CEPATNYA KPK menangkap dan menahan
Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq pada Selasa, 29 Januari 2013, lalu menjadi
pertanyaan banyak kalangan. Pengamat politik Ari Dwipayana menilai
perlakuan kepada Luthfi bermuatan politis. Pasalnya, belum ada pemeriksaan
kepada Luthfi, namun KPK langsung menetapkan tersangka (okezone.com 2 Feb).
Lalu orang membandingkan perlakuan KPK terhadap status Anas Urbaningrum dan
Andi Alfian Mallarangeng. Terhadap Anas, KPK memang belum menetapkannya
sebagai tersangka. Namun, fakta-fakta di persidangan yang melibatkan
Nazaruddin maupun Neneng sebagai terdakwa, nama Anas berkali-kali disebut
keterkaitannya dengan proyek Hambalang. Demikian pula pasca penetapan Andi
sebagai tersangka, KPK belum juga menahannya. Ada apa dengan KPK?
Penetapan tersangka kepada seseorang, tentulah mendasari minimal dua alat
bukti sebagaimana ditentukan oleh Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) atau UU Nomor 8/1981. Namun, acapkali dalam rangkaian penyidikan
suatu tindak pidana, apakah tindak pidana yang bersifat konvesional maupun extraordinary
crime seperti tindak
pidana korupsi, penahanan menjadi bagian dari strategi penyidikan itu
sendiri.
Dalam kasus tertentu, tidak segera ditahannya tersangka atau belum
ditetapkannya seseorang sebagai tersangka, meskipun syarat formal dan
materiilnya terpenuhi, penyidik justru memeriksa orang-orang di seputar
atau sekeliling calon tersangka.
Seperti teori makan bubur panas, bagian pinggirlah yang lebih awal dimakan,
perlahan masuk ke bagian tengah bubur tersebut. Hal ini pun berlaku ketika
penyidik dihadapkan pada perkara. Kadang-kadang pengumpulan alat bukti
lebih efektif dari orang-orang di sekitar calon tersangka daripada langsung
memeriksanya sebagai tersangka.
Ini yang kadang memunculkan suatu asumsi atau dugaan-dugaan negatif terhadap
penyidik. Ironisnya, dugaan ini dikaitkan dengan kemungkinan adanya
intervensi atau conflict
of interest tertentu,
baik di internal penyidik sendiri maupun faktor eksternal. Lebih-lebih
dalam kasus korupsi yang melibatkan penguasa atau pihak-pihak yang berada
dalam lingkar kekuasaan, tentu dugaan ini menjadi sebuah kewajaran.
Gambaran yang terbentuk oleh publik adalah penyidikan yang dilakukan sudah
bermuatan politis.
Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah, mungkinkah penyidikan bisa
bermuatan politis? Dalam bahasa lain, bisakah penyidikan dalam konteks
sekarang dengan mudah diintervensi atau dipengaruhi pihak luar? Ada dua
kemungkinan, pertama sangat tidak mungkin diintervensi, apabila tahap dalam
penyidikan dilakukan sesuai dengan prosedur penyidikan yang benar, yaitu
adanya gelar perkara.
Gelar perkara bisa dianalogkan pintu gerbang sebuah perkara. Ia menjadi
media menginventarisasi pendapat dari berbagai sudut pandang yang tidak
boleh lepas dari ranah hukum.
Bila sudah terkontaminasi intervensi, peluang penyidik untuk bisa
mempertahankan pendapat yuridisnya menjadi sangat kecil, karena akan
dibantah oleh pendapat lain, termasuk pendapat ahli, yang bisa menguatkan
kontruksi hukum perkara tersebut. Sangat riskan mempertahankan intervensi
dalam penyidikan ketika gelar perkara dilakukan secara objektif.
Kedua, ada celah intervensi meskipun peluangnya kecil. Dengan catatan,
pihak-pihak yang terlibat dalam tahap penyidikan menjadi bagian dari
konspirasi intervensi tersebut. Namun, hal ini akan dihadapkan pada
bagaimana sikap bagian dari criminal
justice system lain,
seperti kejaksaan dan pengadilan, termasuk penasihat hukumnya. Bukankah
sangat sulit membuat skenario melibatkan semuanya di satu garis cerita
bohong yang konsisten? Pasti akan kedodoran di sana-sini.
Dalam kondisi publik yang dengan jeli dan kritis seperti sekarang, celah
ini sangat riskan bila tetap ditempuh oleh penyidik. Merekayasa perkara
karena ada intervensi, menjadi taruhan kredibilitas penyidik. Tentu hal ini
bukan menjadi pilihan penyidik mana pun, kecuali atas kuatnya tekanan yang
tidak bisa memberikan pilihan lain bagi penyidik tersebut untuk menolaknya.
Dengan demikian, pada konteks mengapa KPK berbeda dalam memperlakukan Anas,
Andi, maupun Luthfi, menurut saya lebih didasarkan pada strategi penyidikan
itu sendiri. Bukan karena adanya kepentingan tertentu yang membalut para
petinggi KPK. Kita tetap berprasangka baik pada komitmen KPK dalam
pemberantasan korupsi yang dari hari ke hari, di bawah Abraham Samad
menunjukkan progres kinerja dalam menyentuh ruang kekuasaan.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar