ALMARHUM KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, sang presiden filsuf, saat
memberikan pengajian di rumahnya, Ciganjur, pernah menjelaskan makna vivere pericoloso. Kata itu menjadi bagian dari pidato kenegaraan terkenal
Bung Karno, yakni Tahun Vivere Pericoloso atau Tavip, pada 17
Agustus 1964. Menurut Gus Dur, vivere pericoloso adalah orang-orang yang bekerja
di dekat tungku perapian besar. Peran mereka sangat penting bagi
masyarakat. Namun, mereka selalu berada dalam kondisi bahaya. Jika salah
melangkah, nyawa taruhannya.
Metafora Bung Karno itu agaknya menjelaskan kondisi dalam
dinamika politik di Partai Demokrat (PD) saat ini. Setelah pengumuman
Saiful Mujani Research Center yang salah satunya memprediksi turunnya suara
PD di tengah kepuasan terhadap pemerintah SBY, survei itu kemudian menjadi
berita yang ikut memberi bumbu, atau malah dijadikan alasan, bagi konfik
internal PD.
Dalam kondisi demikian, SBY sebagai pemimpin penentu PD
dan ketua dewan pembina, tengah dituntut berperan sebagai seorang filsuf
raja. Perannya sebagai penentu utama dalam konflik di tubuh partai
ditunggu-tunggu untuk merespons cepat, namun saksama bagi PD, bahtera
politik yang membawanya menjadi pusat di dalam pusaran kekuasaan Indonesia.
Sebab, bisa jadi turunnya elektabilitas PD ini merupakan akibat gaya slow motion dari Presiden SBY yang secara
perlahan mengikis harapan yang selama ini digantungkan, baik oleh
konstituen maupun publik.
Kondisi yang dihadapi PD kini memang genting. Setiap
petinggi partai ibarat bekerja dalam tungku perapian. Jika salah melangkah
sedikit, terbakarlah konsekuensinya. Dalam kondisi demikian, nakhoda utama
partai tersebut, yaitu Presiden SBY, diharapkan menjadi dirigen yang bijak
dalam menghadapi kemelut di dalam partainya.
Dia dihadapkan pada tantangan besar dalam partai politik
yang selanjutnya menjadi warisan politik yang bakal dikenang dalam sejarah
politik Indonesia. Apabila langkahnya tepat, akhir kekuasaannya menjadi
pijakan penting dan contoh seorang pemimpin yang menyelesaikan kemelut.
Sebaliknya, apabila tidak, dia hanya akan dikenal sebagai politisi yang
membiarkan bahtera politiknya hancur lebur pada akhir masa kepemimpinannya.
Tantangan di depan mata adalah PD mampu melakukan
konsolidasi politik yang solid dalam waktu setahun sampai 2014 sehingga
tetap menjadi kekuatan nomor satu dalam pemilu. Ini bukan perkara mudah.
Apalagi, performa partai saat ini disibukkan oleh konflik internal,
dihantam kasus dugaan beberapa kader yang terlibat korupsi, dan performa
partai dalam beberapa momen pilkada yang kurang meyakinkan.
Untuk menghadapi persoalan di atas, PD harus menyiapkan
diri dalam waktu yang singkat dengan memperbaiki mesin politiknya.
Setidaknya ada tiga hal yang patut dipertimbangkan oleh Presiden SBY,
jajaran petinggi, serta kader partai dalam mempersiapkan diri menuju momen
2014.
Pertama, kini saatnya membangun konsolidasi politik
internal yang solid. Yakni, mengintegrasikan lini eksekutif, legislatif,
dan basis partai politik sebagai pilar utama kekuatan yang memenangkan
Presiden SBY pada 2009. Resolusi konflik politik yang memanas sebagai
bagian dari dinamika politik di internal PD harus segera ditemukan.
Setiap pihak dan aktor strategis yang berkonflik dalam
partai seharusnya sadar bahwa dalam kondisi genting seperti ini bukan
saatnya melakukan pertarungan di antara faksi. Ini adalah saat yang
mendesak untuk duduk bersama satu meja dan membicarakan cara memperkuat
kembali kinerja partai dalam waktu setahun. Terlalu mepet waktu untuk
saling menyingkirkan.
Kedua, antikorupsi yang menjadi agenda penting dalam
reformasi ekonomi politik kita. Dalam struktur politik predatoris yang
begitu kental saat ini, agenda antikorupsi sangat mendesak untuk
merehabilitasi republik. Meski demikian, urgensitas wacana antikorupsi ini
jangan sampai tertunggangi dan menjadi bagian dari kepentingan politisi
dari satu faksi politik untuk menghantam faksi yang lainnya.
Dari titik ini, independensi dan otoritas KPK dalam
menyelesaikan kasus-kasus korupsi yang menyandera PD seperti kasus
Hambalang menjadi penting untuk dicermati. Jangan sampai kader yang belum
terbukti atau dijadikan tersangka oleh KPK kemudian mendapatkan stigma
politik sebagai pelaku korupsi yang justru disalahgunakan oleh kader-kader
PD itu sendiri. Kesalahan untuk mengambil tindakan dengan menghantam kader
yang belum terbukti bersalah di tengah urgensitas bagi konsolidasi politik
menuju 2014 akan berujung pada bunuh diri politik bagi partai tersebut.
Ketiga, kembalikan kepercayaan publik terhadap PD. Ini
saatnya PD menyadari, setelah selesainya kepemimpinan Presiden SBY 2014, PD
tidak lagi dapat bergantung pada kepemimpinan figur dan kharismanya. PD
harus menjelma menjadi partai politik modern. Fondasi ideologisnya harus
ditata. Organ kadernya harus ditempa untuk mendekatkan diri kepada akar rumput.
Manajemen konfliknya harus dibangun agar dinamika konflik di kalangan kader
tidak menjelma menjadi pertarungan tak sehat yang menghancurkan partai itu
sendiri.
Pada momen vivere pericoloso ini, kebijakan seorang pemimpin,
kedewasaan kader, dan pelembagaan politik akan diuji. Rakyat melihat
bagaimana mereka membangun solusi cerdas saat menghadapi tantangan selama
1-2 tahun ke depan yang genting. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar