Salam
Tiga Jari Saras Dewi ; Pengajar Filsafat di Universitas
Indonesia |
KOMPAS,
03 April
2021
Tiga jari diacungkan ke arah langit. Lautan
manusia membanjiri jalanan dengan pawai nirkekerasan di Myanmar.
Pemuda-pemudi menampilkan protes secara kreatif. Mereka bermain musik,
menari, membaca puisi. Berbagai elemen masyarakat dari beragam profesi,
seperti guru, pengacara, dan dokter, menunjukkan solidaritas, berbagai
kelompok etnis berpakaian adat turut mengekspresikan protesnya, hingga para
pemuka agama juga secara lantang turut membangkang. Semenjak awal Februari
2021, rakyat Myanmar tanpa henti-henti berdemonstrasi menolak kudeta militer.
Mereka menentang kesewenangan kekuasaan militer yang menjungkalkan
pemerintahan sah yang telah terbentuk melalui proses demokratis. Aksi damai yang dilakukan oleh rakyat
Myanmar ditanggapi oleh militer dengan kekerasan. Brutalitas Tatmadaw, atau
Angkatan Bersenjata Myanmar, juga ditunjukkan pada peringatan Hari Angkatan
Bersenjata yang jatuh pada Sabtu pekan lalu. Bersamaan dengan parade militer
yang menjadi tradisi perayaan mereka, pada hari itu juga Tatmadaw melancarkan
operasi militer yang membunuh 114 warga sipil. Kengerian pembunuhan yang dilakukan
Tatmadaw menyebabkan kematian warga sipil hingga lebih dari 400 orang
semenjak kudeta militer terjadi pada 1 Februari lalu. Kebengisan pemimpin junta militer tampak
ketika Jendral Min Aung Hlaing berpidato pada parade militer dengan
mengatakan bahwa Tatmadaw bertujuan untuk melindungi rakyat Myanmar. Betapa
mengerikannya, di balik kata-kata ini, kenyataannya tentara meringsek ke
desa-desa, serangan udara dilancarkan yang merenggut ratusan nyawa, termasuk
enam anak-anak berusia 11-16 tahun yang tewas ditembak. Sungguh-sungguh
tragedi kemanusiaan yang melanggar prinsip penghormatan terhadap hak asasi
manusia. Profesor Andrew Selth, seorang peneliti di
lembaga Griffith Asia Institute yang menyoroti Myanmar, menjelaskan
kompleksitas struktur pemerintahan di Myanmar yang disebut dengan hibrida
sipil dan militer. Meski demikian, cengkeraman militer sedemikian kuat. Ini
khususnya tampak dalam keleluasaan pihak militer dalam mendapatkan anggaran
pertahanan juga mengelolanya tanpa ada pengawasan yang berarti. Begitu pula penelitian Maung Aung Myoe,
periset yang fokus meneliti militerisme di Myanmar. Dalam publikasinya yang
berjudul ”The Military: Institution and Politics”, ia memaparkan, meski ada
upaya memperluas kekuatan sipil dengan membatasi posisi militer, perubahan
yang terjadi sifatnya seperti fasad. Ia mendasarkan pada sejarah selama 70
tahun pascakolonialisme yang menempatkan Tatmadaw sebagai institusi politik
yang langgeng. Ia berargumentasi, kesukaran menyelenggarakan kontrol sipil
yang obyektif terletak pada posisi Tatmadaw yang juga berperan aktif secara
politis. Tatmadaw berpegangan pada pemahaman bahwa
pertahanan negara melingkupi pula intervensi dalam struktur pemerintahan,
serta keterlibatan dalam aktivitas ekonomi dan bisnis. Militer memiliki kuota
representasi 25 persen. Selain itu, para petinggi militer juga menduduki
jabatan-jabatan penting di kementerian. Tatmadaw juga dapat melakukan veto
jika ada kepentingan integrasi yang dipertaruhkan. Mereka pun dapat mengambil
alih kekuasaan dalam kondisi kedaruratan. Ambiguitas di dalam pemerintahan Myanmar
antara sipil dan militer menyulitkan reformasi menuju kehidupan berdemokrasi
yang sesungguhnya. Kekuasaan militeristik memiliki orientasi untuk
menciptakan otoritas yang digdaya, yang tidak terbantahkan. Tatmadaw
menginginkan kedaulatan yang absolutis. Betapa pentingnya kemutlakan kuasa
tersebut sebagai justifikasi demi menjaga stabilitas negara. Peragaan kekerasan menjadi komponen inti
dari kekuasaan semacam ini. Logika kuasa Tatmadaw ditekankan pada perluasan
kewajiban militer yang juga merambah ranah, agama, moral, dan ideologi.
Purifikasi ideologi ditekankan pada prinsip tiga tujuan utama, yakni
non-disintegrasi, solidaritas nasional, dan kesinambungan kedaulatan. Agar
ada ketertiban, diperlukan kekuatan koersif yang sanggup menimbulkan
kepatuhan demi mempertahankan tujuan bersama itu. Memancangkan rasa takut adalah cara
beroperasi politik absolutisme. Tatmadaw telah melakukan hal ini demi menjaga
totalitas kekuasaannya, seperti melakukan politik pembantaian terhadap etnis
Rohingya selama satu dekade ini (Kevin Bi: 2018). Tatmadaw juga menyerang
kelompok etnis lainnya seperti Kachin dan Kokang yang bermukim di wilayah
utara Myanmar. Teror yang ditimpakan oleh Tatmadaw pada kelompok minoritas terkait
erat dengan strategi mereka untuk menjaga kekuasaan, khususnya ketika mereka
merasa dilemahkan oleh arus demokrasi yang menguat di Myanmar. Gestur mengangkat tiga jari melawan junta
militer menjalar ke seluruh pelosok Myanmar, bahkan menyentuh seluruh dunia.
Salam itu terhubung dengan karya sastra The Hunger Games, karangan Suzanne
Collins, yang kemudian diadaptasi menjadi film. Suzanne Collins mendapatkan
gagasan cerita ketika mengikuti pemberitaan Perang Irak yang menurutnya
berakar dari keserakahan, xenofobia, dan kebencian. Esensi novel ini sering
kali dianggap sebagai wujud protes terhadap kekerasan dan agresi militer yang
dilakukan oleh Pemerintah Amerika. Gestur tiga jari ini pada awalnya muncul di
Thailand saat anak-anak muda menentang kudeta militer di Thailand. Salam itu
terus berkembang seolah-olah memiliki nyawanya sendiri hingga ke Myanmar. Sewajarnya masyarakat Indonesia merasakan
keperihan rakyat Myanmar. Kita pun memiliki sejarah kelam bergelut dengan
dominasi otoritarianisme dan militerisme pada masa Orde Baru. Kita harus
mengingat keutamaan menjaga demokrasi, begitu juga memahami segala
kerapuhannya. Untuk mengakhiri politik absolutis, dibutuhkan kehadiran
kekuatan masyarakat sipil. Dengan mengangkat tiga jari, saya mengingat
nama-nama korban yang berjuang demi demokrasi dan kemanusiaan di Myanmar.
Salah satunya adalah Kyal Sin, perempuan berusia 19 tahun yang gugur
tertembak. Ia seorang gadis remaja yang menyenangi tarian dan taekwando. Ia
juga sangat mencintai negaranya. Meskipun raganya tidak lagi ada, energinya
tidak dapat dibinasakan. Ia tetap hidup memercik dalam setiap salam tiga jari
yang ditinggikan melawan angkara. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar