Membawa
Imlek ke Hati Bangsa
Sylvie Tanaga ; Penulis, Relawan
DoctorSHARE (Yayasan Dokter Peduli)
|
|
JAWA
POS, 11 Februari 2013
LAHIR dari keluarga Tionghoa yang cukup totok (kental), Imlek, seperti yang
tiba kemarin, adalah hari yang paling dinantikan. Pada hari besar inilah
kami saling berkunjung dan berkumpul sebagai keluarga besar. Yang sudah
menikah berbagi angpao. Makan malam menjadi agenda wajib sambil bertukar
cerita.
Kemeriahan Imlek semacam ini sungguh berbeda dibanding 10 tahun
silam, sebelum Gus Dur menetapkan Imlek sebagai hari libur nasional lewat
Keputusan Menteri Agama RI Nomor 13 tahun 2001. Kami tak perlu lagi
merayakan Imlek setelah letih pulang sekolah atau bekerja.
Imlek demi Imlek pun saya lewati dengan tenang bersama keluarga, lengkap
dengan canda tawa. Seiring waktu, saya mulai memikirkan beberapa hal.
Pemikiran ini mungkin terdengar klise, namun saya sungguh-sungguh
memikirkannya, terutama ketika Imlek datang.
Pemikiran tersebut adalah apa yang sebenarnya ada di benak warga Tionghoa
sebagai minoritas yang selama ini tinggal di negeri ini? Apakah mereka
hanya memandang diri sebagai korban? Atau sebagai bagian integral yang
dapat memberi kontribusi? Apakah suasana Imlek yang kini makin nyaman
membawa perubahan pola pikir atau hanya dipandang sebagai hak?
Saya mengamati bahwa dalam hal pola pikir, etnis Tionghoa terbelah menjadi
dua ekstrem. Ekstrem pertama selalu memandang etnisnya sebagai korban.
Walau ada UU No. 40/2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis,
kelompok Tionghoa jenis ini selalu menempatkan diri sebagai korban. Apakah
mereka lebay? Bisa
jadi tidak.
Seorang teman Tionghoa asal Nias bercerita bahwa ia dipaksa petugas
memperlihatkan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) saat
hendak membuat surat kematian neneknya. Ia tak terima dan menantang mengapa
SBKRI masih harus ditunjukkan. Belakangan, sang petugas mengaku ia hanya
ingin uang.
Hal lebih mengenaskan terjadi saat banjir besar melanda kawasan Pluit,
Jakarta. Menurut cerita rekan sukarelawan, keluarga Tionghoa Pluit
dikenakan tarif Rp 500.000 saat menyewa perahu karet. Ancaman jika tak mau
bayar adalah diturunkan di tengah jalan yang masih tergenang banjir tinggi.
Kelompok esktrem pertama mengoleksi kejadian-kejadian pahit semacam ini,
membungkus dan kemudian membuat pembenaran bahwa Tionghoa selalu menjadi
korban. Lebih baik menjaga jarak dengan warga non-Tionghoa daripada
mendapat masalah baru. Mereka menurunkan pemahaman semacam ini dari
generasi ke generasi.
Ekstrim kedua adalah sebaliknya: memandang dirinya sangat nasionalis,
bahkan adakalanya menuding sesama etnisnya hanya mencari keuntungan materi.
Mereka memandang dirinya "kebetulan lahir sebagai Tionghoa" namun
hatinya hanya terpaku untuk Indonesia. Bahkan ada yang tak mengakui
identitas Tionghoa-nya karena justru dipandang menghambat dalam berkarya.
Persoalannya bukan lagi Tionghoa totok atau bukan tapi bagaimana
seorang Tionghoa menerima nilai dari orang tuanya. Banyak teman Tionghoa totok yang ternyata memiliki pemikiran
ekstrim kedua dan Tionghoa nontotok yang rupanya menganut ekstrim
pertama. Tentu saja dua ekstrim ini adalah gambaran kasar yang merupakan
pandangan pribadi saya.
Ketika Imlek datang, perbincangan mengenai topik tersebut seringkali
muncul. Saya mulai bertanya-tanya. Tidak adakah Tionghoa Indonesia yang
bangga dengan identitasnya sebagai Tionghoa, anti diskriminasi yang menimpa
etnisnya tetapi pada saat yang bersamaan tidak memandang etnisnya paling
hebat dan dengan sepenuh hati berkarya bagi negaranya?
Apakah gambaran tersebut terlalu ideal sehingga menjadi sesuatu yang tak
mungkin?
Ternyata tidak. Saya bersyukur dikelilingi rekan-rekan Tionghoa yang
memiliki sudut pandang semacam itu. Mereka tidak mengelak pernah mengalami
diskriminasi namun tak pernah memandang dirinya sebagai korban seumur
hidup. Mereka bangga dengan identitas Tionghoa-nya namun juga bangga
berkarya bagi negaranya sebagai seorang Warga Negara Indonesia.
Saya tak akan menyebut tokoh sekaliber Basuki Tjahaja Purnama (Ahok),
Yohanes Surya atau Susi Susanti. Banyak sekali tokoh di sekitar kita yang
tak tenar namun hatinya tak berbeda dengan ketiga tokoh tersebut. Sebagai
contoh, saya mengenal sosok dr Lie A. Dharmawan yang mendirikan Yayasan
Dokter Peduli atau doctorSHARE.
Meski sudah punya kehidupan mapan dan menjanjikan di Jerman sebagai seorang
dokter dengan empat spesialisasi bedah, beliau memilih pulang ke tanah air
yang saat itu masih penuh diskriminasi. Beliau ikut membantu mengobati
demonstran 1998 yang terluka.
Beliau pun aktif berorganisasi di Perhimpunan Indonesia Tionghoa dan
menjadi sukarelawan di tengah kesibukannya yang luar biasa sebagai seorang
dokter bedah. Beliau bangga dengan identitas Tionghoa-nya namun mau terjun
membantu masyarakat yang paling membutuhkan.
Karya dr Lie bahkan melampaui konflik dualisme etnis Tionghoa dan non
Tionghoa. Beliau rela memberi bedah gratis bagi warga tak mampu, tidur
hingga dini hari demi memberi pelayanan pada pasien gawat, berani melakukan
tindakan bedah bagi pasien yang sudah terkena HIV/AIDS, langsung terjun
dengan perahu karet membantu warga yang baru-baru ini kebanjiran, dan
masih banyak lagi.
Tak banyak di antara Anda yang mungkin pernah mendengar namanya, namun karyanya
begitu nyata bagi masyarakat marginal. Dokter Lie A. Dharmawan bahkan
menginspirasi saya dan rekan-rekan Tionghoa lainnya untuk melanjutkan
visinya yang begitu luhur.
Selamat Tahun Baru Imlek 2564. Gong
Xi Fa Chai! ●
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar