Senin, 08 Januari 2018

Presiden, ”Barbir”, dan Barista

Presiden, ”Barbir”, dan Barista
Kurnia JR ;  Sastrawan
                                                      KOMPAS, 05 Januari 2018



                                                           
Pada suatu hari beredar foto Presiden Joko Widodo sedang bercukur di tempat pangkas rambut (barbir) di kota Bogor. Foto itu biasa saja. Tempat cukurnya sempit, sederhana, tetapi ditata apik. Reaksi publik beragam, tetapi yang menarik untuk diketahui ialah yang terjadi kemudian.

Awal mulanya, menurut cerita putra bungsu Presiden, ia diminta mencarikan tempat pangkas rambut oleh sang ayah. Kendati tak dirinci kejadian sebenarnya, kita dapat menduga-duga bahwa boleh jadi Jokowi menetapkan kriteria khusus barbir seperti apa yang diinginkan.

Tak sulit untuk menebak bahwa ini bukan sekadar kegiatan personal Jokowi bercukur. Ada tujuan publisitas di balik itu: promosi bagi sang barbir selaku wakil para barbir se-Tanah Air. Di sisi lain, terselip kecurigaan, jangan-jangan ini hanya akal-akalan pencitraan sang Presiden; tuduhan yang hampir selalu dilontarkan para pengkritiknya atas berbagai hal yang dilakukan Jokowi.

Kalau mau menunjukkan citra pemimpin bersahaja yang dekat dengan rakyat jelata, mengapa Jokowi tak bercukur di tempat pangkas rambut tua di sebuah bangunan kuno di sisi Jembatan Merah, yang kursinya antik dan para barbir-nya tua dan kemproh? Tarifnya lebih murah sebab tiada garansi kebersihan. Foto yang dihasilkan bakal lebih menyentuh dan mempertajam jurus pencitraan Presiden. Sayang, konteksnya bukan pameran fotografi.

Lupakan reaksi verbal yang berlimpah di media sosial! Ada reaksi nonverbal yang nyata di seputar kita. Tak lama sejak viralnya foto tersebut, bermunculan tempat pangkas rambut kecil yang didesain unik di Kota Hujan itu. Ada yang dirancang berupa saung bambu, komplet dengan secuil atap rumbia untuk teras sempitnya. Ada yang meniru karakter vintage dengan ciri khas lampu berputar warna-warni. Tempat pangkas rambut yang pada mulanya asal jadi mendadak direnovasi sehingga nyaman plus pendingin ruangan.

Inilah kiat Jokowi melaksanakan program strategis menggerakkan ekonomi rakyat. Presiden menerapkan jurus santai tanpa banyak kata: sebuah foto dan kicauan pendek di media sosial. Dalam hal ini, dia konsisten menunjukkan perhatian khusus pada kaum muda.

Sebagai langkah menanggulangi krisis kohesivitas bangsa akibat wabah intoleransi, Presiden mengundang pegiat media sosial dari kalangan muda untuk makan bersama di Istana Negara. Jokowi bersungguh-sungguh menyiapkan saka guru yang baru bagi bangsa ini jika kelak era generasinya berlalu. Di luar pagar, lawan politiknya menuduh dia sedang bersiasat membungkam eksponen muda yang aktif di masyarakat dan di dunia maya dari kemungkinan bersikap kritis terhadap pemerintah.

Rupanya Jokowi tak mau ambil pusing. Anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu. Sehabis blusukan di Baleendah dan sekitarnya, Jokowi dan rombongan singgah di kedai kopi di kota Bandung. Dia unggah fotonya di akun media sosialnya seraya dengan lugas menyebut nama kedai itu beserta pujian atas kopi lokal yang disajikan di sana. Keruan saja foto itu jadi viral. Warung yang beruntung itu bukan yang pertama dipromosikan Presiden. Sebelumnya sudah ada kedai kopi milik anak muda Ibu Kota yang dibuat tenar mendadak berkat promosi serupa.

Sebagai pencinta musik metal yang penuh kejutan membahana, Jokowi tentu paham karakter anak muda yang tak sudi membeo pada keseragaman atau pola pikir dan pola hidup tunggal nada. Mereka tak butuh ceramah atau kecurigaan. Mereka hanya perlu percik api spirit dan apresiasi.

Pun tindakan Presiden seyogianya dibaca sebagai contoh praktis oleh semua kepala daerah di wilayah masing-masing. Apalagi, semakin banyak pemimpin daerah berlatar belakang bintang iklan profesional. Di bidang ini, mereka tentu lebih luwes dan piawai ketimbang Jokowi yang berlatar belakang pengusaha mebel. Tidak sepantasnya mereka melulu berorientasi komersial ketika dituntut mempromosikan produk komersial lokal dan usaha kecil dan menengah.

Problem kita: rata-rata kepala daerah hanya mengisi jatah lima tahun mereka sebagai rutinitas formal dan seremonial belaka. Bukan pengabdian berlandaskan panggilan jiwa. Lumrah kalau ada kesan bahwa mereka alih profesi dari dunia hiburan ke politik dan berebut jabatan publik hanya demi ambisi narsisisme dan mencari nafkah.

Tak usah ditunggu, di sela kesibukannya, Presiden terus-menerus mengunggah video dan foto yang menggerakkan semangat untuk bangkit dari rasa terpuruk, tersudut, terkalahkan di ajang kompetisi global yang kian sengit. Umumnya anak muda tak membelenggu diri dengan sikap apriori yang melulu negatif tatkala menafsirkan aktivitas ”santai” Jokowi, sebagaimana yang dilakukan politikus yang konsisten ambil posisi berseberangan dengan pemerintah.

Biarlah hati jernih anak muda menangkap dan menafsirkan foto serta video Presiden. Apabila kelak terbukti foto dan video itu beritikad memperalat mereka demi tujuan politik pribadi dan partainya belaka, pastilah mereka bakal beraksi serempak lebih dari sekadar ributnya kicauan burung-burung maya. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar