Perdebatan keterwakilan perempuan
pada Pemilu 2014 kembali mencuat ketika Komisi Pemilihan Umum menegaskan,
jika keterwakilan perempuan tidak tercapai dalam satu daerah pemilihan,
parpol peserta pemilu tidak dapat mengajukan calon pada dapil tersebut
(Kompas, 19/1).
Keberatan muncul dari kalangan
elite parpol dengan berbagai alasan. Pertama, syarat kuota hanya
diberlakukan di tingkat pusat. Kedua, hal itu mendorong kronisme politik.
Ketiga, di tingkat lokal, kultur dan tradisi tidak memberikan keleluasaan
tampilnya perempuan dalam politik.
Keberatan keterwakilan perempuan
dalam pemilu pantas diperdebatkan dalam beberapa aspek. Pertama, sejauh
mana pemahaman dan komitmen parpol terhadap kebijakan afirmasi. Kedua,
sejauh mana kaderisasi berjalan di parpol sebagai salah satu fungsinya.
Ketiga, sejauh mana kronisme politik dalam rekrutmen calon.
Langkah Afirmatif
Tampaknya pemahaman elite partai
terhadap kebijakan afirmasi belum menyentuh tataran kesadaran pentingnya
keterwakilan perempuan. Elite partai—yang notabene mayoritas
laki-laki—melihat keterwakilan perempuan dalam konsepsi zero-sum game. Kehadiran perempuan
dalam kontestasi politik akan mengurangi peluang dan kesempatan politiknya
dalam pencarian kekuasaan. Kebijakan afirmasi adalah kebijakan diskriminasi
positif yang diambil untuk meningkatkan representasi perempuan sebagai
kelompok minoritas di area politik karena di sepanjang sejarahnya,
perempuan terabaikan di area ini. Pengabaian politik pada kelompok
minoritas adalah buruk dalam perspektif komitmen demokrasi.
UU Pemilu menetapkan kuota dengan
metode zyper, yakni sekurang-kurangnya satu perempuan dalam tiga
calon. Metode ini masih relevan dan diperlukan ketika masyarakat belum
sepenuhnya sadar jender. Konstituen pemilu lebih mencari kemudahan dalam
pencontrengan dengan mencari nomor urut sehingga keharusan setiap daerah
pemilihan menempatkan perempuan dengan metode zyper setidaknya merealisasi
kebijakan afirmasi.
Salah satu fungsi partai adalah
melakukan kaderisasi anggota, khususnya menyediakan kandidat baik laki-laki
maupun perempuan untuk dinominasikan dalam pemilu. Namun, keterbatasan
ketersediaan perempuan kader tak berdasar dengan beberapa alasan. Pertama,
tak terpenuhinya penyiapan infrastruktur partai sehingga muncul problem
keterbatasan perempuan kader. Terpeliharanya tradisi politik yang malestream (berpusat pada arus
laki-laki) menghasilkan sedikit perempuan yang direkrut sebagai kader
partai. Kedua, rendahnya bangunan jejaring antara organisasi sayap dan
parpol. Sangatlah mudah mencari kader bagi partai yang punya basis pemilih
NU atau Muhammadiyah ketika partai berjejaring dengan organisasi sayap
perempuan seperti Fatayat, Muslimat, dan Aisyiah. Begitu pula partai-partai
nasionalis yang di dalamnya memiliki organisasi sayap atau divisi perempuan
tidak akan sulit mencari perempuan kandidat.
Ketiga, kelambanan partai
mengadopsi kebijakan afirmasi—sudah diberlakukan di dua periode pemilu
sebelumnya—sebagai peluang memasukkan perempuan sebagai kader yang siap
dalam kontestasi di pemilu. Keempat, kukuhnya budaya patriarki dalam
kaderisasi politik. Faktor budaya patriarki menjadi dasar resistensi
terhadap inklusi perempuan. Pengalaman politik selalu ditekankan pada calon
perempuan, yang belum tentu juga diberlakukan kepada calon laki-laki. Pada
satu sisi, minimalnya pengalaman politik perempuan tak disebabkan faktor
individual, tetapi sangat ditentukan struktur peluang politiknya. Tuntutan
kualifikasi pengalaman politik dalam penominasian perempuan menjadi
persyaratan utama. Bagaimana perempuan mendapat pengalaman politik ketika
perempuan dihadapkan pada pilihan dikotomis, mengutamakan peran domestik
atau peran publik.
Oleh karena rendahnya dukungan
keluarga untuk memfasilitasi perempuan menjadi politisi, perempuan
cenderung lebih memilih pada kategori peran privat daripada publik. Pilihan
itu berimplikasi pada rendahnya pengalaman politik yang kemudian menjadi
amunisi bagi parpol untuk pencalonan perempuan. Keterwakilan perempuan
ditengarai elite partai sebagai cara baru membangun kronisme politik.
Lagi-lagi kehadiran perempuan dalam kandidasi disasar sebagai salah satu
pemapanan kronisme politik. Ada beberapa sebab berkembangnya kronisme
politik dalam penominasian calon. Pertama, dalam sistem politik
patrimonial, penominasian calon ditentukan bos partai. Hegemoni kekuasaan
oleh bos partai menjadikan kedekatan, kekeluargaan, dan patronase
lebih mengemuka ketimbang pengalaman, kemampuan, dan loyalitas.
Kedua, melanggengkan kekuasaan bos
partai melalui hubungan kekeluargaan sehingga rekrutmen terbatas pada
ikatan kekerabatan (adik, kakak, suami, istri, atau keponakan). Akan sulit
direkrut dalam pencalonan mereka yang tak punya hubungan kekeluargaan.
Parpol ibarat glass ceiling bagi perempuan karena sulit menembus dinding
maskulinitas lembaga politik dan kultur patriarki. Pada akhirnya, perempuan
masuk ke dalam jebakan konstruksi partai, yaitu mengadopsi kebiasaan sosial
dari partai dengan menjalin kronisme politik. Konstruksi ini dimanipulasi
sedemikian rupa menjadi keberatan terhadap inklusi perempuan dalam politik.
Keberlangsungan Keterwakilan
Keberlangsungan keterwakilan
perempuan bisa dijamin dengan beberapa persyaratan penting. Pertama, aspek
individual perempuan untuk merealisasi keterwakilan perempuan. Keinginan
perempuan ikut seleksi hanya bisa direalisasikan ketika perempuan mampu
mengubah ambisi nascent menjadi ambisi progresif. Artinya, perempuan mulai
asertif terhadap kekuasaan dengan cara masuk ke politik formal seperti di
parpol dan legislatif. Perempuan yang memasuki dunia politik akan punya
pengalaman politik sehingga kualifikasi kelayakan dan kepantasan politik
tak menjadi instrumen untuk menjauhkan perempuan dari area politik.
Kedua, aspek institusional, yakni
lembaga politik dan pelaksana kebijakan tetap berkomitmen untuk tak
resistan dengan hadirnya perempuan di area politik. Keterwakilan perempuan
bukan persoalan berebut atau distribusi kekuasaan, tetapi memberikan ruang
pengakuan ada jenis kelamin lain yang juga memiliki suara, kepentingan, dan
gagasan yang perlu direpresentasi. Jadi, kemauan politik elite parpol dan
mereka yang berada di lembaga politik dan pemerintah untuk memperkenalkan
dan memaksa sistem kuota merupakan sebuah kebijakan afirmatif.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar