|
MEDIA
INDONESIA, 01 Februari 2013
MENJELANG 2014, konstituen dituntut mulai
memikirkan pilihan-pilihan tak gampang seiring dengan akan gencarnya kampanye
oleh 10 partai politik. Partai-partai itu lolos untuk bersaing memperebutkan
kursi di lembaga legislatif karena dalam masyarakat demokrasi, lembaga
legislatif menjadi perantara antara pemerintah dan rakyat. Setelah kontrak
sosial dalam UUD ‘45 mengalami empat kali amendemen di masa reformasi,
lembaga legislatif malahan menjadi adidaya dalam kehidupan politik bangsa
kita.
Undang-Undang Dasar adalah kontrak sosial yang
melandasi penataan kenegaraan demi terwujudnya visi dan tercapainya misi
bangsa. Dalam usaha mencegah timbulnya sistem ketatanegaraan seperti di waktu
lampau yang cenderung memberi kekuasaan terlalu besar kepada eksekutif,
dilakukanlah amendemenamendemen terhadap UUD 1945 itu. Kini, sebaliknya,
lembaga legislatiflah yang tampaknya memiliki kekuasaan terbesar. Bahkan
dengan hak pengawasannya, DPR bisa memanggil tokoh-tokoh pemerintahan yang
punya fungsi terkait dengan jabatan sebagai pembantu kepala negara. Sebagian
di antara tokoh itu hasil usulan partai-partai politik.
Tentang partai-partai politik, menurut
sejarahnya, sebenarnya sekitar tiga bulan setelah proklamasi kemerdekaan,
pemerintah sudah menyatakan keinginan untuk mengadakan pemilu pada awal 1946.
Hal itu tercantum dalam Maklumat X, yakni maklumat Wapres Mohammad Hatta
tanggal 3 November 1945 tentang anjuran pembentukan partai-partai politik.
Disebutkan pula di sana bahwa pemilihan anggota DPR dan MPR akan
diselenggarakan pada Januari 1946. Ternyata pemilu pertama baru terselenggara
hampir satu dasawarsa kemudian, 1955. itu bukan tanpa alasan, antara lain
karena pemerintahan baru belum siap dengan penyusunan perangkat UU Pemilu dan
karena kondisi keamanan akibat konflik internal antarkekuatan politik, selain
gangguan luar, membuat situasi tidak kondusif.
Sebagai hasil pemilu pertama 1955 untuk
anggota DPR tercatat nomor partai/nama sebanyak 28. Setelah memasuki masa
reformasi, hasil rekapitulasi perolehan suara nasional Pemilu 2004 dan jumlah
perolehan kursi parpol di DPR RI mencatat 24 nama partai politik yang telah
memperebutkan 550 kursi. Partai peserta Pemilu 2009 mencatat 44 nama partai.
Untuk mengurangi heboh kampanye yang membingungkan konstituen, yang tentunya
juga memakan biaya luar biasa besar, untuk Pemilu 2014 hanya 10 partai
politik dinyatakan lolos sebagai peserta pemilu. Idealnya, kita mendapatkan
10 partai politik yang inspiratif, yang mampu bersaing dalam suasana damai
dan harmonis.
Menjaga Integritas
Moral
Mayoritas konstituen, yang awam akan hiruk
pikuk dinamika politik praktis, mudah sekali percaya akan aksioma bahwa
politik itu kotor. Padahal, dia menjadi kotor karena ulah pelaku-pelaku
politik yang ingin membuat partai politik sebagai kendaraan mengejar
kekuasaan demi keuntungan pribadi dan kelompok mereka semata.
Politikus murni
memiliki idealisme yang memerlukan kekuasaan untuk mewujudkannya. Tanpa
kekuasaan, dia hanya bisa menjadi pengamat yang berdiri di pinggir. Dengan
kekuasaan, segala idealisme yang tercantum dalam visi dan misi partai
diperjuangkannya demi kejayaan dan kesejahteraan masyarakat. Diperlukan nyali
dan kesediaan berkorban yang luar biasa besar.
Tentu bukan dia sendiri yang bercita-cita
demikian. Di Tanah Air terdapat banyak tokoh yang mengemban idealisme dan
meyakini bahwa cara merekalah yang terbaik. Partaipartai politik yang
bercita-cita luhur sebaiknya menuangkan gagasan-gagasan dalam platform
politik. Itulah pentingnya pendidikan politik bagi para konstituen.
Di masyarakat demokratis, sistem pendidikan
politik dilakukan di masa pemilu. Saling pengertian antara publik dan partai
politik diperlukan karena tujuan utama partai politik ialah menjadi
penghubung antara para pemimpin pemerintahan dan publik yang memercayainya.
Untuk tujuan agar tidak memilih partai yang
salah, konstituen perlu teliti mempelajari siapa-siapa yang menggerakkan
partai, siapa-siapa yang diseleksi menjadi wakil, dari mana sumber dana
mereka, dan apa isi platform politik mereka. Serta bagaimana visi dan misi
mereka dalam menghadapi berbagai masalah bangsa dan cara-cara mengatasinya.
Yang terpenting, bagaimana integritas moral mereka. Itu menjadi landasan
suatu lembaga politik apakah bisa dipercaya atau tidak.
Spirit Founding
Fathers
Konsolidasi internal partai tidak semudah yang
orang bayangkan sebab banyak pendapat ingin ikut menentukan kebijakan dan
program partai. Memang diperlukan sapu jagat untuk membersihkan unsur-unsur
tidak murni dari partai; murni dalam arti merujuk ke cita-cita dan tujuan
akhir partai.
Ketidakcocokan bisa timbul karena alasan apa
saja. Antara lain untuk menghindari politik transaksional berlebihan yang
membuat masyarakat meragukan integritas moral calon yang akan dipilih; atau
merebaknya dikotomi tuamuda yang memang sedang banyak diwacanakan dalam
kehidupan politik.
Padahal, medan persaingan yang tidak gampang
memerlukan rasa saling percaya dan saling menghormati antaranggota. Tidak
bisa dibayangkan apa yang terjadi dengan citacita founding fathers bila di antara mereka terjadi ketidakcocokan
yang tidak relevan dengan visi dan misi partai.
Karena itu, slogan Patrice Rio Capella dari
Partai NasDem yang kedengaran bersemangat, `Agar yang tidak murni terbakar mati...' rasanya bisa juga
diaplikasikan semua partai politik yang dihantui langkah-langkah tidak murni
sebagian anggota mereka; dan yang berakibat timbulnya sinisme masyarakat
terhadap partai-partai politik. Gejala-gejala negatif seperti itu yang perlu
diwaspadai. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar