Sabtu, 02 Februari 2013

Nelayan Kita


Nelayan Kita
Helmy Akbar ; Anggota Asosiasi Peneliti-Pemerhati
Sumber Daya Perairan dan Lingkungan IPB
REPUBLIKA, 31 Januari 2013



Ada empat hal penting yang perlu diantisipasi oleh pelaku perikanan awal tahun ini, yaitu musim paceklik hasil laut, kenaikan harga komoditas ikan, efek pelemahan ekonomi nasional awal tahun ini yang ditandai pelemahan rupiah dan rencana kenaikan BBM. Cuaca ekstrem yang akhir-akhir ini melanda laut nusantara telah menyurutkan niat nelayan kecil untuk melaut. 

Efek penurunan hasil tangkapan merembet. Mulai dari kelangkaan ikan laut di pasar hingga peluang mandeknya industri perikanan. Kekurangan pasokan bahan baku mulai terasa. Prediksi sementara, stok ikan cukup untuk melayani kebutuhan hingga akhir Februari. Sisi lain, permintaan akan ikan olahan jenis sarden saat ini meningkat menyesuaikan kebutuhan dalam dan luar negeri.

Harga ikan lemuru lokal yang murah (saat ini masih Rp 5.000 per kilogram)
dengan selisih Rp 2.000 dibanding ikan impor. Tentu, pilihan akan beralih ke ikan impor, baik legal maupun ilegal, jika kualitas dan kuantitas pasokan lokal masih terjun bebas. 

Pemerintah mengaku, neraca perdagangan produk perikanan pada 2012 Indonesia masih surplus 76,47 persen. Produk perikanan yang diekspor masih lebih tinggi dibanding yang diimpor. Nilai ekspor hasil perikanan Indonesia sebesar 3,9 miliar dolar AS dengan volume 1,27 juta ton. Capaian tersebut naik sebesar 8,3 persen dibandingkan dengan target ekspor yang ada dalam renstra 2010-2014 sebesar 3,6 miliar dolar AS. 

Lebih lanjut, kuatnya keinginan pemerintah untuk menaikkan harga BBM sebagai upaya stabilisasi terhadap kondisi keuangan negara yang labil awal tahun ini tentu menjadi perhatian sendiri di kalangan nelayan dan pelaku usaha perikanan. 

Pasalnya, kenaikan harga BBM akan meningkatkan biaya upaya (cost effort) melaut. 
Terkait subsidi BBM, Instruksi Presiden Nomor 15 Tahun 2012 mungkin dapat melindungi nelayan kecil. Tetapi, hal ini tidak berlaku untuk kapal di atas 30 GT. Kapal dengan bobot 100 GT mampu menghabiskan BBM hingga 12 ton (setara Rp 54 juta) untuk sekali melaut. 

Untuk mendapat keuntungan memadai, hasil tangkapan ikan harus lebih dari 10 ton. Sebelum wacana kenaikan BBM bergulir, hasil tangkapan bisa 11-12 ton. Keuntungan yang diperoleh belum memadai. Sehingga, dengan kenaikan BBM nelayan harus lebih mengencangkan ikat pinggang. Salah satunya dengan membatasi jumlah armada, di sisi lain mengurangi jumlah Anak Buah Kapal (ABK) yang ikut mencari nafkah. 

Persaingan di Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) antara nelayan lokal dan nelayan asing terus berlangsung sengit, walaupun tidak pernah berimbang. Padahal, di area ZEE justru tersimpan komoditas high value seperti tuna. Problem tuna sendiri selalu menjadi pembicaraan hangat di forum-forum diskusi, mengingat jatah tangkapan untuk Indonesia yang terlalu sedikit. 

Sementara itu, pelemahan ekonomi nasional kuartal pertama tahun ini me- munculkan keinginan pemerintah untuk semakin menurunkan subsidi kepada rakyat. Istilah subsidi memang terkesan memanjakan walau ditujukan buat sektor riil, seperti perikanan-kelautan. 

Sedikit sektor ekonomi yang mampu bertahan di tengah deraan krisis. Sektor pertambangan (seperti batu bara) sempat kembang kempis, untuk sektor real estat, jasa perusahaan, angkutan, dan komunikasi hanya tumbuh di bawah 2,5 persen. Indikasi pelemahan perekonomian nasional telah terdeteksi pada triwulan I 2012 dengan pelambatan pertumbuhan 0,13 persen dibanding triwulan I 2011 sebesar 6,43 persen. Ketahanan sektor pertanian, peternakan, kehutanan termasuk kelautan-perikanan terlihat dari pertumbuhan di atas 20,9 persen. Melihat fakta seperti ini keberadaan nelayan tradisional maupun kelas industri seharusnya dapat lebih diberdayakan.
Modernisasi Nelayan

Dukungan terhadap permodalan nelayan telah dilakukan oleh pemerintah.
KKP dan BI sepakat memberikan agunan bagi pelaku usaha perikanan tangkap melalui Peraturan Bank Indonesia (PBI) No 7/2/PBI/2005 dan PBI No 9/9/PBI/2007, sehingga kapal laut dapat dijadikan agunan bank. Di sini, kapal laut dengan ukuran di atas 20 meter kubik atau setara dengan 5 GT merupakan ukuran kapal minimal yang bisa diagunkan. 

Yang paling mutakhir adalah program penyiapan 1.000 kapal tangkap hingga 2014. Exit strategy modernisasi kapal nelayan di bawah 30 GT menjadi di atas 30 GT perlu dipikirkan. Mengingat, kebutuhan BBM akan meningkat dengan konsekuensi harganya semakin mahal, wilayah penangkapan bersifat lintaswilayah bahkan negara sehingga memunculkan konflik pemanfaatan, degra dasi lingkungan, diikuti overfishing dan illegal fishing yang menekan nilai stok ikan. 

Ke depan, pemerintah perlu mengatur mekanisme subsidi kepada nelayan secara tepat. Pada 2011 terdapat sekitar 2,7 juta jiwa nelayan, armada tradisional berupa perahu tanpa motor, perahu dengan motor tempel, dan perahu motor kurang dari 5 GT berjumlah 498.020 unit (89,38 persen).

Pada lain hal, pola nelayan tradisional/subsisten paling rentan terhadap krisis, karena pola produksi digunakan hanya untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari, teknologi sederhana, dan beroperasi di wilayah pesisir. Bantuan tidak harus berupa uang, tetapi dapat berupa pengadaan alat tangkap, modernisasi teknologi perikanan dan penanganan hasil, sistem informasi peramalan cuaca bagi kapal tangkap, dan sebagainya.

Diversifi kasi, peningkatan nilai tambah produk perikanan, melalui industri pengolahan seyogianya juga perlu pelibatan masyarakat, rumah tangga nelayan pada level mikro. Hasil olahan perikanan nelayan kecil tidak boleh berhenti pada level ikan pindang dan ikan asin. 

Apa pun itu, kebijakan kenaikan BBM dapat kontraproduktif dengan tujuan peningkatan kinerja sektor perikanan serta berlawanan dengan upaya industrialisasi perikanan yang digawangi oleh KKP. Industri perikanan bakal lesu tanpa dukungan sektor energi yang memadai.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar