BERITA keterlibatan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Luthfi
Hasan Ishaaq dalam suap impor daging sapi mengguncang jagat politik Tanah
Air. Partai berslogan bersih dan jujur serta menerapkan prinsip dakwah itu
seakan-akan tak kuasa lagi membendung kemerebakan korupsi. Kasus ini
seperti menjadi penegas bahwa hampir semua partai tidak memiliki imunitas
dalam membentengi diri dari jerat korupsi.
Bagi partai dakwah itu, kasus suap impor daging sapi itu melengkapi
cerita buruk yang juga melibatkan kader partai tersebut, setelah sebelumnya
Misbakhun terjerat kasus LC fiktif senilai Rp 200 miliar dan Arifianto yang
terekam kamera wartawan lagi menikmati video porno saat persidangan di
gedung DPR.
Secara arkeologis, PKS merupakan partai baru yang lahir setelah
reformasi. Partai itu dibidani kekuatan intelektual berbasis kampus dengan
menempatkan ideologi Islam sebagai asas. Kekuatan ini berpadu dengan
kelompok pembaharuan Islam lain yang cenderung puritan. Basisnya adalah
masyarakat perkotaan rasional dan kelompok mahasiswa yang ingin menempatkan
ideologi Islam sebagai basis politik demokrasi. Karena itu, keberadaan
mereka seringkali dikaitkan dengan kekuatan Islam internasional, seperti
Ikhwanul Muslimin.
Pada Pemilu 2009, pemilu pertama setelah reformasi, partai itu kurang
mendapatkan respons dari pasar politik sehingga tak lolos electoral threshold waktu itu.
Tetapi dengan semangat dakwah dan pembangunan basis kaderisasi yang kuat,
partai itu berkembang menjadi kekuatan politik yang cukup seksi; partai
tengah yang sering menjadi rebutan koalisi.
Nilai Primordial
Keberadaan PKS punya makna yang besar dalam dua konteks. Pertama; penegasan
mereka sebagai partai bersih dan jujur seakan menemukan konteksnya di
tengah kesuburan korupsi di ladang birokrasi, yudikatif, dan partai
politik. Seakan-akan oasis, menghadirkan perilaku yang menjanjikan. Mereka
juga hadir di tengah masyarakat saat terjadi musibah sosial. Jadi, mereka
memberi kesan bersih dan peduli terhadap persoalan sosial di tengah
masyarakat.
Kedua; sebagai partai berbasis Islam, PKS mampu menerjemahkan diri
sebagai wahana tepercaya kelompok Islam modern di perkotaan dan kampus.
Sebagaimana dilontarkan oleh intelektual Islam Hassan Hanafi dari Maroko,
di tengah hantaman modernisme yang begitu kuat, kecenderungan masyarakat
untuk kembali pada nilai-nilai primordial juga makin kuat.
Memang ada partai lain bernuansa Islam seperti Partai Kebangkitan
Bangsa (PKB), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Persatuan
Pembangunan (PPP), tetapi mereka dipandang tidak memberi ekspektasi
menjanjikan. Generasi muslim baru di perkotaan ini lebih bercorak rasional,
fundamental, dan progresif karena mereka tumbuh dalam kultur modernitas
kota-kota baru di Indonesia.
Jadi, saat ini eksistensi mereka telah memiliki segmentasi politik yang
jelas yang berbasis pada kekuatan islam perkotaan itu. Hanya, ketika telah
menjadi sebuah partai yang mapan, mereka dihadapkan pada berbagai persoalan
internal layaknya partai pada umumnya, mengelola pembiayaan, tuntutan
perbesaran konstituen, dan pembinaan internal agar kualitas kader
benar-benar bisa menjaga citra sebagai partai dakwah.
Dalam kompleksitas persoalan ini, kemunculan kasus Misbakhun,
Arifinto, dan kasus suap impor daging yang Luthfi Hasan Ishaaq merupakan
ujian terhadap eksistensi mereka sendiri.
Beban Teologis
Sebagai partai politik, sebagaimana ditegaskan oleh Robert Klipgaard
bahwa korupsi terjadi jika seseorang sudah memonopoli kekuasaan, punya
kemerdekaan untuk bertindak, namun tidak disertai oleh pertanggungjawaban
sebagaimana mestinya. Penegasan Klipgaard ini seakan memberi sinyal bahwa
korupsi bisa terjadi pada orang atau partai apa saja, termasuk partai yang
selama ini menegaskan diri bersih dan jujur sekalipun.
Karena korupsi menjadi sebuah ancaman kekuasaan, jika PKS ingin
konsisten dengan label partai dakwah maka harus mampu membuat garis
demarkasi tegas antara keberadaan partai politik dan partai dakwah.
Bila ini tidak bisa dilakukan maka ia akan kehilangan
genuisitas diri yang melekat dengan karakteristik dakwah. Padahal
kekuatannya justru terletak di situ. Jika PKS tidak ingin kehilangan
basis konstituen dan tetap memberikan ekspektasi luas dalam kontribusinya
kepada bangsa dan negara dalam membentuk penyelenggaraan pemerintahan yang
bersih, setidak-tidaknya ada empat jalan keluar yang harus dilakukan.
Pertama; PKS harus melakukan pembersihan internal dari kader-kadernya yang
tergoda hedonisme dan kesenangan materi. Pembersihan sebagai wujud konkret
dari partai bersih yang selama ini menjadi brand image.
Kedua; harus melakukan konsolidasi internal untuk melawan konspirasi
kaum fobia Islam. Kelompok fobia Islam akan menerapkan segala cara untuk
melemahkan basis fundamental PKS semisal meruntuhkan citra bersihnya.
Sebab, konsolidasi internal yang baik, akan disertai dengan konsolidasi
eksternal untuk mempertahankan marwah dan wibawa partai di depan masyarakat
umum untuk mengembalikan citra yang ternoda.
Ketiga; PKS harus bisa menjadikan momentum kasus yang melibatkan
Luthfi Hasan Ishaaq itu sebagai kesempatan untuk lompatan politik sehingga
makin menguatkan basis fundamental. Jika partai bisa mengelola dengan baik
momentum itu justru bisa makin menambah kekuatan partai pada masa
mendatang.
Keempat; terkait dengan kultur masyarakat Indonesia yang pragmatis,
perlu pendidikan politik supaya publik bisa melihat lebih jernih fenomena
korupsi yang melibatkan Presiden PKS sehingga masyarakat bisa membaca
apa yang sebenarnya terjadi dengan melihat latar belakang dan kepentingan
politik yang mengitarinya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar