Indonesia, negara berpenduduk muslim
terbanyak dan kepulauan terbesar di dunia, terdiri atas beragam suku
bangsa, termasuk Tionghoa (China), yang sudah menjadi bagian dari keragaman
negeri ini sejak abad ke-15 (jauh sebelum Indonesia memproklamasikan diri sebagai
sebuah negara merdeka pada 1945).
Sebelum 1965, di zaman Presiden Soekarno,
Tahun Baru Imlek dirayakan secara terbuka oleh masyarakat di berbagai
daerah di Indonesia.
Saya ingat perayaan Imlek saat masih kecil.
Beberapa minggu sebelum Imlek, restoran, toko, pasar dan jalan-jalan
dihiasi dengan berbagai lentera, spanduk dan poster. Ke mana pun Anda
pergi, Anda akan dikelilingi warna merah, dalam berbagai wujud dan bentuk
berbeda, yang terang menyala.
Nyanyian Imlek, Gongxi Gongxi, pun
membahana. Irama genderangnya membangkitkan gairah perayaan Imlek. Malam
hari diramaikan oleh suara petasan dan kembang api. Di rumah-rumah, ibu-ibu
mencetak kue kapit, sejenis kue kering berbentuk segitiga tipis untuk
keberuntungan, dan membuat bermacam-macam kue.
Namun, pada era Soeharto, yang berkuasa
dari 1966 hingga 1998, ada upaya untuk menyeragamkan identitas
keindonesiaan dengan melarang bahasa, perayaan-perayaan dan bahkan
nama-nama dalam bahasa Mandarin.
Pada 1999, presiden yang baru terpilih saat itu, Gus Dur, mengembalikan hak
orang Tionghoa di Indonesia untuk merayakan Imlek. Lima tahun kemudian,
pada 2004, Presiden Megawati secara resmi mengumumkan Tahun Baru Imlek
sebagai hari libur nasional.
Namun, saat berbagai undang-undang yang
melarang ekspresi kebudayaan warga keturunan Tionghoa dicabut, banyak yang
sudah hilang. Mereka yang tumbuh besar pada masa-masa ini kebanyakan sudah
meninggalkan latar belakang budaya mereka, dan hanya beberapa kelompok
warga yang ada di Medan, Sumatera Utara, Pulau Belitung, dan Singkawang,
Kalimantan Barat, yang masih melestarikan sisa-sisa warisan budaya ini.
Sekarang, saya khawatir anak-anak dan
cucu-cucu saya tidak akan pernah mengalami kemeriahan Imlek seperti yang
pernah saya alami waktu kecil. Mereka mungkin tak akan merasakan suasana di
rumah yang begitu hidup di saat fajar, atau lagu-lagu tahun baru yang penuh
semangat, amplop-amplop merah yang dibagi-bagikan ke sanak saudara dan
anak-anak tetangga yang dengan malu-malu mengetuk pintu, dan setiap orang
mengenakan pakaian terbaik mereka. Tidak pernah ada percekcokan di hari
yang penuh harapan ini. Kegembiraan dan keramahan ditunjukkan semua orang
sepanjang hari.
Harapan
Apa yang telah hilang tak bisa dikaitkan dengan kebanggaan akan suatu
identitas nasional yang disederhanakan. Seutas benang telah hilang dari
anyaman warna-warni identitas nasional Indonesia. Sebagai sebuah bangsa
yang membanggakan keberagaman sukunya, Indonesia seharusnya bisa memetik
lebih banyak manfaat dari hibriditas, ketimbang homogenitas yang memang
mustahil.
Namun, masih ada harapan untuk masa depan.
Mungkin kita akan melihat kembali perkumpulan-perkumpulan di mana warga
keturunan Tionghoa bisa belajar membaca, memasak, menyanyi, memainkan alat
musik dan membuat kerajinan kertas yang rumit. Mungkin masih ada
orang-orang tua yang bisa membantu mewariskan kepada anak-anak mereka
fakta-fakta penting sejarah keluarga mereka, membimbing mereka tentang
prosesi adat istiadat, dan mengajari mereka pengobatan tradisional yang
bisa diramu di rumah.
Hal yang lebih penting lagi, mungkin kita
akan melihat kembali reuni-reuni keluarga, upaya kolaboratif untuk
menggelar jamuan makan malam tahun baru dan undangan kepada para tetangga
untuk merayakan kemeriahan ini bersama-sama.
Jika orang Indonesia bisa merasakan
kemeriahan hari-hari besar yang dirayakan sesama warga yang saling
berbeda-beda, mungkin itu akan mendorong rasa ingin tahu di kalangan anak
muda, anak-cucu kita, untuk mengenal kekayaan budaya negeri ini.
Akhirnya, dengan adanya emansipasi,
terciptalah kesetaraan, dan dengan adanya kesetaraan, terciptalah integrasi
sosial di antara berbagai kelompok suku bangsa yang ada di Indonesia. Ini
dengan jelas terlihat dari mudahnya orang-orang dari berbagai macam etnis
berbaur di kampus, di tempat kerja, maupun di permukiman warga. Seiring
waktu, siapa tahu, mungkin kita akan melihat lagi kue kapit yang dibuat di
rumah-rumah pada hari Imlek. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar