Kamis, 11 Januari 2018

Tafsir Agama yang Otoriter Vs Tafsir yang Pro Hak Asasi

Tafsir Agama yang Otoriter Vs Tafsir
yang Pro Hak Asasi
Denny JA ;  Pendiri Lingkaran Survei Indonesia
                                                   REPUBLIKA, 09 Januari 2018



                                                           
Di era Google dan Hak Asasi Manusia (HAM), untuk hidup yang harmoni serta mendalam, pertanyaannya bukan lagi apa agamamu? Juga bukan lagi apakah kau tidak beragama? Tapi bagaimana kamu menafsirkan agama atau paham (ideologi) yang kamu yakini?

Ini era  di semua agama tersedia spektrum. Ada tafsir yang pro hak asasi yang membangun peradaban. Dan ada tafsir yang otoritarian, yang membajak agama itu menuju kekerasan. Itulah sebabnya di semua penganut agama tercatat konflik berdarah, perang bahkan terorisme.

Itu respons cepat saya melihat riset mengenai agama di zaman now. Kini terdaftar lebih dari 4.200 agama. Satu agama bahkan terpecah pula kepada banyak aliran (Schism).

Namun siapapun tak bisa menolak fenomena yang dahsyat dari agama besar. Agama seperti Kristen, Islam, Buddha, Hindu sudah hadir lebih dari 1.500 tahun. Agama itu juga diyakini ratusan juta manusia hingga di atas satu miliar populasi.

Bahkan ideologi modern seperti Komunisme, Fasisme, dan lain lain, hanya bertahan kurang dari seratus tahun saja. Setelah itu ideologi itu layu.

Hanya dengan melihat fenomena itu, bahkan bagi mereka yang semata mata ingin memahami agama secara ilmiah, dan membuang sisi wahyu ilahiah, tetap terpesona. Ada sesuatu dalam agama besar itu yang membuatnya bertahan ribuan tahun. Ada yang sentral dalam agama besar itu yang menyentuh kedalaman manusia, yang membuatnya selalu disegarkan kembali.

Riset yang dibuat lembaga terkemuka berpusat di Amerika Serikat, Pew Research Center (PRC), 2015, bahkan menyebutkan angka. Di masa depan agama ini tidak menghilang, namun justru bertambah.

Bahkan penganut paham yang atheis, agnostik dan non-religius akan berkurang. Pendukung paham non-agama ini, akan menurun dari 16,4 persen di 2010 menjadi hanya 13,2 persen saja di tahun 2050.

Ini yang juga penting! Di tahun 2070, menurut PRC, Islam akan menjadi agama yang penganutnya terbesar di dunia. Jumlah penganut Islam akan melampaui jumlah penganut agama Kristen dan juga pendukung paham yang atheis, agnostik dan non-religius.

Di usia 55 tahun, prinsip hidup dan zikir /La Ilaha Illallah/ begitu menggetarkan saya. Mendalam saya merenung. Apa arti dan signifikansi /La Ilaha Illallah/ di ruang publik, dalam era Google dan Hak Asasi Manusia?

Pertama kali yang saya ingat adalah Eric Fromm. Ia seorang ahli psikologi dalam tradisi psikoanalisis. Pandangannya banyak dipengaruhi oleh Sigmun Freud. Namun Fromm tumbuh berbeda karena ia juga menjadi filsuf dan sosiolog. Fromm hidup di tahun 1900-1980.

Ujar Fromm, psikologi manusia tak bisa menghindari dari Tuhan dan agama. Apapun manusia akan meyakini Tuhan dan memeluk agama. Manusia bisa saja menolak konsep Tuhan dan agama versi lama. Tapi kebutuhan psikologinya membuat manusia menciptakan konsep Tuhan dan konsep agama baru.

Fromm mengartikan Tuhan sebagai pusat orientasi hidup. Secara psikologis, manusia memerlukan pusat orientasi. Ia jadikan pusat orientasi itu hal utama.

Agama besar mengajarkan pusat orientasi itu adalah Yahwe, atau Allah, atau Tuhan, atau Budha, atau dewa. Ideologi modern mungkin saja meruntuhkan pusat orientasi itu. Namun pasti akan ada pusat orientasi baru entah itu negara, kapital, partai, atau tokoh. Itulah aneka “Tuhan” yang baru.

Hal yang sama dengan agama. Fromm mengartikan agama sebagi sistem nilai yang memberikan panduan pada manusia menuju pusat orientasi itu. Lahirkah sistem nilai Hindu, Buddha, Judaisme, Kristen, Islam dan sebagainya.

Sekali lagi, pemikir modern bisa saja meruntuhkan sistem nilai bahkan agama. Namun pasti, psikologi manusia membutuhkan sistem nilai pengganti. Itulah “agama” baru baik bernama ideologi, paham ataupun filsafat hidup.

Pentingnya La Ilaha Illallah, prinsip tauhid dalam Islam, justru terasa dalam kerangka Eric Fromm. Prinsip tauhid: tiada tuhan selain Allah, justru menegasi tuhan-tuhan kecil atau palsu.

La ilaha Illallah menjadi konsep pembebasan jiwa manusia yang sangat mendasar. Konsep itu menolak menjadikan manusia berorientasi pada tuhan kecil (harta, negara, partai, tokoh, guru suci, dan sebagainya). Kodrat manusia lebih tinggi untuk sekedar menjadi budak dan penghamba tuhan kecil itu.

Dengan La Ilaha Illallah, prinsip ini menjadikan Allah semata sebagai pusat orientasi. Tapi apakah Allah itu? Itu adalah kesempurnaan paling jauh yang bisa diimajinasikan manusia. Yang terbatas (manusia) mustahil bisa memahami seluruhnya yang tak terbatas (Allah). Tapi untuk kepentingan praktis, Allah dapat didekati dengan proksi atau permisalan saja.

Dengan menjadikan Allah semata sebagai pusat orientasi, maka manusia diletakkan dalam makom paling tinggi, dibebaskan dari orientasi hidup yang mendangkalkan. Apalagi Allah itu dipahami secara proksi sebagi segala yang maha baik (maha mampu, maha adil, maha kasih, maha tahu, dll)

Dengan berorientasi pada Allah (yang maha adil, maha tahu, maha kasih, maha suci, dll), manusia pun memulai perjalanan hidup menuju pencapaian itu hingga ajal menjemput.  Manusia terus dibuat mencari, belajar dan melatih diri untuk tahu (karena Allah maha tahu), untuk adil (karena Allah maha adil), untuk mampu (karena Allah maha mampu), untuk kasih dan penuh cinta (karena Allah maha kasih). Dan sebagainya.

Inilah implikasi psikologis dari La Ilaha Illallah. Sebuah implikasi sikap hidup yang sangat mendasar, penting dan mendalam.

Namun apa arti La Ilaha Illallah itu di era Hak Asasi Manusia dan Google? Dalam sejarah konsep itu bisa ditafsir secara otoriter yang justru membawa pada kekerasan. Namun bisa juga ia ditafsir secara berbeda yang membawa pada kedamaian, harmoni, dan hidup positif.

Untuk itu, penting membedakan tafsir agama yang otoriter dan tafsir agama yang pro Hak Asasi. Saya membedakan lima prinsip dasar yang membedakan tafsir itu.

PERTAMA: Kepatuhan versus Diskusi dan Pencarian.

Tafsir otoriter mementingkan kepatuhan. Dosa terbesar ada pada ketidakpatuhan. Bahkan kepatuhan ini pun dilegitimasi, dipaksa dan dikawal oleh kekuasaan. Mereka yang tak patuh bukan saja dianggap layak terkena dosa di akhirat, tapi dikenakan hukum duniawi oleh sang pemegang kekuasaan.

Tafsir pro Hak Asasi punya prinsip sebaliknya: diskusi dan pencarian. Tafsir ini menyadari bahwa manusia tak bisa dipaksa meyakini apa yang belum masuk akal dan menyentuh hati. Tafsir ini juga menyadari bahwa kesadaran individu terus berkembang sejalan dengan pengalaman dan pengetahuannya.

Yang dipentingkan oleh tafsir pro hak asasi adalah diskusi dan pencarian.  Setiap individu dibiarkan terus mencari dan berdiskusi mengenai apa yang ingin diyakininya. Pihak lain boleh memberikan input atau dakwah. Namun setiap individu dibiarkan memilih sendiri apa yang ia yakini sesuai dengan tahapan kesadaran.

KEDUA: Keseragaman versus Keberagaman.

Tafsir otoriter memaksakan keseragaman pemahaman dan pengertian. Mereka meyakini arti konsep besar dari agama selalu tunggal, di mana pun, kapan pun, untuk siapa pun.

Lebih jauh tafsir otoriter ini merasa berhak menggunakan kekuasaan untuk mengawal keseragaman itu. Mereka yang berbeda dianggap tak hanya dosa. Bahkan mereka layak mendapatkan hukuman dari pemegang kekuasaan.

Sebaliknya tafsir hak asasi memahami dunia dan peradaban terus berubah. Bahkan satu individu di masa ia kanak-kanak, remaja, muda, tua juga berevolusi kesadarannya.

Keberagaman tak terhindari. Listrik yang sama berguna bagi penduduk di tempat panas, musim summer, jika menjelma mesin pendingin (AC). Tapi bagi penduduk di tempat sangat dingin, musim winter bersalju, walau sama listriknya tapi justru berguna jika menjelma mesin penghangat (heater).

Memaksakan mesin pendingin atau mesin penghangat untuk semua populasi dan musim adalah kekerasan.

Keberagaman penafasiran dianggap realitas tak terhindari karena berubahnya zaman, dan berkembangnya kesadaran individu.

KETIGA, pemaksaan verus kesukarelaan.

Bagi tafsir otoriter, tafsir agama adalah sesuatu yang harus dipaksakan. Lebih mengerikan lagi pemaksaan itu bahkan dinilai untuk menyelamatkan jiwa mereka yang dipaksa. Tak jarang kekerasan, konflik dan perang dikobarkan sebagai instrumen pemaksaan dengan dalih penyelamatan jiwa dan kebaikan.

Bagi tafsir pro Hak Asasi, kesadaran dan pandangan hidup yang sangat sentral itu hanya mungkin tumbuh dalam kesuka relaan. Sebuah keyakinan dipeluk bukan karena ia dipaksakan dari luar, tapi buah dari perenungan mendalam dan suka rela.

Pemerintah dan negara hanya boleh memaksakan hukum kriminal saja seperti pembunuhan, pencurian, penipuan. Tapi filsafat hidup, seni, gaya dan orientasi hidup ia tumbuh secara individual dan suka rela. Bahkan satu individu dapat dengan bebas mengubah apa yang ia yakini karena bertambahnya pengalaman dan berubahnya pengetahuan.

KEEMPAT: kelompok versus universal

Tafsir otoriter mengutamakan kepentingan kelompok. Dunia dibagi menjadi kita versus mereka. Memang mereka bisa menjadi bagian dari kita jika menyeragamkan diri dengan tafsir yang kita yakini.

Di luar kelompok kita adalah inferior. Lebih mengerikan lagi jika tafsirnya: di luar kelompok kita boleh dimunaskan dengan kekerasan.

Tafsir Pro Hak Asasi justru mementingkan keseluruhan. Setiap prinsip dicari cara untuk diuniversalkan agar juga bisa dinikmati oleh mereka di luar kelompok.

Disadari kita dan mereka tak perlu dan tak bisa diseragamkan. Yang dipentingkan kemudian mencari common ground agar sesama warga bisa hidup bersama. Seseorang tak boleh disingkirkan atau didiskriminasi hanya karena kesadaran yang dipilihnya secara sukarela.

KELIMA: Pemurnian versus Kebajikan dan Compassion

Tafsir otoriter mengutamakan pemurnian sebuah ajaran atau tafsir. Selalu diupayakan aneka pemahaman harus sesuai dengan teks. Lebih celaka lagi jika pemurnian ini dikawal dengan kekuasaan dan kekerasan.

Ini berangkat dari pemahaman apa itu yang abadi dalam ajaran agama. Yang abadi itu yang tertulis dalam teks.

Tafsir pro Hak Asasi mengutamakan kebajikan dan compassion. Yang abadi dalam agama bagi tafsir ini sesuatu yang lebih jauh di luar teks. Itu adalah prinsip kebajikan dan compassion.

Bagaimana operasionalisasi dari kebajikan dan compassion itu, biarlah dirumuskan dari waktu ke waktu. Yang penting adalah prinsip dasar seperti La Ilaha Illallah: jangan mendangkalkan hidup mensubordinasi manusia kepada tuhan kecil (harta, kuasa, partai, negara, pemimpin, guru suci).

Di luar itu, bisa disesuaikan dengan perkebangan peradaban dan ilmu pengetahuan.

Sintesa kultural peradaban barat dan agama berharga diupayakan. Agama tak kunjung mati, bahkan terus berpengaruh.

Dari peradaban, yang paling berharga untuk ruang publik adalah menerapkan puncak pencapain kolektif yang sudah dirumuskan dalam Deklarasi Hak Asasi Manusia PBB.

Namun prinsip hak asasi manusia itu terus tumbuh. Fakta sejarah menunjukkan daftar apa yang disebut Hak Asasi Manusia juga terus berubah dan bertambah.

Dari kaca mata La Ilaha Illallah, prinsip hak asasi manusia hanya syarat minimal saja bagi sikap hidup tauhid. Prinsip hidup La Ilaha Illallah tetap mengutamakan tauhid. Prinsip hak asasi hanya menjamin keberagaman. Tapi pemuliaan manusia diberikan oleh filafat hidup yang jauh lebih mendasar.

Namun sekali lagi dan sekali lagi, prinsip tauhid itu di era google dan hak asasi manusia, perlu dioperasikan tidak dengan paradigma tafsir otoriter. Prinsip Tauhid itu dijalankan dengan lima prinsip paradigma tafsir Pro Hak Asasi.

Dengan tafsir otoritarian, prinsip La Ilaha Illallah akan berujung pada kekerasan. Sedangkan dengan tafsir pro hak asasi, prinsip La Ilaha Illallah tumbuh secara sukarela, natural, seperti tumbuhnya mawar di taman bunga.

Ketika peradaban barat kini superior, ketika penganut Muslim akan menjadi populasi terbesar dunia, sintesa kultural prinsip hak asasi manusia dan sikap hidup La Ilaha Illallah menjadi penting. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar