|
Presiden,
”Barbir”, dan Barista
Kurnia JR ; Sastrawan
|
KOMPAS,
05 Januari
2018
|
Pada suatu hari beredar
foto Presiden Joko Widodo sedang bercukur di tempat pangkas rambut (barbir)
di kota Bogor. Foto itu biasa saja. Tempat cukurnya sempit, sederhana, tetapi
ditata apik. Reaksi publik beragam, tetapi yang menarik untuk diketahui ialah
yang terjadi kemudian.
Awal mulanya, menurut
cerita putra bungsu Presiden, ia diminta mencarikan tempat pangkas rambut
oleh sang ayah. Kendati tak dirinci kejadian sebenarnya, kita dapat
menduga-duga bahwa boleh jadi Jokowi menetapkan kriteria khusus barbir
seperti apa yang diinginkan.
Tak sulit untuk menebak
bahwa ini bukan sekadar kegiatan personal Jokowi bercukur. Ada tujuan
publisitas di balik itu: promosi bagi sang barbir selaku wakil para barbir
se-Tanah Air. Di sisi lain, terselip kecurigaan, jangan-jangan ini hanya
akal-akalan pencitraan sang Presiden; tuduhan yang hampir selalu dilontarkan
para pengkritiknya atas berbagai hal yang dilakukan Jokowi.
Kalau mau menunjukkan
citra pemimpin bersahaja yang dekat dengan rakyat jelata, mengapa Jokowi tak
bercukur di tempat pangkas rambut tua di sebuah bangunan kuno di sisi
Jembatan Merah, yang kursinya antik dan para barbir-nya tua dan kemproh?
Tarifnya lebih murah sebab tiada garansi kebersihan. Foto yang dihasilkan
bakal lebih menyentuh dan mempertajam jurus pencitraan Presiden. Sayang,
konteksnya bukan pameran fotografi.
Lupakan reaksi verbal yang
berlimpah di media sosial! Ada reaksi nonverbal yang nyata di seputar kita.
Tak lama sejak viralnya foto tersebut, bermunculan tempat pangkas rambut
kecil yang didesain unik di Kota Hujan itu. Ada yang dirancang berupa saung
bambu, komplet dengan secuil atap rumbia untuk teras sempitnya. Ada yang
meniru karakter vintage dengan ciri khas lampu berputar warna-warni. Tempat
pangkas rambut yang pada mulanya asal jadi mendadak direnovasi sehingga
nyaman plus pendingin ruangan.
Inilah kiat Jokowi
melaksanakan program strategis menggerakkan ekonomi rakyat. Presiden
menerapkan jurus santai tanpa banyak kata: sebuah foto dan kicauan pendek di
media sosial. Dalam hal ini, dia konsisten menunjukkan perhatian khusus pada
kaum muda.
Sebagai langkah
menanggulangi krisis kohesivitas bangsa akibat wabah intoleransi, Presiden
mengundang pegiat media sosial dari kalangan muda untuk makan bersama di
Istana Negara. Jokowi bersungguh-sungguh menyiapkan saka guru yang baru bagi
bangsa ini jika kelak era generasinya berlalu. Di luar pagar, lawan
politiknya menuduh dia sedang bersiasat membungkam eksponen muda yang aktif
di masyarakat dan di dunia maya dari kemungkinan bersikap kritis terhadap
pemerintah.
Rupanya Jokowi tak mau
ambil pusing. Anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu. Sehabis blusukan di
Baleendah dan sekitarnya, Jokowi dan rombongan singgah di kedai kopi di kota
Bandung. Dia unggah fotonya di akun media sosialnya seraya dengan lugas
menyebut nama kedai itu beserta pujian atas kopi lokal yang disajikan di
sana. Keruan saja foto itu jadi viral. Warung yang beruntung itu bukan yang
pertama dipromosikan Presiden. Sebelumnya sudah ada kedai kopi milik anak
muda Ibu Kota yang dibuat tenar mendadak berkat promosi serupa.
Sebagai pencinta musik
metal yang penuh kejutan membahana, Jokowi tentu paham karakter anak muda
yang tak sudi membeo pada keseragaman atau pola pikir dan pola hidup tunggal
nada. Mereka tak butuh ceramah atau kecurigaan. Mereka hanya perlu percik api
spirit dan apresiasi.
Pun tindakan Presiden
seyogianya dibaca sebagai contoh praktis oleh semua kepala daerah di wilayah
masing-masing. Apalagi, semakin banyak pemimpin daerah berlatar belakang
bintang iklan profesional. Di bidang ini, mereka tentu lebih luwes dan piawai
ketimbang Jokowi yang berlatar belakang pengusaha mebel. Tidak sepantasnya
mereka melulu berorientasi komersial ketika dituntut mempromosikan produk
komersial lokal dan usaha kecil dan menengah.
Problem kita: rata-rata
kepala daerah hanya mengisi jatah lima tahun mereka sebagai rutinitas formal
dan seremonial belaka. Bukan pengabdian berlandaskan panggilan jiwa. Lumrah
kalau ada kesan bahwa mereka alih profesi dari dunia hiburan ke politik dan
berebut jabatan publik hanya demi ambisi narsisisme dan mencari nafkah.
Tak usah ditunggu, di sela
kesibukannya, Presiden terus-menerus mengunggah video dan foto yang
menggerakkan semangat untuk bangkit dari rasa terpuruk, tersudut, terkalahkan
di ajang kompetisi global yang kian sengit. Umumnya anak muda tak membelenggu
diri dengan sikap apriori yang melulu negatif tatkala menafsirkan aktivitas
”santai” Jokowi, sebagaimana yang dilakukan politikus yang konsisten ambil
posisi berseberangan dengan pemerintah.
Biarlah hati jernih anak
muda menangkap dan menafsirkan foto serta video Presiden. Apabila kelak
terbukti foto dan video itu beritikad memperalat mereka demi tujuan politik
pribadi dan partainya belaka, pastilah mereka bakal beraksi serempak lebih
dari sekadar ributnya kicauan burung-burung maya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar