Kasus dugaan suap impor daging
sapi dan penetapan Presiden PKS sebagai tersangka mempertegas sinyalemen
maraknya ekonomi rente dalam impor daging selama ini.
Ekonomi rente ini setidaknya
disebabkan tiga hal. Pertama, impor daging merupakan bisnis gurih. Harga
daging sapi di pasar dunia 4-5 dollar AS per kg, bergantung kualitas. Tahun
lalu, rata-rata harganya 4,49 dollar AS per kg. Ditambah biaya angkut,
asuransi, dan bongkar-muat, harga di pelabuhan Indonesia 5,6 dollar AS per
kg (Rp 53.000 per kg dengan asumsi kurs Rp 9.500 per dollar AS). Harga
daging eceran di pasar saat ini sekitar Rp 90.000 per kg. Ada selisih
Rp 37.000 per kg (69,8 persen). Meskipun harus dikurangi biaya distribusi,
cold storage, dan yang lain, margin keuntungan masih amat besar. Tidak
banyak bisnis yang menjanjikan seperti ini.
Untung besar inilah yang membuat
banyak pihak mengiler berbisnis impor daging. Jika semula hanya 30-an unit,
kini perusahaan pengimpor daging mencapai 67 unit. Mereka
mem- perebutkan kuota impor tahunan yang ditetapkan pemerintah. Untuk
meraih kuota impor, pelbagai cara mereka lakukan, mulai dari legal hingga
ilegal seperti membuat perusahaan boneka, menyuap, memanfaatkan pengaruh
pihak lain, dan berbagai laku aji mumpung lain. Dalam kasus terakhir, PT
Indoguna Utama selaku importir diduga ”membeli” pengaruh Presiden PKS itu
untuk mendapat kuota lebih.
Tahun ini, kuota impor daging yang
ditetapkan pemerintah 80.000 ton. Kuota itu terbagi atas daging beku 32.000
ton dan sisanya sapi bakalan. Dari kuota impor daging beku 32.000 ton, PT
Indoguna mendapatkan jatah impor terbesar, yakni 3.447 ton (10,8 persen).
Dengan harga daging di eceran Rp 90.000 per kg dan margin keuntungan 40
persen, PT Indoguna bisa mengantongi keuntungan Rp 124,1 miliar. Jika benar
Luthfi dijanjikan suap Rp 40 miliar, jumlah tersebut hanya sepertiga
keuntungan alias kecil.
Kedua, rezim perizinan yang
tertutup. Penentuan jumlah kuota impor tahunan dibahas di Kementerian
Perekonomian dengan melibatkan kementerian teknis, yakni Kementerian
Pertanian, Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Perdagangan. Untuk
dapat jatah kuota impor, perusahaan harus memenuhi enam kriteria, yakni
cold storage memenuhi syarat teknis, kinerja dan realisasi impor
sebelumnya, berpengalaman dalam impor, menyerap sapi/daging lokal, punya
alat angkut khusus daging, dan punya industri pengolahan daging. Lubang
muncul saat pembagian kuota impor per perusahaan. Siapa penentunya? Ketiga
kementerian saling berbantah. Sampai kini data ini tak terbuka.
Keterbukaan informasi dalam
pengadaan barang/jasa amanat UU No 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan
Informasi Publik. Dengan informasi yang terbuka, perusahaan bisa bersaing
adil dan sehat. Peluang dan potensi korupsi bisa dicegah. Publik bisa ikut
mengawasi. Impor daging bukan rahasia negara, seperti dikecualikan dalam UU
No 14 Tahun 2008. Karena itu, tak ada alasan pembenar merahasiakan
perusahaan yang kebagian kuota. Justru ketertutupan kian meyakinkan dugaan
moral hazard.
Ketiga, pemangkasan kuota impor.
Sebagai bagian dari komitmen mencapai swasembada daging 2014, kuota impor
daging dikendalikan. Secara bertahap, kuota impor daging dipangkas, semula
35 persen dari kebutuhan domestik 2011 menjadi 15,5 persen 2012. Tahun ini,
kuota impor tinggal 13,4 persen dari kebutuhan domestik. Pemotongan kuota
impor sama artinya memangkas kue ekonomi importir dan pebisnis daging.
Untuk memperebutkan kue yang kian kecil, mereka melakukan segala hal,
termasuk cara-cara kotor. Apakah pemangkasan ini by design agar kuota bisa
diperjual-belikan?
Dibuat Transparan
Apa pun penjelasannya, ekonomi
rente hanya mendatangkan derita rakyat. Salah satu derita rakyat yang
selama berbulan-bulan belum terselesaikan adalah tingginya harga daging.
Menurut Bank Dunia, harga daging di Indonesia tertinggi di dunia (9,76
dollar AS per kg), jauh di atas India (7,4 dollar AS per kg), Malaysia (4,3
dollar AS per kg), Thailand (4,2 dollar AS per kg), dan Jepang (3,9 dollar
AS per kg). Akibatnya, bukan hanya konsumen yang menjerit, tetapi para
tukang bakso pun tergoda mengoplos daging sapi dengan daging babi dan
celeng yang jauh lebih murah. Ironisnya, harga daging yang tinggi di
tingkat konsumen itu tidak dinikmati produsen. Buktinya, harga daging sapi
hidup di peternak tetap rendah.
Untuk mengurai ekonomi rente,
pemerintah harus transparan dalam pemberian kuota. Salah satunya, menggelar
tender. Untuk ikut tender, importir terdaftar yang dapat izin dari
Kementerian Perdagangan harus lolos enam kriteria yang ditetapkan. Pemenang
tender dipilih dari perusahaan yang mengambil margin laba terendah. Cara
ini sekaligus bisa jadi instrumen pemerintah mengendalikan harga di pasar.
Tidak kalah penting, pengawasan impor untuk menghindari jual-beli kuota.
Kementerian teknis harus menanggalkan egosektoral. Untuk menghindari celah
korupsi, penyidik KPK bisa dihadirkan di semua tahap, sebelum, saat, dan
sesudah tender. Dengan cara ini, kita mempunyai peluang memangkas ekonomi
rente. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar