Derajat
sakral profesi hakim nyaris hilang. Akibat rentetan perilaku tercela sejumlah
oknum hakim, profesi ini tidak hanya menuai cibir, tetapi juga mulai
menjadi sasaran kecurigaan publik.
Kecenderungan ini sangat berbahaya karena eksesnya akan berwujud pada
ketidakpercayaan publik terhadap lembaga peradilan di negara ini. Komisi
III DPR RI baru saja memilih delapan orang untuk menjadi hakim agung.
Sebelumnya Komisi Yudisial (KY) menyodorkan 24 calon untuk mengikuti fit
and proper test calon hakim agung.
Delapan hakim agung yang terpilih masih belum memenuhi ekspektasi. Mereka hanya
mampu memenuhi angka rata-rata atau baik, belum sangat baik. Namun, karena
Mahkamah Agung memang sangat membutuhkan tambahan hakim agung dan KY juga
tidak memberikan pilihan yang ideal, akhirnya Komisi III DPR tetap
disepakati untuk memilih delapan hakim agung setelah melalui perdebatan
panjang.
Bisa dimaklumi jika persepsi publik terhadap korps hakim dan lembaga
peradilan terus memburuk. Dalam duatiga tahun belakangan ini fakta tentang
perilaku tercela sejumlah oknum hakim sudah sangat banyak yang digelar di
ruang publik. Laporan masyarakat tentang hakim bermasalah yang diterima KY
sudah mencapai ribuan laporan per tahun. Volume pemberitaan tentang tindak
pidana dan pelanggaran etika yang dilakukan oknum hakim pun terbilang cukup
tinggi.
Kini berita-berita tentang kejahatan atau pelanggaran kode etik yang
dilakukan oknum hakim tidak mengejutkan masyarakat. Perilaku tak terpuji
hakim sudah dianggap sebagai peristiwa biasa. Peristiwa penangkapan hakim
yang sedang pesta sabu di klub malam tidak lagi dianggap luar biasa.Kasus
ini malah jadi tertawaan para pengedar narkoba.
Aspek keagungan profesi ini nyaris hilang karena publik sudah memersepsikan
profesi hakim sama dengan profesi lain. Akibat itu tentu saja sangat
serius.Kepercayaan terhadap profesi hakim dan lembaga peradilan, cepat atau
lambat, bisa hilang karena orang akan beranggapan bahwa peradilan
dijalankan oleh para hakim yang tidak berhak menjadi “wakil Tuhan” di ruang
pengadilan. Kecenderungan seperti itu tidak boleh dibiarkan berlarutlarut.
Harus ada upaya ekstra untuk menghentikannya. Karena itu, salut dan respek
kepada begitu banyak hakim yang masih tetap konsisten menghormati dan
menjaga keagungan profesi mereka.Kendati negara belum memperlakukan mereka
sebagaimana mestinya dan di tengah begitu banyak keterbatasan, mereka tetap
setia menjaga harkat dan martabat sebagai “wakil Tuhan”. Rakyat berharap
jumlah mereka tidak berkurang sebab merekalah tiang pancang yang bisa
mencegah rubuhnya konstruksi keadilan di negara ini.
Seperti rakyat kebanyakan yang sedang kecewa dan geram, hakim-hakim baik
itu pun sedang bersedih karena ulah tak terpuji kolega mereka. Rentetan
kasus pelanggaran hukum dan etika profesi hakim menyebabkan kredibilitas
dan reputasi korps hakim di negara ini mulai dipertanyakan dan dipersoalkan
publik. Ada puluhan oknum hakim yang terjerat kasus narkoba. Oknum hakim
lainnya tak kuasa menahan godaan uang suap.
Ada hakim perempuan yang ketahuan berselingkuh. Oknum hakim lainnya diduga
sudah “digarap” sindikat kejahatan narkoba karena yang bersangkutan
bertindak sendiri meringankan hukuman pimpinan kartel narkoba dengan cara
memalsukan vonis.Aroma bau busuk tercium pada kasus oknum hakim yang diduga
terlibat penyelundupan 30 kontainer BlackBerry. Tak kalah hebohnya adalah
ulah oknum hakim pada sejumlah pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor).
Hingga Agustus 2012 misalnya KPK mencatat para hakim yang bertugas di
pengadilan tipikor sudah membebaskan 71 terdakwa korupsi.Sejumlah vonis
bebas akhirnya bermasalah karena kontroversial.Ada juga oknum hakim yang
pernah membebaskan lima terdakwa korupsi.Tahun lalu,di sela-sela Peringatan
Hari Kemerdekaan RI, KPK menangkap dua hakim tipikor di Semarang, berikut
bukti berupa uang suap Rp150 juta.
Tentu saja yang paling mencengangkan khalayak adalah terkuaknya kasus hakim
agung Achmad Yamanie dan kasus hakim Puji Wijayanto.Tahun lalu KPK juga
menangkap dua hakim tipikor, Kartini Marpaung dan Heru Kusbandono, di
Semarang. Kasus hakim agung Yamanie dinilai sangat sudah sangat keterlaluan.
Bayangkan, Yamanie bersama hakim agung Imron Anwari dan Nyak Pha sudah
menganulir hukuman mati atas terpidana gem-bong narkoba Hangky Gunawan
menjadi hukuman penjara 15 tahun.
Tetapi,Yamanie masih berusaha meringankan hukuman itu.Dia diduga memalsukan
putusan dengan membubuhkan tulisan tangan vonis 12 tahun. Sementara hakim
Puji Wijayanto ditangkap saat sedang berpesta sabu di sebuah klub malam.
Awal tahun ini perhatian masyarakat masih terfokus pada kasus vonis
Pengadilan Tipikor Jakarta atas perkara Angelina Sondakh. Hingga hari-hari
ini vonis untuk Angelina Sondakh itu masih menjadi bahan perbincangan
masyarakat.
Mereka yang awam hukum menilai vonis itu tidak berkeadilan karena terlalu
ringan. Apalagi pengadilan tidak mengeluarkan perintah untuk merampas harta
hasil korupsi oleh yang bersangkutan.Vonis itu sama sekali tidak memberi
efek jera. Sanksi hukum mestinya lebih berat karena yang bersangkutan
berstatus sebagai wakil rakyat yang sebelumnya menjadi bintang iklan:
“Katakan,Tidak pada Korupsi!”.
Pemidanaan versus
Pembebasan
Adanya oknum hakim yang melakukan hangky pangky dalam sidang peradilan
bukanlah hal baru.Memang di dalam peradilan hakim bisa memidanakan ataupun
membebaskan seorang terdakwa. Tidak tertutup kemungkinan ada mafia hukum
yang bermain, baik untuk memidanakan atau membebaskan. Menurut Komisi
Yudisial (KY), hingga triwulan ketiga 2012,KY sudah menerima 1.357 laporan
tentang hakim bermasalah.
Sedangkan sepanjang 2011 jumlah laporan masyarakat tentang hakim bermasalah
mencapai 1.724 laporan. Persepsi buruk ini bisa menjadi faktor tekanan
psikologis bagi para hakim baikbaik yang bertugas di ruang sidang.
Sebagaimana diketahui bersama, masyarakat sangat emosional dalam menyikapi
perkara-perkara korupsi dan kasus-kasus pelanggaran etika, baik yang
dilakukan pejabat tinggi negara maupun daerah, serta oleh oknum anggota
parlemen maupun para hakim sendiri.
Menghadapi emosi publik itu, posisi para hakim bisa menjadi serbasalah.
Satu hal yang pasti, dia tidak boleh terpengaruh atau ikut-ikutan
emosional.Dia harus tetap proporsional, mengacu pada pasalpasal dakwaan
yang dirumuskan jaksa penuntut umum (JPU).Namun, demi keadilan yang
berkearifan, hakim kadang diminta membuat pertimbangan tambahan untuk
mempertajam atau memproporsionalkan dakwaan.
Akhir-akhir ini sering terjadi polemik mengenai pemidanaan dan pembebasan.
Misalnya dakwaan sudah kuat, tetapi vonis hakim ringan atau sebaliknya
vonis yang berat untuk dakwaan yang lemah. Pencuri sandal dihukum berat,
tetapi koruptor menerima vonis hakim yang ringan. Dalam polemik seperti itu
tetap saja hakim yang menjadi sasaran kecaman,terutama ketika rasa keadilan
publik terusik. Dalam situasi seperti sekarang ini, korps hakim harus tetap
tegar, setia, dan taat asas pada profesinya.
Sebagai “wakil Tuhan” di ruang sidang, hakim tidak boleh goyah. Menghadapi
perkara korupsi misalnya, hakim harus bersedia dan mampu mendalami dan
menghayati dakwaan JPU. Karena korupsi merugikan negara dan menyengsarakan
rakyat, tidak salah juga kalau majelis hakim menunjukkan sikap kritis
menyikapi dakwaan yang lemah. Para ahli hukum, cerdik cendekia, dan
elemen-elemen masyarakat boleh saja berpendapat dan beradu argumentasi atas
suatu perkara yang sedang disidangkan.
Silakan saja data dan sinyalemensinyalemen berseliweran di ruang publik.
Namun, korps hakim pada akhirnya harus tetap tegar dan mengacu pada
bukti-bukti hukum yang relevan dengan perkara yang sedang disidangkan.
Komisi III DPR RI beberapa waktu lalu telah berinisiatif membentuk Panja
Eksaminasi Putusan Mahkamah Agung. Tujuannya untuk melakukan eksaminasi
apakah putusan yang dibuat MA telah memenuhi rasa keadilan dan tidak
menciderai hukum.
Jika oknum hakimagungdiMAbermasalah, ini jelas merupakan awal malapetaka
karena puncak pencari keadilan berada di MA.Namun, apa lacur, niat baik
tersebut disalahpersepsikan hingga diganjal oleh pihak tertentu. Komisi III
DPR RI tidak akan mencari-cari kesalahan para hakim.Komisi hukum ini justru
memberikan dukungan penuh kepada para hakim,baik melalui regulasi ataupun anggaran.
Karena itu, jangan ragu untuk menghukum berat terdakwa korupsi. Jangan pula
takut untuk memvonis bebas terdakwa yang tidak terbukti melakukan kejahatan
seperti yang dituduhkan JPU.Jika ada oknum hakim yang terbukti melakukan
hangky pangky, saya tidak segan untuk mengusulkan agar hakim tersebut
diberikan hukuman maksimal yakni hukuman mati. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar