Jumat, 01 Februari 2013

Pendidikan dan Konstitusi


Pendidikan dan Konstitusi
Utomo Dananjaya ; Direktur Institute for Education Reform (IER)
Universitas Paramadina
KOMPAS, 01 Februari 2013



Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan adalah kementerian yang paling lemah kesadaran hukumnya. Betapa tidak! Kebijakan yang mereka buat bahkan ada yang melanggar UUD 1945.
Banyak putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan Putusan Mahkamah Agung (MA) juga diabaikan atau disiasati dengan berbagai cara. Semua keputusan MK ataupun MA berkaitan dengan tindak diskriminasi.
Empat Contoh Kasus
Pertama, MK pernah mengeluarkan putusan atas uji materi terhadap pasal-pasal dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Hasilnya, UU APBN 2005, 2006, 2007 dinyatakan tidak memenuhi amanat amendemen UUD 1945 soal pemenuhan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN dan APBD. Tiga tahun berturut-turut keputusan ini dikeluarkan tanpa ada langkah konkret dari pemerintah untuk tunduk pada putusan hukum tersebut.
MK telah menetapkan, APBN untuk pendidikan tahun anggaran 2006 sekurang-kurangnya sebesar 20 persen. Itu artinya pemerintah tidak punya pilihan selain memenuhi anggaran minimal tersebut. Pemerintah seharusnya bisa memahami makna kata ”prioritas” dalam amendemen UUD 1945 dan segera mengalokasikan dana pendidikan sesuai amanat tersebut. Ketidakpahaman atas makna ”prioritas” menimbulkan tindakan pelanggaran keadilan, yaitu tidak semua warga negara memperoleh hak pendidikan, atau sebagian warga negara didiskriminasikan, atau pemerintah mendiskriminasikan sebagian warga negara.
Kedua, tahun 2010, MK membatalkan UU No 9/2009 tentang Badan Hukum Pendidikan karena dinilai melanggar UUD 1945. Pelaksanaan UU tersebut mengakibatkan orang miskin tak dapat mengakses pendidikan.
Hal ini sangat mudah diidentifikasi sebagai bentuk inkonstitusional Mendikbud karena melahirkan kebijakan yang sangat bertentangan dengan amanat UUD 1945. Dengan UU ini pemerintah dianggap memperlakukan warga negara secara berbeda. Warga negara miskin tidak memperoleh pendidikan yang layak. Dengan kata lain, pemerintah (baca: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan/ Kemdikbud) melakukan diskriminasi dalam menyelenggarakan pendidikan.
Ketiga, pembubaran penyelenggaraan ujian nasional (UN) oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, yang mengadili tuntutan masyarakat sipil terhadap pemerintah. Penyelenggaraan UN dianggap tak melindungi hak asasi manusia, hak asasi anak, dan hak pendidikan.
Kalah di peradilan tingkat pertama, pemerintah naik banding pada pengadilan tinggi dan ditolak. Kasasi yang diajukan pemerintah ke MA juga akhirnya ditolak. Artinya, MA sependapat dengan keputusan pengadilan negeri dan pengadilan tinggi. Namun, terhadap penolakan kasasi tersebut, pemerintah tak menghiraukannya dan terus melaksanakan UN yang telah dianggap tidak melindungi hak asasi anak dan hak pendidikan.
Keempat, pembatalan Pasal 50 Ayat (3) UU No 20/2003 tentang Sisdiknas oleh MK. Pasal ini adalah dasar hukum keberadaan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional/Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI/SBI).
Pemerintah menyelenggarakan RSBI/SBI dengan mengorbankan sebagian besar pelajar dan mengistimewakan pelajar RSBI/SBI. Kebijakan ini dianggap tindak diskriminasi terhadap sebagian besar pelajar. Dalam persidangan di MK bahkan muncul istilah peng-”kasta”-an.
Pemerintah, dalam hal ini Kemdikbud, wajib segera membubarkan RSBI/SBI. Namun, yang terjadi, Mendikbud justru mengulur waktu dan berusaha menyiasati putusan ini dengan berencana mengubah ”wajah” RSBI menjadi sekolah mandiri.
Tidak Peka
Keempat putusan tersebut, tiga putusan MK dan satu putusan MA, membuktikan sejumlah kebijakan Kemdikbud bertentangan dengan prinsip penyelenggaraan pendidikan secara demokratis, berkeadilan, dan tidak diskriminatif.
Jika putusan-putusan itu diabaikan, kita tidak bisa menyimpulkan lain kecuali bahwa Mendikbud tidak peka atau tidak mengerti bahwa pendidikan harus diselenggarakan dengan demokratis, berkeadilan, serta tidak diskriminatif. Oleh karena itu, sulit dipahami bagaimana mungkin pendidikan karakter tentang demokrasi, berkeadilan, dan tidak diskriminatif akan bisa ditegakkan oleh menteri yang tidak peka dan mengabaikan tindakan diskriminatif? Belum lagi soal perubahan Kurikulum 2013 yang banyak menuai kritik itu.
Kita berharap Pilpres 2014 memilih presiden yang baru yang sungguh-sungguh paham makna demokrasi, berkeadilan, dan tidak diskriminasi dalam pendidikan. Artinya, presiden terpilih nanti harus pula mengangkat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang betul-betul memahami makna ”prioritas” dalam pendidikan dan dengan teguh melaksanakan amanat konstitusi.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar