Sabtu, 02 Februari 2013

Setelah Batavia Landing ke Kepailitan


Setelah Batavia Landing ke Kepailitan
M Hadi Subhan ;  Ahli Hukum Bidang Kepailitan dan Perburuhan
Fakultas Hukum Universitas Airlangga
JAWA POS, 01 Februari 2013
  

SATU lagi maskapai penerbangan ''mendarat darurat'' pada instrumen hukum kepailitan. PT Metro Batavia yang mengoperasikan penerbangan berlabel Batavia Air dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (Jawa Pos, 31 Januari 2013). Batavia Air bukan maskapai penerbangan pertama yang dinyatakan pailit oleh pengadilan. Sudah ada yang ''grounded'' karena pailit. Misalnya, Adam Air, Indonesia Airlines, dan Sempati Air.

Industri penerbangan sejatinya dioperasikan perusahaan yang kuat dari segi kapital permodalan. Sebab, harga satu pesawat terbang pengangkutan komersial berbadan sedang sudah mencapai setengah triliun rupiah. Bayangkan jika maskapai penerbangan itu mengoperasikan sekitar 50 pesawat terbang seperti yang dilakukan Batavia Air, berapa kapital yang harus disediakan. 

Biasanya, maskapai penerbangan akan menggandeng lembaga finance atau perbankan untuk membiayai pengadaan pesawat mereka, baik dalam bentuk leasing, sewa beli, atau beli putus dengan jaminan pesawat yang dibeli. Tapi, meski menggandeng lembaga pembiayaan, tetap saja maskapai harus memiliki modal sendiri yang besar dari segi kuantitas sebagai uang muka. Tidak mungkin perusahaan pembiayaan atau perbankan akan membiayai full financing.

Sejak keran perizinan penerbangan dibuka lebar oleh otoritas penerbangan pada 2000, bermunculan berbagai perusahaan baru yang mengoperasikan penerbangan. Banyak perusahaan tersebut yang diduga tidak didukung keuangan yang kuat, bahkan ditengarai hanya menjadi ''makelar'' operator pesawat terbang. Yakni, hanya mengoperasikan pesawat yang semua atau sebagian besar modalnya adalah pinjaman yang didapat dari leasing dan pinjaman modal kerja lainnya. Hal itu mengakibatkan sebagian besar pendapatan operasionalnya dialokasikan untuk mengembalikan pinjaman atau membayar, sehingga mengorbankan alokasi biaya maintenance dan biaya peremajaan pesawat baru.

Kondisi kebanyakan perusahaan penerbangan yang gali lubang tutup lubang tersebut ibarat menyimpan bom waktu serta tinggal menunggu hari meledaknya kebangkrutan maskapai penerbangan itu. Dalam kasus Batavia Air, para kreditor, terutama para lessor pesawat, menjadi korban tidak dialokasikannya pembayaran leasing mereka, sehingga mengakibatkan membengkaknya utang yang tidak terbayar. Bisa dibayangkan jika yang dikorbankan itu adalah biaya maintenance pesawat, tentu akan berakibat fatal terhadap keselamatan penerbangan.

Buruh Wajib Diprioritaskan 

Hal cukup menarik dari kasus pailitnya Batavia Air adalah permintaan dicabutnya permohonan pailit oleh kreditor yang mengajukan kepada majelis hakim, tapi ditolak mentah-mentah oleh pihak Batavia Air sendiri. Itu nyeleneh. Bahkan, baru kali pertama terjadi pencabutan permohonan pailit oleh kreditor tapi justru ditolak sendiri oleh debitor termohon pailit. Batavia terkesan bersikeras dan ngeyel ingin pailit. Yang ada dan lazim terjadi, debitor akan berupaya apa pun agar terhindar dari vonis kepailitan yang dimohonkan kreditor. Itu menunjukkan adanya masalah besar, yakni struktur kapital yang keropos.

Pemailitan Batavia oleh pengadilan tidak berarti masalah akan selesai. Dengan distopnya operasi Batavia, pasti akan terjadi pemutusan hubungan kerja terhadap para pekerja. PHK itu tidak boleh mengorbankan hak-hak pekerja seperti upah yang belum terbayar, pesangon, dan hak normatif lainnya. Posisi buruh memiliki prioritas yang tinggi, baik dalam UU Kepailitan maupun UU Ketenagakerjaan. 

Dalam UU Kepailitan, upah buruh merupakan utang harta pailit dan hak-hak lainnya berkedudukan sebagai kreditor preferen. Demikian pula, dalam UU Ketenagakerjaan ditentukan, hal perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi, upah dan hak-hak lain para pekerja/buruh merupakan utang yang didahulukan pembayarannya.

Masalah lain adalah pengembalian uang tiket yang telanjur terjual kepada masyarakat yang kini mulai gaduh. Kurator harus memperhatikan prioritas pengembalian uang tiket kepada konsumen dengan persetujuan hakim pengawas kepailitan. Diharapkan, pengembalian uang tiket itu tidak menunggu sampai pemberesan dengan pelelangan aset budel pailit, melainkan bisa diambilkan dari aset yang sudah likuid.

Solusi Mandala 

Bila perusahaan masih punya semangat hidup kala susah, jalan pailit jelas dihindari. Cara yang ditempuh Mandala Airlines layak diikuti perusahaan-perusahaan penerbangan lain sebagai jalan keluar terhadap perusahaan yang membutuhkan restrukturisasi permodalan. Yakni, mengajukan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) di pengadilan niaga. 

PKPU itu ditujukan untuk menghentikan pembayaran utang secara sementara dengan maksud mengajukan proposal restrukturisasi utang. Dalam kasus Mandala Airlines ini, mereka berhasil menarik investor baru yang membawa uang segar dalam rangka merestrukturisasi permodalan perusahaan. Hasilnya, sekarang Mandala dapat terbang lagi dengan energi yang lebih kuat.

Pemerintah harus mengambil hikmah dari kejadian itu, khususnya untuk membenahi regulasi dan supervisi industri penerbangan di negeri ini. Regulasi yang diharapkan tersebut harus mengarah pada persyaratan-persyaratan yang ketat bagi perusahaan yang sedang dan akan mengoperasikan pesawat terbang komersial seperti laiknya regulasi dan supervisi di bidang perbankan. 

Perusahaan penerbangan yang tidak memenuhi persyaratan, baik operasional maupun non-operasional seperti kecukupan modal kerja, harus ditekan untuk menyetor fresh money sampai pada level kecukupan. Jika tidak mampu memenuhi persayaratan modal minimal tersebut, perusahaan diberi jalan keluar untuk dicarikan investor baru. Jika semua langkah tetap buntu, jalan terakhir adalah pencabutan izin operasi atau melalui kepailitan ini.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar