TRAGEDI isu korupsi menerpa Partai Keadilan Sejahtera
(PKS). Itu menjadi sebuah tragedi karena partai yang lahir pada 20 April
1998 tersebut mengidentifikasikan diri mereka sebagai partai dakwah. Dugaan
korupsi yang menyangkut petinggi PKS, Luthfi Hasan Ishaaq, itu menjadi
jalan terjal bagi mereka dalam meng hadapi Pemilu 2014. Apalagi, PKS selama
ini mengampanyekan diri sebagai partai yang bersih untuk Indonesia
bermartabat.
Isu korupsi itu juga menjatuhkan nama PKS sebagai partai dakwah
karena korupsi menjadi musuh utama dalam aja ran agama. Tobat nasional yang
digelorakan Anis Matta, presiden baru PKS, belum cukup menjadi energi bagi
mereka dalam mengembalikan kepercayaan (trust) masyarakat. Anis Matta ha
rus bekerja keras meya kinkan kembali publik ihwal kebersihan PKS. Mungkin
masih banyak kader yang tetap solid, tetapi simpatisan bisa `lari' dalam
jebakan politik korupsi.
Politik `konspirasi' yang disuarakan elite PKS bu kannya menjadi
benteng kekuatan internal, melainkan malah menjadi bumerang menuju 2014.
Dalam analisis politik kontemporer, PKS lahir untuk mem perjuangkan
lahirnya negara yang menganut ideologi Islam, bahkan sampai pada ideologi
khilafah seluruh dunia.
Walaupun tidak secara tegas diucapkan dalam berbagai pidato politik
PKS, di awal kelahiran mereka pada 1998, PKS begitu melancarkan gerakan
Islam kafah. Gerakan itu bukannya tanpa masalah. Secara tidak langsung, PKS
sedang berhadapan dengan organisasi keagamaan yang telah berkembang di
Indonesia, seperti Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Persis, Nahdlatul
Wathon, dan AlIrsyad.
Organisasi-organisasi tersebut terbukti mampu beradaptasi dengan
tradisi Indonesia yang beragam tanpa terjebak dalam politik praktis. Adapun
PKS yang juga mendakwahkan Islam sering kali harus berhadapan karena selain
membawa misi dakwah, mereka membawa misi politik. Misi dakwah PKS sering
kali juga tidak sama dalam konteks pemahaman ajaran dengan organisasi Islam
tersebut. Pergesekan tak bisa dihindarkan dan PKS akhirnya harus
berkonfrontasi dengan organisasi Islam yang menjaga jarak dengan politik
praktis. Kegamangan itu sangat kentara di berbagai daerah, khususnya di
Jawa.
Para kader PKS juga seolah gagap dengan Islam Nusantara yang
mempunyai ragam begitu kompleks. Ideologi Ikhwanul Muslimin dan Masyumi
yang mereka jadikan sebagai framework ternyata sulit mengakomodasi
keragaman Nusantara sehingga gerak pikir PKS sering kali bertabrak an
dengan warisan leluhur yang telah mengakar kuat dalam tradisi
keindonesiaan. Itulah problem yang belum tuntas dalam jati diri PKS
sehingga mereka terancam tidak menemukan `rumah politik' di Indonesia. Untuk
memiliki `rumah politik', partai politik harus menyesuaikan dengan jati
diri tradisi yang mengakar kuat di Indonesia.
Politisasi Dakwah
Salah satu yang menjadi problem dalam dunia politik PKS ialah langkah
politik mereka dalam menjadikan jargon dakwah sebagai media perjuangan
politik.
Politisasi dakwah kemudian menjadi jargon politik yang selalu didengungkan
PKS. Bermacam langkah PKS di berbagai daerah ternyata menjadi slogan dan
simbol dakwah dalam melakukan gerak politik di masyarakat. Rakyat seolah
melihat yang dilakukan PKS untuk sebuah dakwah saja. Namun di balik itu,
PKS ternyata dijadikan sebagai media dalam gerak politik kekuasaan. Ini
sebuah dilema yang penuh teka-teki.
Jalan dakwah merupakan jalan mulia dan merupakan tugas semua umat
Islam. Jalan dakwah itu telah dilakukan semua organisasi Islam di
Indonesia. NU, Muhammadiyah, Persis, Al-Irsyad, dan sebagainya merupakan
organisasi yang telah concern dengan serius dalam dakwah Islam. Dakwah
benar-benar diletakkan sebagai proses pemberdayaan masyarakat. Dakwah
dijadikan media dalam melakukan proses menumbuhkan kesadaran umat Islam
dalam membangun Indonesia. Dakwah benar-benar menjadi media untuk
menjadikan Islam sebagai rahmat bagi semesta (rahmatan lil'alamin).
Adapun PKS menjadikan dakwah mereka sebagai jalan politik. Sejarah
politik dalam dunia Islam mengabarkan jalan dakwah sebagai media politik
gagal di pertengahan jalan. Olivier Roy (2001) me nengarai partai Islam
selalu gagal mengusung ‘negara agama’ sehingga mereka mengambil posisi
politik yang ekstrem, revivalis, islamis, dan fundamentalis. Partai Islam
di Afghanistan, Sudan, dan Pakistan terbukti gagal menjaga amanah agama di
ruang politik.
Said Al-Asymawi (2002) juga melihat Islam politik
gagal menjalankan visi luhur agama karena politik menjadikan agama semakin
keruh oleh kuasa kekuasaan. Bagi Al-Asymawi, Islam yang diajarkan Nabi
Muhammad bukanlah Islam yang menjadi agama dan negara. Islam bukanlah agama
dan negara. Praktik kenegaraan yang dilakukan Nabi ketika di Madinah
bukanlah praktik yang dipahami secara universal, melainkan sebagai praktik
yang partikular. Yang universal ialah keadilan, kemanusiaan, kesetaraan,
dan keadaban.
Khitah
Politik
PKS
seharusnya kepada khitah politik mereka. Sebagaimana diungkapkan Hilmi Aminuddin
(2011), kelahiran PKS seharusnya menjadikan PKS memegang teguh makna khitah
mereka. Pertama, lahir membawa misi penyebar kasih sayang. Kedua, lahir dengan
kehormatan dan lahir untuk meraih kejayaan. Ketiga, lahir untuk terus dan
terus memikul tanggung jawab dan mengemban amanah.
Khitah
kelahiran itulah yang harus dipahami PKS dengan baik. Dengan khitah tersebut,
PKS seharusnya tidak lagi menjadikan agama sebagai isu sentral mereka dalam
berpolitik. Jangan sampai agama hanya dijadikan sebagai medan meraih kekuasaan
karena itu hanya akan menjadikan agama semakin kehilangan visi
kerahmatannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar