Isi pesan yang tidak sebenarnya karena rekayasa, itulah inti
komunikasi manipulatif.
Istilah komunikasi manipulatif pernah diucapkan Prof Dr Santoso
Hamidjoyo. Dapat terjadi pesan melalui media penuh kepentingan: mulai dari
peng-”arah”-an pesan, penyajian pesan berat sebelah, sampai penyodoran
kebohongan. Kebohongan acap tiba-tiba jadi komoditas sebab pers tak tampil
profesional.
Berita tentang Raffi Ahmad kurang berimbang. Benarkah di rumahnya
berlangsung hiruk-pikuk pesta narkoba? Benarkah yang dikuntit petugas Badan
Narkotika Nasional semula adalah teman Raffi dan tidak tahu rumah yang
dituju itu rumah Raffi? Bagaimana jika Raffi minum barang baru itu karena
tidak tahu? Sebagian besar pers tidak memberikan jawabannya.
Juga berita tentang korupsi yang menyangkut petinggi satu parpol.
Apakah tersangka dijemput di kantor parpolnya atau di hotel? Siapa
sebenarnya perempuan muda yang ditemukan di hotel LM? Mengapa dia diberi
uang oleh teman si tersangka? Janganlah pers menghakimi.
Kurang Gigih
Belum lagi berita-berita lain sebelumnya, yang hampir semuanya
menyisakan sejumlah pertanyaan bagi khalayak. Berita-berita tersebut tidak
tuntas, sengaja, atau tidak sengaja. Pers hanya terima berita jadi yang
diberikan oleh sumber-sumber resmi yang isinya bias. Wartawan masih kurang
melakukan pengejaran informasi tersembunyi.
Pers kurang berusaha lebih gigih untuk mencari informasi. Mereka
tidak mencari tambahan berita di luar sumber resmi, yang sebenarnya juga
berkewenangan memberi informasi meskipun mereka, misalnya, penarik ojek
atau penjual gorengan. Pengecekan dan pengecekan ulang tidak dilakukan,
sementara hal itu adalah kewajiban pers seperti disebut dalam UU Pers dan
Kode Etik Jurnalistik.
Informasi melalui media massa bagi sebagian besar khalayak sudah
merupakan kebutuhan pokok. Bagaimana jika kebiasaan sajian berita tak
berimbang, bahkan menghakimi, disuguhkan dalam kaitan kampanye pemilu yang
sudah mulai panas? Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilu, dan Komisi
Penyiaran Indonesia kali ini harus lebih ketat menata dan mengawasi
kampanye lewat media. Jangan ragu menjatuhkan sanksi.
Dalam kaitan itu, perhatikan grup-grup media. Ada grup MNC (RCTI
dkk). Meski pemiliknya keluar dari Nasdem, bukan berarti bebas diawasi. Ada
pula TVOne dkk. Lalu Metro TV dkk, Kompas dkk, dan Jawa Pos dkk. Mereka
juga punya media yang lain, yaitu media cetak, radio, dan media online
(dot.com).
Ada yang beralasan, antara lain, jika MetroTV dan TVOne benar
dicurigai sebagai ”corong” pemiliknya, maka yang menang dalam pemilu adalah
Golkar dan presidennya, bukan SBY. Pendapat tersebut kurang tepat.
Penilaiannya adalah tampilan di media, bukan hasilnya.
Perhatikan hasil riset Pusat Kajian Media dan Jurnalistik pada
Februari, Maret, dan April 2012. Yang diteliti berita parpol di dua stasiun
TV berita. Beberapa kesimpulannya menarik.
Pertama, kekhawatiran sejumlah kalangan bahwa stasiun TV digunakan
pemiliknya untuk kepentingan golongan tertentu telah terjadi. Kedua, satu
parpol besar paling banyak diberitakan (kasus korupsi) dan parpol baru
(pencitraan; hanya di satu stasiun TV, sama sekali tidak dilakukan oleh
satu stasiun TV yang lain). Ketiga, frekuensi radio yang dipakai stasiun TV
adalah milik publik semestinya digunakan untuk kepentingan publik, bukan
untuk golongan tertentu. Keempat, iklan satu parpol ditayangkan di satu
stasiun TV 1.112 kali (apakah pajaknya sudah dibayar). Kelima, sebagian
besar berita parpol di kedua stasiun TV tak berimbang; mayoritas faktanya
hanya satu sisi.
Dalam teori, jurnalisme itu mulia, idealistis, dan jujur. Namun,
dalam praktiknya, harus diakui sebagian kurang (bukan tidak) mulia, kurang
ideal, dan kurang jujur. Jika ada penyalahgunaan media dengan praktik
jurnalisme menyimpang, akuilah. Lalu perbaiki ramai-ramai. Sering dilakukan
peningkatan kemampuan profesionalisme jurnalisme, tetapi dalam pemakaiannya
masih rendah.
Bambang Sadono, tokoh pers dan mantan anggota DPR yang ikut
melahirkan UU Pers, dalam suatu diskusi di Gedung Antara beberapa waktu
lalu, mengkritik putusan sengketa jurnalisme. Jalan tengah (mediasi) yang
dilakukan Dewan Pers selalu merujuk pada penggunaan hak jawab. Mereka yang
dirugikan dipersilakan membuat pembelaan yang benar sesuai versinya jika
dirugikan media. Ini dinilainya kurang tepat. Dia menganjurkan sengketa
diteruskan ke pengadilan supaya ada putusan yang lebih kuat.
Jika itu dilakukan, proses akan berkepanjangan. Diskusi tentang ini
akan lama, tetapi perlu mendapat perhatian. Bukankah setiap orang di depan
hukum harus dianggap dan diperlakukan sama? Kenapa ”orang” yang berprofesi
wartawan mendapat ”hak” untuk tidak sama di depan hukum?
Konglomerasi
Hal berikutnya yang perlu perhatian adalah pemilik modal dalam
praktik jurnalisme: apakah ikut campur manajemen redaksi? Bisa ya, bisa
tidak. Campur tangan dapat dilakukan dengan terang-terangan atau tersamar.
Pada media cetak bisa terjadi pemodal ikut dalam rapat redaksi dan
pada kasus-kasus tertentu ikut menentukan arah peliputan. Keterlibatan
pemodal bisa tersamar. Misalnya dalam bentuk bahasa tubuh. Anggota redaksi
dengan bijak akan menerjemahkannya dengan tepat. Hanya sedikit media
bermutu yang benar-benar pemiliknya sama sekali tidak mau tahu praktik
politik pemberitaan redaksinya.
Dasar liputan media adalah obyektif yang subyektif, seperti diucapkan
Jakob Oetama dalam orasi penerimaan gelar doktor honoris causa di
Universitas Gadjah Mada, tempo hari. Subyektivitasnya akan terlihat matang
atau tidak. Kematangan akan menunjukkan subyektivitas yang mendekati titik
obyektivitas. Orang-orang yang berpengalaman di media akan mudah memahami
apa yang terjadi.
Massa atau khalayak media punya hak mengoreksi media. Undang-Undang
Pers menyebutnya sebagai hak koreksi. Dalam kaitan itulah, massa aktif
media yang jumlahnya sedikit dibanding massa pasif, mengkritisi media.
Media watch menggunakan hak tersebut. Setelah 1998, berdiri banyak media
watch di Indonesia dengan dana bantuan dari luar negeri. Kini dana tersebut
sudah sangat berkurang.
Kembali ke pernyataan Prof Dr Santoso Hamidjoyo tentang komunikasi
manipulatif, jurnalisme mensyaratkan salah satu dasarnya adalah
faktualitas. Liputan media tidak bisa tidak harus faktual. Wartawan yang
tepercaya harus bergeming di sini, tidak menggeserkannya.
Kebohongan tidak dibenarkan dalam UU Pers dan Kode Etik Jurnalisme,
apalagi jika dijadikan komoditas. Penampilan kebohongan dalam praktik
jurnalisme berarti terjadi komunikasi yang manipulatif. Jangan sampai itu
adalah pesanan pemilik modal. Kepemilikan media yang sangat kuat dan besar
(konglomerasi) cenderung berbuat yang berlebihan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar