Jumat, 01 Februari 2013

Menyoal Kasus Indosat-IM2 : Awal dari Kiamat Internet di Indonesia?


Menyoal Kasus Indosat-IM2 :
Awal dari Kiamat Internet di Indonesia?
Heru Sutadi ;  Pengamat Telematika dan ICT
MEDIA INDONESIA, 01 Februari 2013

  

INTERNET merupakan medium utama yang efektif dan bersifat real time untuk memperoleh informasi serta berinteraksi dengan sesama pengakses situs-situs media sosial. Statistik menunjukkan bahwa pada tahun 2012 saja setidaknya lebih dari 63 juta orang Indonesia aktif menggunakan internet.

Negara ini juga tercatat sebagai pengakses ke-4 terbesar di dunia untuk situs jejaring sosial Facebook. Di situs jejaring sosial lainnya, Twitter, Indonesia menempati urutan kelima di dunia dalam jumlah pengguna.

Bukan hanya itu, Jakarta merupakan kota dengan pengguna Twitter paling aktif di dunia, melampaui Tokyo, London, Sao Paulo, dan New York. Bahkan selain Jakarta, Bandung menempati urutan keenam dalam 10 besar kota yang penduduknya paling aktif di Twitter. Dengan besarnya jumlah pengakses internet, Indonesia memiliki potensi untuk memimpin pemanfaatan teknologi informasi. Diharapkan, kelak internet dapat menjadi katalis peningkatan kualitas SDM Indonesia.

Tidak dapat dimungkiri, lajunya penetrasi pengguna internet juga didukung perkembangan perangkat mobile yang kini marak dimiliki masyarakat pada umumnya. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada tahun 2012, 73% pengguna internet di Indonesia menggunakan smart phone sebagai sarana untuk mengakses internet. 

Konsekuensinya, jaringan semakin padat dan rata-rata kecepatan internet di Indonesia semakin lambat. Hal itu disebabkan semakin padatnya jaringan seluler 3G yang digunakan perangkat mobile untuk mengakses internet.

Kendala di atas tentunya dapat disiasati melalui solusi teknis melalui kebijakan pemerintah untuk menyediakan jalur tambahan. Antara lain, melalui kanal 4G LTE, Wimax, dan fiber to the home (FttH), ataupun melakukan migrasi dari Internet Protocol Version 4 (IPv4) ke IPv6.

Namun, untuk menjalankan solusi itu diperlukan komitmen pihak swasta, khususnya penyelenggara jasa telekomunikasi untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian teknis dan komersial yang melibatkan investasi besar.

Industri telekomunikasi di Indonesia adalah sektor strategis yang dapat dikategorikan sebagai highly-regulated industry. Para pemain di industri ini dituntut untuk memiliki komitmen jangka panjang dalam mengembangkan infrastruktur pendukung telekomunikasi.

Oleh karena itu, suatu iklim yang kondusif diperlukan dalam menciptakan sinergi antara pemerintah sebagai pembuat kebijakan dengan pihak swasta sebagai penyelenggara jasa telekomunikasi.

Akan tetapi, banyak ditemukan ketidakpastian hukum bagi para pelaku industri telekomunikasi. Hal ini berdampak fatal bagi kelangsungan industri ini dan tentu saja menghambat visi Indonesia untuk mengoptimalkan teknologi informasi demi kemajuan dan masa depan bangsa.

Sebagai contoh, dakwaan penyalahgunaan pita frekuensi 2.1 GHz untuk penyelenggaraan internet 3G oleh PT Indosat Tbk dan anak usaha PT Indosat Mega Media (IM2) adalah ancaman serius bagi masa depan teknologi informasi di Indonesia. Bagaimana tidak, dakwaan tersebut tidak memiliki logika yang tepat. Kerja sama yang berlangsung antara Indosat dan IM2 adalah suatu kelaziman di dalam industri internet. Lebih dari 280 penyelenggara jasa internet (ISP) melakukan kerja sama yang sama dengan Indosat-IM2.

Perlu dicatat, regulator (Kemenkominfo) dan perwakilan industri telah menyuarakan fakta yang ada jauh sebelum kasus ini ditangani Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Bahkan sepuluh asosiasi yang terkait dengan industri telekomunikasi dan informatika di Indonesia telah mengimbau Kejaksaan Agung (Kejagung) untuk mengkaji ulang kasus Indosat-IM2.

Sebuah langkah hukum yang bijak perlu melalui proses mediasi terlebih dahulu untuk mengkaji layak atau tidaknya suatu kasus diproses lebih lanjut secara hukum. Namun, tampaknya berangkat dari semangat pemberantasan korupsi yang populis, pihak Kejagung seakan tidak menggubris opini yang beredar tersebut dan tergesagesa menerbitkan SP21 untuk melanjutkan proses hukum.

Kewajiban Indosat selaku pemenang tender pengguna frekuensi adalah membayar biaya hak penggunaan (BHP) frekuensi kepada pemerintah. Serta kewajiban IM2 adalah membayar penggunaan alokasi penggunaan kepada Indosat dalam upaya memasarkannya kepada pelanggan Internet 3G. Analogi sederhana yang dapat digunakan adalah rumah kost yang banyak ditemui di kota-kota besar.

Pemilik rumah (Indosat) wajib membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) serta retribusi terkait lainnya, seperti izin mendirikan bangunan (IMB) kepada pemerintah daerah. Selanjutnya, pihak yang menyewa kamar-kamar indekos tersebut (IM2) membayarkan biaya sewa bulanan kepada pemilik rumah.

Apabila sebuah mekanisme sederhana yang ditemukan dalam analogi di atas dapat menimbulkan masalah hukum tindak pidana korupsi, wajar saja apabila Masyarakat Telekomunikasi (Mastel) menilai kasus ini akan menciptakan preseden buruk penghambat iklim investasi di Indonesia.

Secara lebih ekstrem hal ini dapat diindikasikan sebagai awal dari kiamat internet di negara ini. Oleh karena itu, sudah saatnya publik menyuarakan kebenaran untuk mendukung pembangunan teknologi informasi yang akan meningkatkan kualitas bangsa ini.

Kini kita cuma bisa berharap bahwa fakta dalam pengadilan kelak akan menentukan kebenaran sejatinya. Setidaknya kasus ini dapat menjadi sebuah pembelajaran mengenai pentingnya kepastian hukum bagi sektor strategis dan industri highlyregulated lainnya demi kemajuan Indonesia.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar