Imlek kembali tiba. Tahunnya menunjukkan
angka 2564, yang dihitung sejak kelahiran Confusius pada 551 Sebelum
Masehi. Dengan demikian, angka 2564 merupakan penjumlahan angka 551 dan
2013. Mulai Minggu (10/2), kalander China memasuki Tahun Ular Air yang
punya pesan utama agar kita cerdik dan senantiasa waspada dalam menyikapai
setiap keadaan, sekaligus tetap peduli pada apa yang ada di sekitar
kita.
Seperti
diketahui, perhitungan penanggalan Imlek semula didasarkan atas peredaran
bulan mengelilingi bumi (lunar
calendar), dan telah dikenal sejak ribuan tahun sebelum Masehi.
Perayaan satu
ini tidak lagi memopoli masyarakat di negeri China saja. Tapi perayaan ini
sudah menjadi fenomena global, karena juga dirayakan oleh masayarakat China
di berbagai kawasan dan negeri berbeda, seperti Hong Kong, Korea, Malaysia,
Mongolia, Singapura, Taiwan, Thailand, Vietnam, Australia, dan Indonesia.
Hari Persaudaraan
Biasanya kalau
kita cermati, aktivitas yang menonjol selama Imlek adalah atraksi
barongsai, tarian naga, dan makanan kue keranjang. Namun, kalau kita mau
mencermatinya lebih dalam, sebenarnya perayaan Imlek juga sarat dengan
aspek religius dan sosial. Ini bisa kita lihat dalam berbagai kegiatan yang
berlangsung selama 21 hari yang berlangsung sebelum, selama, dan sesudah
Imlek. Tidak hanya terbatas pada acara suka ria dan pesta, melainkan juga
diperkaya dengan aneka kegiatan sosial.
Seminggu
sebelum awal Tahun Baru Imlek, misalnya setiap orang yang mendapatkan
rezeki berlimpah dari Sang Khalik wajib mengulurkan tangan, membantu
sesamanya yang membutuhkan. Bagi masyarakat China atau Tionghoa, seminggu
sebelum Imlek secara tradisional juga diperingati sebagai “Hari
Persaudaraan”. Momen inilah yang rasanya perlu mendapat perhatian dalam
perayaan Imlek kali ini, khususnya dalam konteks negeri kita hari-hari ini.
Kalau kita
tilik sejarah, sudah sejak lama warga keturunan berada di negeri ini. Data
sejarah menunjukkan, migrasi besar-besaran orang China ke negeri ini konon
sudah mulai sejak abad 13 sampai 20. Runtuhnya Dinasti Song ke tangan
penguasa Mongol pada abad 13 Masehi bersamaan dengan pelayaran sekitar
10.000 utusan resmi Dinasti Song ke Nusantara (tepatnya Jawa). Namun
mendengar Dinasti Song jatuh, para utusan itu pun menetap di Jawa. Sejarah
kemudian memang bisa mencatat dengan tinta emas tentang sumbangan dan
peranan masyarakat Tionghoa, khususnya dalam bidang pertanian, kuliner, dan
gaya hidup.
Tetapi sejarah
juga bisa menyaksikan kekejaman dan kepahitan yang dialami warga keturunan,
seperti dalam Tragedi Mei 1998 yang sampai saat ini masih belum diketahui
siapa pelakunya, sementara para korban masih mengingat kejadian itu dengan
perasaan traumatis. Perasaan seperti ini jika dituruti rasanya memang bisa
menjadi kendala untuk membangun persaudaraan yang jujur di antara sesama
warga bangsa yang beragam etnis. Tragedi Mei semoga tidak akan terulang.
Tragedi itu memang menjadi penutup bagi berakhirnya rezim otoriter, yang
pernah memasung kehidupan sosial polititk etnis Tionghoa lewat beragam
aturan, seperti regulasi soal pergantian nama (1961), ditutupnya
sekolah-sekolah berbahasa pengantar Mandarin (1966), kehidupan masyarakat
Tionghoa juga diawasi dengan keluarnya Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun
1967 tentang larangan agama, kepercayaan dan adat istiadat, termasuk
larangan Imlek.
Kini etnis
Tionghoa di Tanah Air kian menyatu dengan mainstream dan banyak terlibat
dalam kehidupan, termasuk politik. Ada yang jadi menteri, kepala daerah,
anggota DPR/DPRD, dan sebagainya. Padahal dunia politik ini, semula amat
dijauhi, apalagi selama Orba, kita sudah membaca di atas ada begitu banyak
aturan yang memasung etnis Tionghoa.
Kepedulian Setiap Hari
Dalam konteks
Indonesia terkini, pesan persaudaraan Imlek itu menemukan relevansinya
ketika masih ditemukan fakta bahwa masih ada sekitar 110 juta warga negeri
ini hidup dalam kemiskinan (menurut versi Bank Dunia, miskin berarti hidup
kurang dari US$ 2 atau Rp 19.00 per hari).
Segenap etnis
Tionghoa yang kebetulan dianugerahi kekayaan materi tentu tidak boleh
membutakan nurani melihat fakta mengenaskan ini. Kita jangan lagi
berpolemik soal kemiskinan dari menara gading atau malah mereduksi
orang-orang miskin di dalam angka, sementara setiap hari orang-orang miskin
butuh makanan cukup di tengah kian melambungnya harga kebutuhan pokok yang
kian mencekik.
Fakta masih
adanya orang miskin tentu bukan kesalahan orang kaya, tetapi lebih karena
ketidakbecusan pemerintah. Namun mari kita segenap etnis Tionghoa yang kaya
tidak hanya “nyinyir” lantang mengkritik pemerintah yang para elitenya
sibuk memperkaya diri. Namun mari dengan langkah nyata, kita ikut terjun
dalam pengentasan kemiskinan, entah lewat pembukaan lapangan kerja,
pemberian upah yang layak bagi mereka yang bekerja di perusahaan kita, atau
menyekolahkan anak-anak orang miskin dengan menyediakan beasiswa atau
langsung mendidik mereka seperti dilakukan Profesor Yohanes Surya yang
mendidik anak-anak miskin Papua. Langkah nyata seperti itu jelas bentuk
kepedulian yang lebih bermakna daripada berpolemik tentang isu politik tertentu.
Namun seiring
Imlek, tidak berarti kepedulian atau tindakan saling membantu ini hanya
berlangsung selama satu hari saja. Singkatnya, hanya memberi angpau
“recehan” seolah sudah cukup. Kata-kata Confucius di awal tulisan ini
kiranya bisa menjadi daya dorong agar kita tidak lelah untuk terus peduli
pada yang lemah. Diingatkan pula oleh Confucius bahwa di dalam upaya untuk
saling tolong-menolong itu, seyogianya kita tidak melihatnya secara
tersekat-sekat, terkotak-kotak, karena pada hakikatnya menurut tokoh yang
juga disebut dengan Kong Hu Cu itu, di empat penjuru samudera, semua
manusia sesungguhnya bersaudara. Gong Xi Fa Cai 2564. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar