|
SINAR
HARAPAN, 31 Januari 2013
Kiprah kebangsaan Nahdlatul Ulama
(NU) tentunya tidak diragukan lagi. Ia telah hadir menyapa bangsa Indonesia
sebelum Republik ini lahir. Kebersamaan NU dalam membangun bangsa tentunya
mendapat tantangan yang beragam. Hal ini mengingat kondisi sosial budaya yang
senantiasa berubah.
Persoalan-persoalan kebangsaan yang muncul tidak hanya berkutat pada peran serta ulama dalam pendidikan dan penjaga tradisi pemikiran ulama klasik. Namun, persoalan kekinian yang sering kali menjadi perbincangan publik adalah meningkatnya tensi keagamaan yang kemudian memunculkan gerakan radikalisme dan fundamentalisme yang mengarah pada terorisme. Radikalisme Hal ini tampak jelas dalam serangkaian aksi pengeboman sejumlah gereja di Indonesia sejak medio 2002. Sebagaimana terjadi pada Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS) Kepunton, Solo, Jawa Tengah, sekian bulan lalu.
Sebelumnya pada 6 Desember 2010
bom gagal diledakkan ditemukan di Gereja Kristen Jawa di Dukuh Jambon, Desa
Sabranglor, Kecamatan Trucuk, Klaten. Pada 12 Oktober 2010 Kapel Santo Yusuf
Pare, Paroki Katolik Delanggu, dibakar orang tak dikenal.
Bagian pintu depan dan pintu
belakang sedikit terbakar. Pada 13 Oktober 2010 sekitar pukul 01.00 WIB
Gereja Kristen Jawa Gebyog, Ngemplak, Kartasura, Sukoharjo, dirusak oleh orang
tak dikenal. Akibat insiden ini, jendela sebelah timur dan empat buah jendela
lainnya mengalami kerusakan.
Peristiwa serupa juga terjadi pada 1 Desember 2010. Bom molotov ditemukan polisi di sekitar Gereja Kristen Jawa Polanharjo, Klaten. Pada 5 Desember 2010 Gereja Kristen Muria Indonesia (GKMI) Serangan, Solo, ditembak dengan senapan.
Selang dua hari, tepatnya 7
Desember 2010 pukul 05.45 WIB Kapel Gereja Katolik Kristus Raja Desa
Blimbing, Gatak Sukoharjo, dilempar bom molotov. Pada 2 Juni 2011 sekitar
pukul 01.00 WIB Gereja Kristen Jawa di Dukuh Jamon, Desa Sabranglor Kecamatan
Trucuk, Klaten, dilempar bom molotov.
Serangkaian aksi teror sejak pun muncul di Solo, Jawa Tengah. Berkat kesigapan kepolisian melalui Densus 88 Antiteror dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menembak mati dua tersangka teroris Solo pada Jumat, 31 Agustus 2012.
Hasil identifikasi menunjukkan dua
orang yang meninggal dunia di daerah Tipes Solo itu bernama Farhan Mujahidin
(19) dan Mukhsin Sanny Permadi (20). Farhan adalah anak tiri Abu Omar,
pemimpin kelompok Abu Omar.
Pencarian jejak teroris dan bom pun terus dikembangkan. Hasilnya penemuan rangkaian bom di Tambora, Jakarta Barat, dan Beji, Depok, Jawa Barat. Ledakan bom di Beji pun akhirnya menewaskan bernama Anwar alias Wahyu Ristanto (24). Jejak terorisme juga mendepak di Palu, Sulawesi Tengah. Seorang polisi pun menjadi korban keganasan kawanan ini. Densus pun berhasil meringkus mereka. Beberapa jenazah teroris asal Nusa Tenggara Barat (NTB) pun hingga kini masih menginap di Mabes Polri. Tingginya tingkat rencana aksi dan aksi pengeboman gereja dan aksi terorisme mengindikasikan masih tingginya radikalisme di Indonesia. Salah satu komponen radikalisme yang digunakan beberapa lembaga terdiri dari tindakan radikal, sikap radikal, jihadisme, agenda islamis, dukungan terhadap organisasi radikal, keanggotaan organisasi radikal, aleniasi, deprivasi, intoleransi terhadap non-muslim, perasaan tidak aman, dan perasaan cemas. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana NU dalam kondisi terkini turut serta dalam mencegah dan meminimalkan gerakan radikalisme yang mengarah pada tindakan anarkisme yang menggejala di Indonesia? Generasi Baru Andree Feillard (NU vis-à-vis Negara, Pencarian Isi, Bentuk dan Makna, 1999) menyebut sekarang ini telah tampil generasi baru NU yang berusaha melakukan reformasinya sendiri yang bisa lebih berbobot karena NU memadukan pengaruh politiknya dengan legitimasi religius yang tidak terbantahkan. Ini merupakan hal yang jarang terjadi di dunia Islam dan dapat membuka jalan menghadapi fenomena jalan “buntu” Islam fundamentalis. Generasi baru NU yang muncul ke permukaan dan menuai pro dan kontra adalah jaringan lslam liberal (JIL). Kehadiran JIL telah mendorong proses kreatif pemikiran Islam yang lebih terbuka. JIL pun terus menyuarakan adanya persamaan hak dalam keberagamaan dan semangat pluralisme. JIL sebagai representasi anak NU sudah saatnya terus mengembangkan wacana dan membumikannya sehingga dapat menyelesaikan persoalan sosial. Kemunculan generasi ini dalam padangan Feillard merupakan sebuah keniscayaan sejarah. Pasalnya, tradisi keberagaman yang toleran telah disemai oleh NU melalui pendidikan pesantren. Pendidikan pesantren tidak hanya mengajarkan ilmu agama saja namun sebuah penghormatan terhadap guru (kiai) dan terus menjadi tradisi keberislaman yang telah diretas oleh empat imam mazhab (Karel A Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah, 1996). Dengan konsepsi yang demikian, NU dapat menjadi gerbong sekaligus lokomotif dalam penciptaan Islam rahmatan lil alamin. NU dapat menjadi “pemimpin” dalam proses deradikalisme. Sebagaimana sering diutarakan oleh KH Saiq Aqil Siraj, NU selalu di garda depan dalam menyelesaikan persoalan bangsa seperti terorisme dan radikalisme. Dengan modal pesantren dan santri yang tersebar seluruh Indonesia, NU akan mampu mengembangkan prinsip-prinsip Islam toleran. Kekuatan NU yang lain adalah telah menyatunya keragaman budaya masyarakat dengan keberislaman ala NU. Islam yang menghargai lokalitas dan kebudayaan ini menjadi kekuatan dalam menghalang laju radikalisme yang sangat bertolak belakang dengan keragaman budaya masyarakat. NU sudah selayaknya terus mengembangkan ciri tersebut guna kepentingan yang lebih besar. Pada akhirnya, dengan modal sosial (pesantren, santri, kiai), pola hubungan dan ajaran yang telah mengakar serta generasi cerdas, NU diharapkan mampu berbicara banyak dalam menyelesaikan persoalan kebangsaan, seperti radikalisme dan terorisme. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar