas dkk, dan Jawa Pos dkk. Mereka juga punya media yang lain, yaitu media cetak, radio, dan media online (dot.com).

Ada yang beralasan, antara lain, jika MetroTV dan TVOne benar dicurigai sebagai ”corong” pemiliknya, maka yang menang dalam pemilu adalah Golkar dan presidennya, bukan SBY. Pendapat tersebut kurang tepat. Penilaiannya adalah tampilan di media, bukan hasilnya.

Perhatikan hasil riset Pusat Kajian Media dan Jurnalistik pada Februari, Maret, dan April 2012. Yang diteliti berita parpol di dua stasiun TV berita. Beberapa kesimpulannya menarik.

Pertama, kekhawatiran sejumlah kalangan bahwa stasiun TV digunakan pemiliknya untuk kepentingan golongan tertentu telah terjadi. Kedua, satu parpol besar paling banyak diberitakan (kasus korupsi) dan parpol baru (pencitraan; hanya di satu stasiun TV, sama sekali tidak dilakukan oleh satu stasiun TV yang lain). Ketiga, frekuensi radio yang dipakai stasiun TV adalah milik publik semestinya digunakan untuk kepentingan publik, bukan untuk golongan tertentu. Keempat, iklan satu parpol ditayangkan di satu stasiun TV 1.112 kali (apakah pajaknya sudah dibayar). Kelima, sebagian besar berita parpol di kedua stasiun TV tak berimbang; mayoritas faktanya hanya satu sisi.

Dalam teori, jurnalisme itu mulia, idealistis, dan jujur. Namun, dalam praktiknya, harus diakui sebagian kurang (bukan tidak) mulia, kurang ideal, dan kurang jujur. Jika ada penyalahgunaan media dengan praktik jurnalisme menyimpang, akuilah. Lalu perbaiki ramai-ramai. Sering dilakukan peningkatan kemampuan profesionalisme jurnalisme, tetapi dalam pemakaiannya masih rendah.

Bambang Sadono, tokoh pers dan mantan anggota DPR yang ikut melahirkan UU Pers, dalam suatu diskusi di Gedung Antara beberapa waktu lalu, mengkritik putusan sengketa jurnalisme. Jalan tengah (mediasi) yang dilakukan Dewan Pers selalu merujuk pada penggunaan hak jawab. Mereka yang dirugikan dipersilakan membuat pembelaan yang benar sesuai versinya jika dirugikan media. Ini dinilainya kurang tepat. Dia menganjurkan sengketa diteruskan ke pengadilan supaya ada putusan yang lebih kuat.

Jika itu dilakukan, proses akan berkepanjangan. Diskusi tentang ini akan lama, tetapi perlu mendapat perhatian. Bukankah setiap orang di depan hukum harus dianggap dan diperlakukan sama? Kenapa ”orang” yang berprofesi wartawan mendapat ”hak” untuk tidak sama di depan hukum?

Konglomerasi

Hal berikutnya yang perlu perhatian adalah pemilik modal dalam praktik jurnalisme: apakah ikut campur manajemen redaksi? Bisa ya, bisa tidak. Campur tangan dapat dilakukan dengan terang-terangan atau tersamar.

Pada media cetak bisa terjadi pemodal ikut dalam rapat redaksi dan pada kasus-kasus tertentu ikut menentukan arah peliputan. Keterlibatan pemodal bisa tersamar. Misalnya dalam bentuk bahasa tubuh. Anggota redaksi dengan bijak akan menerjemahkannya dengan tepat. Hanya sedikit media bermutu yang benar-benar pemiliknya sama sekali tidak mau tahu praktik politik pemberitaan redaksinya.

Dasar liputan media adalah obyektif yang subyektif, seperti diucapkan Jakob Oetama dalam orasi penerimaan gelar doktor honoris causa di Universitas Gadjah Mada, tempo hari. Subyektivitasnya akan terlihat matang atau tidak. Kematangan akan menunjukkan subyektivitas yang mendekati titik obyektivitas. Orang-orang yang berpengalaman di media akan mudah memahami apa yang terjadi.

Massa atau khalayak media punya hak mengoreksi media. Undang-Undang Pers menyebutnya sebagai hak koreksi. Dalam kaitan itulah, massa aktif media yang jumlahnya sedikit dibanding massa pasif, mengkritisi media. Media watch menggunakan hak tersebut. Setelah 1998, berdiri banyak media watch di Indonesia dengan dana bantuan dari luar negeri. Kini dana tersebut sudah sangat berkurang.

Kembali ke pernyataan Prof Dr Santoso Hamidjoyo tentang komunikasi manipulatif, jurnalisme mensyaratkan salah satu dasarnya adalah faktualitas. Liputan media tidak bisa tidak harus faktual. Wartawan yang tepercaya harus bergeming di sini, tidak menggeserkannya.

Kebohongan tidak dibenarkan dalam UU Pers dan Kode Etik Jurnalisme, apalagi jika dijadikan komoditas. Penampilan kebohongan dalam praktik jurnalisme berarti terjadi komunikasi yang manipulatif. Jangan sampai itu adalah pesanan pemilik modal. Kepemilikan media yang sangat kuat dan besar (konglomerasi) cenderung berbuat yang berlebihan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar