Minggu, 10 Februari 2013

Imlek dan Keragaman Etnis Indonesia


Imlek dan Keragaman Etnis Indonesia
Richard Oh ;   Seorang Novelis dan Sineas yang berbasis di Jakarta
SINAR HARAPAN, 09 Februari 2013


Indonesia, negara berpenduduk muslim terbanyak dan kepulauan terbesar di dunia, terdiri atas beragam suku bangsa, termasuk Tionghoa (China), yang sudah menjadi bagian dari keragaman negeri ini sejak abad ke-15 (jauh sebelum Indonesia memproklamasikan diri sebagai sebuah negara merdeka pada 1945).

Sebelum 1965, di zaman Presiden Soekarno, Tahun Baru Imlek dirayakan secara terbuka oleh masyarakat di berbagai daerah di Indonesia.
Saya ingat perayaan Imlek saat masih kecil. Beberapa minggu sebelum Imlek, restoran, toko, pasar dan jalan-jalan dihiasi dengan berbagai lentera, spanduk dan poster. Ke mana pun Anda pergi, Anda akan dikelilingi warna merah, dalam berbagai wujud dan bentuk berbeda, yang terang menyala.

Nyanyian Imlek, Gongxi Gongxi, pun membahana. Irama genderangnya membangkitkan gairah perayaan Imlek. Malam hari diramaikan oleh suara petasan dan kembang api. Di rumah-rumah, ibu-ibu mencetak kue kapit, sejenis kue kering berbentuk segitiga tipis untuk keberuntungan, dan membuat bermacam-macam kue.

Namun, pada era Soeharto, yang berkuasa dari 1966 hingga 1998, ada upaya untuk menyeragamkan identitas keindonesiaan dengan melarang bahasa, perayaan-perayaan dan bahkan nama-nama dalam bahasa Mandarin.

Pada 1999, presiden yang baru terpilih saat itu, Gus Dur, mengembalikan hak orang Tionghoa di Indonesia untuk merayakan Imlek. Lima tahun kemudian, pada 2004, Presiden Megawati secara resmi mengumumkan Tahun Baru Imlek sebagai hari libur nasional.

Namun, saat berbagai undang-undang yang melarang ekspresi kebudayaan warga keturunan Tionghoa dicabut, banyak yang sudah hilang. Mereka yang tumbuh besar pada masa-masa ini kebanyakan sudah meninggalkan latar belakang budaya mereka, dan hanya beberapa kelompok warga yang ada di Medan, Sumatera Utara, Pulau Belitung, dan Singkawang, Kalimantan Barat, yang masih melestarikan sisa-sisa warisan budaya ini.

Sekarang, saya khawatir anak-anak dan cucu-cucu saya tidak akan pernah mengalami kemeriahan Imlek seperti yang pernah saya alami waktu kecil. Mereka mungkin tak akan merasakan suasana di rumah yang begitu hidup di saat fajar, atau lagu-lagu tahun baru yang penuh semangat, amplop-amplop merah yang dibagi-bagikan ke sanak saudara dan anak-anak tetangga yang dengan malu-malu mengetuk pintu, dan setiap orang mengenakan pakaian terbaik mereka. Tidak pernah ada percekcokan di hari yang penuh harapan ini. Kegembiraan dan keramahan ditunjukkan semua orang sepanjang hari.

Harapan 

Apa yang telah hilang tak bisa dikaitkan dengan kebanggaan akan suatu identitas nasional yang disederhanakan. Seutas benang telah hilang dari anyaman warna-warni identitas nasional Indonesia. Sebagai sebuah bangsa yang membanggakan keberagaman sukunya, Indonesia seharusnya bisa memetik lebih banyak manfaat dari hibriditas, ketimbang homogenitas yang memang mustahil.

Namun, masih ada harapan untuk masa depan. Mungkin kita akan melihat kembali perkumpulan-perkumpulan di mana warga keturunan Tionghoa bisa belajar membaca, memasak, menyanyi, memainkan alat musik dan membuat kerajinan kertas yang rumit. Mungkin masih ada orang-orang tua yang bisa membantu mewariskan kepada anak-anak mereka fakta-fakta penting sejarah keluarga mereka, membimbing mereka tentang prosesi adat istiadat, dan mengajari mereka pengobatan tradisional yang bisa diramu di rumah.

Hal yang lebih penting lagi, mungkin kita akan melihat kembali reuni-reuni keluarga, upaya kolaboratif untuk menggelar jamuan makan malam tahun baru dan undangan kepada para tetangga untuk merayakan kemeriahan ini bersama-sama.

Jika orang Indonesia bisa merasakan kemeriahan hari-hari besar yang dirayakan sesama warga yang saling berbeda-beda, mungkin itu akan mendorong rasa ingin tahu di kalangan anak muda, anak-cucu kita, untuk mengenal kekayaan budaya negeri ini.

Akhirnya, dengan adanya emansipasi, terciptalah kesetaraan, dan dengan adanya kesetaraan, terciptalah integrasi sosial di antara berbagai kelompok suku bangsa yang ada di Indonesia. Ini dengan jelas terlihat dari mudahnya orang-orang dari berbagai macam etnis berbaur di kampus, di tempat kerja, maupun di permukiman warga. Seiring waktu, siapa tahu, mungkin kita akan melihat lagi kue kapit yang dibuat di rumah-rumah pada hari Imlek. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar