Peringatan dua tahun revolusi yang
digelar 25 Januari 2013 di seluruh pelosok Mesir merupakan momentum
evaluasi terhadap misi utama revolusi: membentuk negara demokratis yang
dibangun di atas prinsip kemakmuran, kebebasan, keadilan, dan menjunjung
tinggi HAM.
Kaum muda sebagai lokomotif
revolusi memandang Presiden Muhammad Mursi tak mampu memberikan harapan
bagi masa depan Mesir, sebagaimana tuntutan revolusi. Dalam beberapa hari
terakhir mereka mengajukan seruan agar digelar revolusi jilid dua sebagai
antitesis terhadap kegagalan revolusi jilid satu.
Yang terjadi di Mesir dua tahun
terakhir pada hakikatnya bukan revolusi, melainkan kontrarevolusi. Revolusi
berhasil melengserkan rezim diktator Hosni Mubarak, tetapi rezim yang
berkuasa telah menjelma sebagai diktator baru. Ikhwanul Muslimin melalui Partai
Kebebasan dan Keadilan berhasil memonopoli kekuasaan di legislatif,
eksekutif, dan yudikatif. Istilah yang populer di dalam pelataran politik
Mesir saat ini, yaitu ”Ikhwanisasi Mesir”.
Negara Gagal
Puncak kekecewaan muncul karena
Mursi yang dipilih kaum muda revolusi dan mendapatkan mandat penuh
mengimplementasikan misi revolusi telah gagal secara total. Menurut Halah
Mustafa dalam Nahwa al-Dawlah al-Fasyilah, Mesir sedang beranjak menuju
negara gagal. Di bawah kepemimpinan Ikhwanul Muslimin, pelayanan publik
mengalami kekacauan amat parah, yang tak pernah terjadi pada masa-masa
sebelumnya. Pemerintahan Mursi ditengarai tak mampu memperbaiki pelayanan
publik sesuai amanat revolusi.
Keamanan dan kekacauan juga
menjadi catatan buruk pemerintahan Mursi karena kriminalitas terjadi secara
sporadis di seantero Mesir, tanpa ada perlindungan yang serius dari aparat
keamanan. Belum lagi, penegakan hukum sangat lemah karena intervensi yang
begitu besar dari eksekutif kepada yudikatif.
Sejumlah media massa diancam oleh
kalangan islamis. Ini dapat mengancam kebebasan berpendapat dan
berekspresi. Pengentasan masyarakat dari kemiskinan masih jadi problem
utama dan hingga kini belum mendapatkan perhatian serius. Bahkan, yang
terjadi justru sebaliknya, yaitu monopoli kekuasaan ekonomi oleh kalangan
pengusaha yang berlatar belakang Ikhwanul Muslimin. Karena itu, kaum muda
revolusioner membakar restoran El-Mokmin, yang ditengarai milik pengusaha
yang berafiliasi pada Ikhwanul Muslimin. Kantor Ikhwanul Muslimin serta
kantor Partai Kebebasan dan Keadilan juga jadi sasaran empuk kaum muda
revolusioner yang telah kehilangan harapan terhadap rezim pascarevolusi
itu.
Secara politik, Ikhwanul Muslimin
tak punya kemampuan dan keinginan politik untuk membangun rekonsiliasi
nasional yang mengedepankan kepentingan nasional. Mursi selalu berjanji
menjadikan kepemimpinannya sebagai representasi kepentingan nasional,
tetapi dalam implementasinya selalu bertolak belakang karena justru
kepentingan kelompoknya lebih menonjol. Konsekuensinya, muncul banyak
tuduhan bahwa yang berkuasa di Mesir bukanlah Mursi yang dipilih secara
demokratis oleh rakyat, melainkan pimpinan tertinggi Ikhawanul Muslimin.
Dua sosok yang ditengarai kerap mendikte Mursi adalah Muhammad Badi dan
Khayrat Shater. Menurut Halah Mustafa, Mesir saat ini terjerembab dalam
dualisme kepemimpinan, yakni Presiden Mursi dan Ikhwanul Muslimin.
Keadaan kian memburuk karena
Ikhwanul Muslimin mampu mengemudikan pemerintahan. Monopoli kekuasaan tak
disertai kemampuan memecahkan pelbagai persoalan dalam realitas politik,
yang menyebabkan persoalan kian pelik. Bahkan, Ikhawanul Muslimin justru
mengalami defisit dukungan dari beberapa sayap politik yang selama ini
mendukungnya. Faksi Ghad al-Tsawrah, Jemaat Islamiyah, dan kelompok salafi
mulai merasakan hilangnya dukungan publik pada Ikhwanul Muslimin.
Fakta paling telanjang, yaitu
partisipasi publik dalam referendum konstitusi hanya diikuti 32 persen
pemilih. Pasca-peringatan dua tahun revolusi dukungan publik terhadap Mursi
ditengarai tinggal 15 persen. Artinya, Ikhwanul Muslimin mulai kehilangan
kepercayaan dari publik untuk mengemban amanat revolusi.
Menurut Muhammad Hasanain Haikal,
analis senior politik di Mesir, ada dua faktor penting penyebab Ikhwanul
Muslimin tak mampu menerjemahkan agenda revolusi dalam realitas politik.
Pertama, mereka tak punya pengalaman dalam pemerintahan. Sejak berdiri
tahun 1928, mereka selalu jadi oposisi, bahkan sebagai organisasi
terlarang. Dari rezim Gamal Abdul Nasser, Anwar Sadat, dan Hosni Mubarak,
para aktivisnya dipenjara oleh rezim yang berkuasa.
Kedua, para aktivis Ikhwanul
Muslimin umumnya berlatar belakang kedokteran dan teknik sipil. Bayangkan,
para penasihat presiden yang sebagian besar dari Ikhwanul Muslimin adalah
kalangan dokter sehingga cara memecahkan persoalan politik kehilangan
sentuhan humanis. Persoalan dalam ranah politik pada umumnya berkaitan
langsung dengan persoalan publik, karena itu pendekatan humaniora
diperlukan ketimbang pendekatan ilmu pasti. Belum lagi, perdana menteri
yang ditunjuk Ikhwanul Muslimin tak punya kemampuan mengendalikan roda
birokrasi.
Terobosan Politik
Karena itu, mau tak mau, Ikhwanul
Muslimin harus melakukan terobosan politik untuk menyelamatkan Mesir dari
kegagalan. Selama dua tahun memerintah, Mursi dinilai publik tak mampu
melakukan perubahan ke arah lebih baik. Menurut Hasan Nafaa dalam Hawamisy
’ala Agendah Muqtarahah li Hiwar Wathani, perlu dialog nasional dengan tiga
agenda penting: pembentukan pemerintahan yang merepresentasikan kepentingan
nasional dengan agenda perbaikan pelayanan publik, stabilitas politik, dan
perbaikan ekonomi.
Perlu pemikiran serius untuk
merevisi pasal-pasal di dalam konstitusi yang jadi perseteruan antara kubu
islamis dan kubu nasionalis-sekuler. Setidaknya ada 35 pasal bermasalah
dalam konstitusi baru. Yang terakhir, perlu pemilihan ulang presiden dengan
mengacu pada konstitusi baru karena Mursi terpilih sebagai presiden
sementara tanpa konstitusi. Agenda nasional Mesir dalam dua bulan ke depan
adalah pemilihan anggota parlemen. Tiga agenda penting itu mutlak
disepakati sebelum pemilu sehingga beberapa persoalan yang dapat
menjerumuskan Mesir ke dalam negara gagal dapat dipecahkan bersama-sama.
Intinya, persoalan yang dihadapi
Mesir tak bisa dipecahkan oleh satu faksi saja, melainkan butuh kebersamaan
dan gotong royong seluruh faksi politik. Perlu kedewasaan dalam politik
yang mengedepankan politik kebangsaan daripada sekadar politik
sektarianistik. Sheri Berman dalan The Promise of the Arab Spring
menegaskan, negara-negara Arab yang disapu musim semi sangat membutuhkan
demokrasi yang stabil. Ini dapat tercapai jika mereka mampu mengeliminasi
dimensi sosial dan kultural yang bertentangan dengan prinsip demokrasi
serta meninggalkan legasi ekonomi korup yang ditinggalkan rezim lama. Kedua
hal inilah yang mesti dilakukan rezim berkuasa Mesir sebelum mereka jatuh
ke dalam kubangan negara gagal. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar