Minggu, 10 Februari 2013

Tavip


Tavip
Sarlito Wirawan Sarwono ;   Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
SINDO, 10 Februari 2013


Tavip adalah nama yang cukup populer untuk orang Indonesia. Seorang mantan mahasiswa saya di Program Studi Ilmu Kepolisian UI bernama Drs Tavip Yulianto MSi, ketika itu menjabat sebagai Kapolres Bekasi. 

Mbah Google mencatat ada 25 orang profesional bernama Tavip yang menggunakan Linkedin. Bahkan ada pasar di Binjai yang bernama Pasar Tavip. Buat yang tidak tahu,nama Tavip tentunya dianggap sama saja dengan nama lainnya seperti nama Sarlito atau Sarimin. Tetapi kalau diperhatikan baikbaik, semua yang bernama Tavip lahir sesudah tanggal 17 Agustus 1964 karena pada hari itulah Bung Karno mengucapkan pidato kenegaraannya yang rutin diadakan setiap tanggal 17 Agustus (seperti biasa: durasi pidato bisa sampai dua jam dan orang tidak bosan mendengarkannya), yang berjudul “Tahun Viviere Pericoloso”. 

Judul pidato itu diambil dari bahasa Italia (zaman sekarang tidak ada yang terpikir bahasa Italia, malah bisa-bisa dihujat umat yang lebih afdal menggunakan bahasa Arab), yang artinya “tahun menyerempet-nyerempet bahaya”, jadi memang menggambarkan kondisi NKRI yang sudah sangat kritis itu (sekitar setahun sebelum peristiwa G 30 S). Lebih hebat lagi, pidato itu kemudian dibuat film berjudul The Years of Living Dangerously yang dibintangi antara lain oleh Mel Gibson, Sigourney Weaver, dan Linda Hunt. 

Film ini dibuat di Filipina, membuahkan Oscar untuk bintang-bintangnya, tetapi dicekal di Indonesia. Walaupun begitu, saya sempat menontonnya di Jifest (Jakarta Internasional Film Festival) dan menurut saya yang mantan aktivis Angkatan 66, film itu jelek sekali. Beberapa adegan menggambarkan Bung Karno dan beberapa tokoh politik sedang berada di Hotel Indonesia, tetapi Hotel Indonesia yang digambarkan di film (hotel sederhana dengan pelayan berpakaian teluk belanga,lengkap dengan peci dan sarungnya) jauh sekali dengan HI yang sesungguhnya pada waktu itu, yang megah dan modern dengan pelayan yang berjas-berdasi (dan yang sekarang kebanjiran.... hehehe).

Apalagi isi ceritanya.Jauh dari kenyataan yang ada di Jakarta ketika itu. Pokoknya, menurut saya, film itu adalah pembohongan (bukan “kebohongan”) publik. Tetapi,memang benar,tahun 1964-1967 adalah “Tahun Viviere Pericoloso”, tahun menyerempet-nyerempet bahaya. Salah satu bahaya riil yang saya alami sendiri adalah bus Tavip yang rutin membawa kami mahasiswa UI dari Kampus Salemba/Diponegoro ke Rawamangun. 

Dengan Keppres No 12/1966 pemerintah membuat perusahaan bus kota yang dinamakan Tavip. Sebagian busnya bermerek Robur bikinan Hungaria (ketika itu Indonesia masih akrab dengan negara-negara komunis), tetapi sebagian besar lainnya dikerahkan dari truk-truk kantor-kantor pemerintah yang dalam Keppres 12/1966 yang masih ditandatangani oleh Presiden Soekarno itu diperintahkan untuk menyerahkan truk-truknya ke perusahaan bus Kota Tavip. 

Truk-truk itu kemudian dikelola dan dimodifikasi oleh perusahaan bus Tavip. Dibuatkan atap dari terpal dan bangku menyamping seperti truk militer pengangkut personel, di tengah penumpang berdiri berpegangan pada talitali yang sudah disiapkan. Untuk naik-turunnya, penumpang menggunakan tangga di belakang truk dibantu seutas tali besar untuk bergelantungan. Sopir tidak melihat apa yang terjadi di belakang. 

Dia hanya mengandalkan komando kenek. Kalau kenek sudah teriak, “Tarik!”, truk pun melaju. Salah-salah penumpang yang belum mapan betul naik ke truk bisa terjengkang ke belakang. Betul-betul viviere pericoloso. Anehnya pada waktu itu,setahu saya, tidak banyak kecelakaan dengan penggunaan bus ajaib itu.

Dibandingkan dengan zaman sekarang, manajemen transportasi kota zaman Orde Lama sangat amburadul. Suatu kemunduran drastis dari sistem transportasi umum zaman Belanda, di mana masih ada trem dan bus kota yang terpadu dengan angkutan air (Alwi Shahab,“Batavia Kota Banjir”: 2009). Zaman sekarang sistem angkutan umum kita (di Jakarta) sebenarnya sudah sangat maju. Bahkan lebih maju dari sebagian kota besar lain. Di Jakarta, kita bisa menggunakan transportasi umum door-to door. Anda bisa naik ojek atau bajai dari depan rumah, ke terminal bus Transjakarta, atau stasiun kereta api ring road, terus naik ojek atau bajai lagi ke kantor. 

Di kota-kota lain, kita harus jalan kaki dulu, kadang-kadang sampai beberapa blok atau 15 menit jalan kaki sebelum mencapai stasiun MRT atau stopan bus kota, dari stasiun/stopan tujuan, masih harus jalan lagi ke tempat tujuan. Kalau mau door-to-door di luar negeri, ya naik taksilah. Tetapi, justru sekarang ini rasanya kok banyak sekali masalah dengan sistem angkutan kota kita. Disediakan KRL (kereta rel listrik) dari Bogor langsung ke Jakarta Kota lewat Manggarai, penumpang malah duduk di atap kereta, jatuh, mati! Sudah dilarang, malah ditakut-takuti dengan Polsus KA (Polisi Khusus Kereta Api), malah Polsusnya yang takut. 

Mungkin karena nama perusahaannya tidak jauh-jauh dari DKA (duduk di atas kereta api), PJKA (penumpang jalan-jalan di atas kereta api), atau Perumka (penumpang ngerumpi di atas kereta api),atap kereta api selalu sarat penumpang. Bukan di kereta api saja kecelakaan demi kecelakaan terjadi. Jalur busway dilewati motor, tertabrak bus Transjakarta, terjungkal, tergilas...mati! Atau bus Transjakarta yang mewah dan ber-BBG (bahan bakar gas) tiba-tiba terbakar sehingga memacetkan rangkaian bus Transjakarta lain di belakangnya. Jadi orang memilih naik kendaraan pribadi saja, khususnya motor (roda dua). 

Akibatnya jalanan penuh dengan roda dua, sodok sana-sodok sini. Kalau dia yang tersenggol, dan jatuh, dia yang marah duluan. Jadi sebetulnya bukan hanya pada tahun-tahun 1964-1967 bangsa ini terancam viviere pericoloso. Bangsa ini bahkan tidak pernah lepas dari viviere pericoloso, menyerempet- nyerempet bahaya dalam setiap aspek kehidupan. Bantaran sungai rawan banjir tetap saja dijadikan kawasan hunian oleh para penghuni liar. 

Wagub Basuki sudah menawarkan kepada mereka untuk pindah ke rumah susun. Pindah, bukan transmigrasi ke luar Jawa. Tetapi, mereka menolak, malah minta pemprov menyediakan lahan di bantaran sungai itu juga untuk mereka mendirikan lagi rumah-rumah mereka yang sudah tersapu oleh banjir. Loh, ini bagaimana sih? Gubernur kok disuruh melawan hukum sendiri? Dengan perkataan lain, di benak sebagian terbesar masyarakat Indonesia, baik pemimpin maupun rakyatnya sendiri, tidak banyak pemikiran jangka panjang, strategis ke depan bagaimana, bagaimana melindungi dan melestarikan lingkungan dan sebagainya. 

Jangan heran kalau buruh yang tiap tahun UMR-nya naik, masih juga merongrong pemerintah dengan minta kenaikan UMR lagi. Setiap tahun sehingga akhirnya pun pengusaha memilih angkat tangan saja dan memindahkan bisnisnya ke negara lain saja. Tanpa investor (investasi dana maupun sumber SDM),jangan harap Indonesia akan maju.

Jadi buang jauh-jauhlah itu kebiasaan viviere pericoloso yang dalam bahasa awamnya disebut “nekat” (nenek-nenek juga disikat). Kita harus belajar bertindak dengan perhitungan, kalkulatif, apa untung, apa ruginya, dan membuat perencanaan jangka panjang-jangka pendek dan sesudah itu berusaha menjalankan roda pembangunan berdasarkan rencana itu. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar