ENAM puluh enam tahun yang lalu (5 Februari 1947), sekelompok
mahasiswa di Sekolah Tinggi Islam (sekarang Universitas Islam Indonesia)
Jogjakarta mendirikan Himpunan Mahasiwa Islam (HMI), organisasi mahasiswa
Islam pertama di Indonesia. Dua mainstream besar latar berdirinya adalah mengawal Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan menjaga syiar Islam.
Keislaman-keindonesiaan menggelayuti awal berdirinya HMI. Itulah awal
perjalanan sejarah HMI yang di kemudian hari, sejujurnya, menopang
pemerintahan Orde Baru.
Pada generasi-generasi awal HMI, telah muncul
pemikir-pemikir yang menitikberatkan pada penguatan pemikiran
keislaman-keindonesiaan. Pada saat itu negara berupaya membangun identitas
diri, HMI mengambil jarak dengan pemikiran formalisasi Islam sebagai
kiblat negara Indonesia. Dalam hal ini, HMI tidak sependapat dengan
pemikiran mendirikan Indonesia menjadi negara Islam. Dalam pertarungan
ideologi global, pan-Islamisme, komunisme, dan nasionalisme, HMI mencoba
berposisi moderat.
Pada peralihan pemerintahan dari Orde Lama ke Orde Baru, HMI terlibat
menyokong secara penuh Orde Baru. Pemikiran moderat HMI yang lebih
mengedepankan Islam substantif dalam bernegara dan tidak sependapat dengan
formulasi negara komunis menjadi titik temu pemikiran HMI dengan Orde Baru.
Dengan pemikiran moderat HMI tersebut, Soeharto dengan Orde Baru-nya pun
berkepentingan memberikan ruang kepada mereka untuk mewarnai pemerintahan
yang sedang dibangunnya. HMI perlahan mulai mengakar ke elite pemerintahan.
Fase Negara
Harus diakui, Orde Baru merupakan babak baru sejarah Indonesia yang
sebelumnya gamang dalam membangun identitas negara di tengah pertarungan
ideologi masa Perang Dingin. Pada masa itu, settingdunia sedang
mengalami ketegangan tinggi yang berakhir dengan konflik militer seperti [Blokade
Berlin] (1948-1949), [Perang
Korea] (1950-1953), [Krisis
Suez] (1956), [Krisis
Berlin (1961]), [Krisis
Rudal Kuba] (1962),[Perang
Vietnam] (1959-1975), [Perang
Yom Kippur] (1973), dan
lain-lain.
Akhirnya, tren negara-negara Asia Tenggara dan dunia ketiga saat itu
menempatkan pemimpin-pemimpin dari militer dan ''bertangan besi'' untuk
mengendalikan negara (Tania Muray Li : 2012). Maka, formulasi saat itu,
negara menjadi sentrum perubahan sosial dan politik yang berlangsung
beberapa dasawarsa. Itulah fase negara pasca kolonialisme setelah Indonesia
merdeka. Pada era itu, ruang apa yang diambil HMI pada fase negara
tersebut?
Karena negara didesain dalam sistem sentralisme-totalitarian, HMI kemudian
menempatkan perjuangannya dengan menempel dan menyokong negara pada era
Orde Baru. Ada dua grand
design gerakan yang
dilakukan HMI saat itu untuk menyokong negara. Yakni, gerakan pemikiran dan
gerakan politik. Gerakan pemikiran lebih berfokus pada aspek pembaruan
pemikiran keislaman dan di dunia politik mendistribusikan kader-kadernya
untuk menyokong pemerintahan Orde Baru.
Formulasi negara sebagai sentrum dengan program developmentalisme
(pembangunan) meniscayakan harus adanya keterbukaan pemikiran masyarakat
Indonesia. Karena itu, Islam sebagai agama yang mayoritas dipeluk rakyat
Indonesia harus berpikir terbuka dan maju agar orientasi pembangunan serta
modernisasi berjalan baik. Karena itu, Nurcholish Madjid yang notabene saat
itu menjadi anggota HMI mengeluarkan jargon ''Islam Yes Partai Islam No?''
pada akhir 1960-an. Di HMI juga disusun nilai-nilai dasar perjuangan (NDP)
oleh Nurcholish dengan semangat pemikiran yang sama.
Di langgam politik, HMI memainkan peran politik yang signifikan dalam
menyokong negara. Pada perkembangan selanjutnya, gerakan politik itulah
yang lebih dominan mewarnai gerakan HMI ke depan. Bahkan mampu menggerus
kekuatan gerakan intelektualnya. Dan, Akbar Tandjung menjadi representasi
kader politik, sedangkan Nurcholish menjadi representasi gerakan
intelektual Islam HMI kala itu. Akbar terpilih menjadi ketua umum PB HMI
pada kongres ke-10 di Palembang pada 1971. Sementara itu, Nurcholish
terpilih pada kongres ke-8 dan ke-9 pada 1966 dan 1969. Itulah masa-masa
awal tonggak era negara.
Connected Kids
Kini etape negara sudah berakhir. Sistem yang mulanya sentralisasi berganti
ke sistem desentralisasi. Abad pun berganti dari abad ke-20 kini memasuki
abad ke-21. Negara yang awalnya pengatur secara totaliter tidak lagi
berdiri tunggal. Negara bukan lagi satu-satunya komponen untuk melakukan
perubahan sosial. Sistem politik yang sebelumnya terdesain pada demokrasi
representatif sekarang bergeser menjadi demokrasi partisipatif (baca:
pemilihan langsung). Di tengah perubahan itulah, HMI kini berdiri memasuki
usia ke-66 tahun.
Di tengah pergantian zaman dan sistem tersebut, tidak ada alasan lagi bagi
HMI untuk tidak berubah dan menegok ulang sistemnya saat ini agar
kompatibel dengan semangat perubahan zaman. Dalam pemikiran Islam, HMI
harus mampu merespons perkembangan gerakan Islam yang cenderung terjebak
pada identitas simbolis Islam. HMI pun harus tidak lagi memandang negara
sebagai satu-satunya sentrum perubahan sosial-politik yang harus direbut.
Saat ini, kader-kader baru HMI merupakan generasi connected kids alias anak-anak zaman yang saling
terkoneksi karena kemajuan teknologi informasi. Jangan-jangan, badai
politik di internal HMI saat ini merupakan gerak efek dari belum terjadinya
pembenahan di dalam organisasi HMI yang sesuai dengan era kekinian. Orde
Baru yang tertutup, pada dasarnya, juga sudah tidak kompatibel dengan
perkembangan zaman yang kian terbuka dan terkoneksi. Pertanyaannya, ke mana
HMI akan melangkah pascanegara ini pada usianya yang ke-66 tahun?
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar