Senin, 04 Februari 2013

Beda Kasus Luthfi, Beda Anas


Beda Kasus Luthfi, Beda Anas
Herie Purwanto ;   Ajun Komisaris Polisi,
Dosen Fakultas Hukum Universitas Pekalongan/Unikal
JAWA POS, 04 Februari 2013



CEPATNYA KPK menangkap dan menahan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq pada Selasa, 29 Januari 2013, lalu menjadi pertanyaan banyak kalangan. Pengamat politik Ari Dwipayana menilai perlakuan kepada Luthfi bermuatan politis. Pasalnya, belum ada pemeriksaan kepada Luthfi, namun KPK langsung menetapkan tersangka (okezone.com 2 Feb).

Lalu orang membandingkan perlakuan KPK terhadap status Anas Urbaningrum dan Andi Alfian Mallarangeng. Terhadap Anas, KPK memang belum menetapkannya sebagai tersangka. Namun, fakta-fakta di persidangan yang melibatkan Nazaruddin maupun Neneng sebagai terdakwa, nama Anas berkali-kali disebut keterkaitannya dengan proyek Hambalang. Demikian pula pasca penetapan Andi sebagai tersangka, KPK belum juga menahannya. Ada apa dengan KPK?

Penetapan tersangka kepada seseorang, tentulah mendasari minimal dua alat bukti sebagaimana ditentukan oleh Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) atau UU Nomor 8/1981. Namun, acapkali dalam rangkaian penyidikan suatu tindak pidana, apakah tindak pidana yang bersifat konvesional maupun extraordinary crime seperti tindak pidana korupsi, penahanan menjadi bagian dari strategi penyidikan itu sendiri.

Dalam kasus tertentu, tidak segera ditahannya tersangka atau belum ditetapkannya seseorang sebagai tersangka, meskipun syarat formal dan materiilnya terpenuhi, penyidik justru memeriksa orang-orang di seputar atau sekeliling calon tersangka. 

Seperti teori makan bubur panas, bagian pinggirlah yang lebih awal dimakan, perlahan masuk ke bagian tengah bubur tersebut. Hal ini pun berlaku ketika penyidik dihadapkan pada perkara. Kadang-kadang pengumpulan alat bukti lebih efektif dari orang-orang di sekitar calon tersangka daripada langsung memeriksanya sebagai tersangka.

Ini yang kadang memunculkan suatu asumsi atau dugaan-dugaan negatif terhadap penyidik. Ironisnya, dugaan ini dikaitkan dengan kemungkinan adanya intervensi atau conflict of interest tertentu, baik di internal penyidik sendiri maupun faktor eksternal. Lebih-lebih dalam kasus korupsi yang melibatkan penguasa atau pihak-pihak yang berada dalam lingkar kekuasaan, tentu dugaan ini menjadi sebuah kewajaran. Gambaran yang terbentuk oleh publik adalah penyidikan yang dilakukan sudah bermuatan politis.

Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah, mungkinkah penyidikan bisa bermuatan politis? Dalam bahasa lain, bisakah penyidikan dalam konteks sekarang dengan mudah diintervensi atau dipengaruhi pihak luar? Ada dua kemungkinan, pertama sangat tidak mungkin diintervensi, apabila tahap dalam penyidikan dilakukan sesuai dengan prosedur penyidikan yang benar, yaitu adanya gelar perkara.

Gelar perkara bisa dianalogkan pintu gerbang sebuah perkara. Ia menjadi media menginventarisasi pendapat dari berbagai sudut pandang yang tidak boleh lepas dari ranah hukum.

Bila sudah terkontaminasi intervensi, peluang penyidik untuk bisa mempertahankan pendapat yuridisnya menjadi sangat kecil, karena akan dibantah oleh pendapat lain, termasuk pendapat ahli, yang bisa menguatkan kontruksi hukum perkara tersebut. Sangat riskan mempertahankan intervensi dalam penyidikan ketika gelar perkara dilakukan secara objektif. 

Kedua, ada celah intervensi meskipun peluangnya kecil. Dengan catatan, pihak-pihak yang terlibat dalam tahap penyidikan menjadi bagian dari konspirasi intervensi tersebut. Namun, hal ini akan dihadapkan pada bagaimana sikap bagian dari criminal justice system lain, seperti kejaksaan dan pengadilan, termasuk penasihat hukumnya. Bukankah sangat sulit membuat skenario melibatkan semuanya di satu garis cerita bohong yang konsisten? Pasti akan kedodoran di sana-sini. 

Dalam kondisi publik yang dengan jeli dan kritis seperti sekarang, celah ini sangat riskan bila tetap ditempuh oleh penyidik. Merekayasa perkara karena ada intervensi, menjadi taruhan kredibilitas penyidik. Tentu hal ini bukan menjadi pilihan penyidik mana pun, kecuali atas kuatnya tekanan yang tidak bisa memberikan pilihan lain bagi penyidik tersebut untuk menolaknya.

Dengan demikian, pada konteks mengapa KPK berbeda dalam memperlakukan Anas, Andi, maupun Luthfi, menurut saya lebih didasarkan pada strategi penyidikan itu sendiri. Bukan karena adanya kepentingan tertentu yang membalut para petinggi KPK. Kita tetap berprasangka baik pada komitmen KPK dalam pemberantasan korupsi yang dari hari ke hari, di bawah Abraham Samad menunjukkan progres kinerja dalam menyentuh ruang kekuasaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar