Selasa, 12 Februari 2013

Membawa Imlek ke Hati Bangsa


Membawa Imlek ke Hati Bangsa
Sylvie Tanaga ;   Penulis, Relawan DoctorSHARE (Yayasan Dokter Peduli) 
JAWA POS, 11 Februari 2013



LAHIR dari keluarga Tionghoa yang cukup totok (kental), Imlek, seperti yang tiba kemarin, adalah hari yang paling dinantikan. Pada hari besar inilah kami saling berkunjung dan berkumpul sebagai keluarga besar. Yang sudah menikah berbagi angpao. Makan malam menjadi agenda wajib sambil bertukar cerita. 

Kemeriahan Imlek semacam ini sungguh berbeda dibanding 10 tahun silam, sebelum Gus Dur menetapkan Imlek sebagai hari libur nasional lewat Keputusan Menteri Agama RI Nomor 13 tahun 2001. Kami tak perlu lagi merayakan Imlek setelah letih pulang sekolah atau bekerja. 

Imlek demi Imlek pun saya lewati dengan tenang bersama keluarga, lengkap dengan canda tawa. Seiring waktu, saya mulai memikirkan beberapa hal. Pemikiran ini mungkin terdengar klise, namun saya sungguh-sungguh memikirkannya, terutama ketika Imlek datang.

Pemikiran tersebut adalah apa yang sebenarnya ada di benak warga Tionghoa sebagai minoritas yang selama ini tinggal di negeri ini? Apakah mereka hanya memandang diri sebagai korban? Atau sebagai bagian integral yang dapat memberi kontribusi? Apakah suasana Imlek yang kini makin nyaman membawa perubahan pola pikir atau hanya dipandang sebagai hak?

Saya mengamati bahwa dalam hal pola pikir, etnis Tionghoa terbelah menjadi dua ekstrem. Ekstrem pertama selalu memandang etnisnya sebagai korban. Walau ada UU No. 40/2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, kelompok Tionghoa jenis ini selalu menempatkan diri sebagai korban. Apakah mereka lebay? Bisa jadi tidak.

Seorang teman Tionghoa asal Nias bercerita bahwa ia dipaksa petugas memperlihatkan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) saat hendak membuat surat kematian neneknya. Ia tak terima dan menantang mengapa SBKRI masih harus ditunjukkan. Belakangan, sang petugas mengaku ia hanya ingin uang.

Hal lebih mengenaskan terjadi saat banjir besar melanda kawasan Pluit, Jakarta. Menurut cerita rekan sukarelawan, keluarga Tionghoa Pluit dikenakan tarif Rp 500.000 saat menyewa perahu karet. Ancaman jika tak mau bayar adalah diturunkan di tengah jalan yang masih tergenang banjir tinggi. 

Kelompok esktrem pertama mengoleksi kejadian-kejadian pahit semacam ini, membungkus dan kemudian membuat pembenaran bahwa Tionghoa selalu menjadi korban. Lebih baik menjaga jarak dengan warga non-Tionghoa daripada mendapat masalah baru. Mereka menurunkan pemahaman semacam ini dari generasi ke generasi.

Ekstrim kedua adalah sebaliknya: memandang dirinya sangat nasionalis, bahkan adakalanya menuding sesama etnisnya hanya mencari keuntungan materi. Mereka memandang dirinya "kebetulan lahir sebagai Tionghoa" namun hatinya hanya terpaku untuk Indonesia. Bahkan ada yang tak mengakui identitas Tionghoa-nya karena justru dipandang menghambat dalam berkarya.

Persoalannya bukan lagi Tionghoa totok atau bukan tapi bagaimana seorang Tionghoa menerima nilai dari orang tuanya. Banyak teman Tionghoa totok yang ternyata memiliki pemikiran ekstrim kedua dan Tionghoa nontotok yang rupanya menganut ekstrim pertama. Tentu saja dua ekstrim ini adalah gambaran kasar yang merupakan pandangan pribadi saya.

Ketika Imlek datang, perbincangan mengenai topik tersebut seringkali muncul. Saya mulai bertanya-tanya. Tidak adakah Tionghoa Indonesia yang bangga dengan identitasnya sebagai Tionghoa, anti diskriminasi yang menimpa etnisnya tetapi pada saat yang bersamaan tidak memandang etnisnya paling hebat dan dengan sepenuh hati berkarya bagi negaranya?

Apakah gambaran tersebut terlalu ideal sehingga menjadi sesuatu yang tak mungkin?

Ternyata tidak. Saya bersyukur dikelilingi rekan-rekan Tionghoa yang memiliki sudut pandang semacam itu. Mereka tidak mengelak pernah mengalami diskriminasi namun tak pernah memandang dirinya sebagai korban seumur hidup. Mereka bangga dengan identitas Tionghoa-nya namun juga bangga berkarya bagi negaranya sebagai seorang Warga Negara Indonesia.

Saya tak akan menyebut tokoh sekaliber Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), Yohanes Surya atau Susi Susanti. Banyak sekali tokoh di sekitar kita yang tak tenar namun hatinya tak berbeda dengan ketiga tokoh tersebut. Sebagai contoh, saya mengenal sosok dr Lie A. Dharmawan yang mendirikan Yayasan Dokter Peduli atau doctorSHARE.

Meski sudah punya kehidupan mapan dan menjanjikan di Jerman sebagai seorang dokter dengan empat spesialisasi bedah, beliau memilih pulang ke tanah air yang saat itu masih penuh diskriminasi. Beliau ikut membantu mengobati demonstran 1998 yang terluka. 

Beliau pun aktif berorganisasi di Perhimpunan Indonesia Tionghoa dan menjadi sukarelawan di tengah kesibukannya yang luar biasa sebagai seorang dokter bedah. Beliau bangga dengan identitas Tionghoa-nya namun mau terjun membantu masyarakat yang paling membutuhkan.

Karya dr Lie bahkan melampaui konflik dualisme etnis Tionghoa dan non Tionghoa. Beliau rela memberi bedah gratis bagi warga tak mampu, tidur hingga dini hari demi memberi pelayanan pada pasien gawat, berani melakukan tindakan bedah bagi pasien yang sudah terkena HIV/AIDS, langsung terjun dengan perahu karet memban­tu warga yang baru-baru ini kebanjiran, dan masih banyak lagi. 

Tak banyak di antara Anda yang mung­kin pernah mendengar namanya, na­mun karyanya begitu nyata bagi ma­syarakat marginal. Dokter Lie A. Dharmawan bahkan menginspirasi saya dan rekan-rekan Tionghoa lainnya untuk melanjutkan visinya yang begitu luhur.

Selamat Tahun Baru Imlek 2564. Gong Xi Fa Chai!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar