Puasa,
Kebhinekaan, dan Janji Persatuan
Al-Mahfud ; Penulis; Bergiat di Paradigma Institute
(Parist) Kudus
|
DETIKNEWS, 08 Juni 2017
Ramadan menjadi momentum untuk melakukan refleksi dan
evaluasi. Ramadan tak sekadar tentang rutinitas menahan lapar dan dahaga
sepanjang hari selama sebulan penuh. Sebab, sebagaimana dijelaskan Imam
Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin, puasa semacam itu masih sekadar level awam.
Untuk bisa melangkah ke level selanjutnya, yakni puasa
khusus atau bahkan puasa yang istimewa, kita juga harus mampu menahan
pendengaran, lisan, penglihatan, dan pelbagai indera dari segala dosa, bahkan
sampai menjaga hati dan pikiran dari segala sesuatu selain Allah.
Jika kita meresapi level puasa khusus tersebut, maka bulan
Ramadan mestinya bisa kita jadikan sebagai momentum memperbaiki diri dari
segala kesalahan yang sudah kita lakukan. Kesalahan-kesalahan seperti
menggunakan lisan untuk menghujat orang lain yang berbeda pandangan, tangan
atau jari yang selama ini sering kita gunakan untuk menyebarkan kabar-kabar
palsu (hoax) di media sosial, serta segala bentuk kebencian terhadap suatu
kelompok yang sebenarnya saudara sebangsa kita sendiri.
Segala hal negatif yang belakangan memantik pertikaian
sudah semestinya diakhiri. Artinya, dalam konteks kehidupan berbangsa,
Ramadan harus bisa memperkuat kembali semangat persatuan bangsa.
Seperti kita saksikan, belakangan masyarakat dilanda
perselisihan akibat perbedaan yang terus diruncingkan. Kita melihat betapa
mudahnya orang saling hujat dan saling menyerang saudaranya sendiri akibat
perbedaan pandangan. Terlebih, ditambah maraknya hoax yang ditebarkan
pihak-pihak tak bertanggung jawab.
Berita hoax ibarat minyak yang terus diguyurkan dan
mengobarkan amarah dan benci di tengah masyarakat yang sedang berselisih,
sehingga menciptakan pertikaian, terutama di ruang maya.
Setelah beberapa bulan belakangan kita hanyut dalam
kemelut pertikaian tersebut, kini di bulan suci Ramadan mestinya bisa kita
jadikan sebagai ajang untuk evaluasi diri. Kita mesti belajar menahan nafsu
dan keinginan menyerang orang atau kelompok yang berbeda dengan kita.
Kita mesti belajar menghindari pertikaian yang sama sekali
tidak produktif, yang hanya menimbulkan suasana sosial yang tak harmonis,
bahkan memicu perpecahan bangsa. Pendeknya, kita mesti kembali belajar
tentang nilai-nilai persatuan bangsa.
Kebhinekaan
Untuk mendalami nilai-nilai persatuan, penting untuk
kembali meresapi kebhinnekaan yang sudah menjadi karakter bangsa. Bangsa
Indonesia terdiri dari berbagai macam suku, ras, etnis, maupun agama yang
berbeda-beda. Bahkan dalam sejarahnya, sebelum bangsa ini berdiri, atau di
masa kerajaan, masyarakat yang mendiami wilayah Nusantara sudah terdiri dari
beragam suku, ras, agama, dan budaya yang beragam.
Ketika negara Indonesia berdiri, keragaman tersebut
kemudian menjadi keunikan tersendiri yang lain dari bangsa lainnya.
Menariknya, masyarakat yang majemuk tersebut hidup rukun, saling menghormati
dan menghargai dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Keharmonisan tersebut tercipta berkat adanya toleransi
yang kuat dalam masyarakat. Kita mampu berdiri kuat sebagai sebuah bangsa
ketika kita bisa bersatu dalam ikatan kebangsaan. Oleh karena itu, kecintaan
pada Tanah Air, kesetiaan pada dasar negara Pancasila, keteguhan pada bentuk
NKRI merupakan nilai-nilai kebangsaan yang harus selalu ditumbuhkan dalam
diri setiap warga negara, sebab itu merupakan faktor yang mengikat keragaman
bangsa.
Jika kita kembali memahami makna dari semboyan Bhinneka
Tunggal Ika, kita akan menyadari bahwa semboyan tersebut tak semata bermuatan
semangat menjaga kebhinnekaan, namun juga harus menggalang persatuan.
Bhinneka Tunggal Ika merupakan kutipan bahasa Sansekerta yang berasal dari
Kitab Sutasoma karya Mpu Tantular. Jika diterjemahkan per patah kata,
bhinneka berarti "beraneka ragam" atau berbeda-beda. Kemudian kata tunggal
berarti "satu", dan ika berarti "itu".
Jadi secara harfiah, Bhinneka Tunggal Ika berarti
"Beraneka Satu Itu", atau jika dijabarkan berarti meskipun
berbeda-beda, tetapi pada hakikatnya bangsa Indonesia tetap adalah satu
kesatuan .
Kembali lagi, pemaknaan tersebut pada akhirnya menyadarkan
kita bahwa di samping menjaga kebhinekaan, di saat yang sama kita memiliki
tugas mengupayakan, menanamkan, dan memupuk rasa persatuan dan kesatuan
bangsa. Sebab sudah jauh-jauh hari bangsa ini telah dicita-citakan para
pendiri bangsa agar mampu hidup berdampingan dalam perbedaan, namun memiliki
rasa kebangsaan yang sama, yang satu, yakni Indonesia.
Untuk mewujudkannya, para pendiri bangsa telah mewariskan
landasan negara yang begitu sakral, yang bisa merangkul dan mengakomodasi
kepentingan semua elemen bangsa, yakni dasar negara Pancasila dan semboyan
Bhinneka Tunggal Ika tersebut.
Janji
Oleh karena itu, momen bulan Ramadan sudah semestinya
menjadi pengingat bagi kita untuk menjaga amanah dari pendiri bangsa tersebut.
Umat Islam di Indonesia harus merawat dasar negara Pancasila dan semboyan
Bhinneka Tunggal Ika sebagai warisan yang harus kita jaga bersama.
Seperti dijelaskan Din Syamsudin (2015) dalam tulisannya
yang berjudul NKRI: Negara Perjanjian dan Kesaksian, bahwa bagi umat Islam,
komitmen terhadap negara Pancasila dapat dijadikan sebagai sikap keagamaan,
yakni sikap menepati janji dan amanat dari para pendiri bangsa. Kita tahu,
dalam Islam, menepati janji merupakan suatu keharusan. Bahkan, dalam salah satu
hadits disebutkan bahwa ketika seseorang berjanji dan tidak menepatinya
(ingkar), itu termasuk tanda orang munafik.
Komitmen menepati janji untuk bersatu dalam bingkai Negara
Pancasila tersebut kemudian dapat diejawantahkan lewat sikap-sikap yang menjunjung
tinggi persatuan dan kesatuan. Sikap yang dilandasi semangat saling
menghormati dan menghargai saudara sebangsa. Sampai di sini, kita semakin
tersadar bahwa segala bentuk sikap intoleran dan pelbagai sikap yang memantik
perpecahan bangsa yang terjadi belakangan ini sudah saatnya untuk segera
diakhiri.
Bulan Ramadan harus menjadi penerang bagi kehidupan
berbangsa kita yang sebelumya berkemelut dalam kegelapan karena pertikaian.
Bulan Ramadan harus kita jadikan momentum untuk mengingat kembali janji kita
pada Negara Pancasila.
Ingat pesan Bung Hatta tepat 40 tahun lalu saat Pidato
Peringatan Lahirnya Pancasila pada 1 Juni 1977 di Gedung Kebangkitan Nasional
Jakarta, "Dan camkanlah pula, bahwa Pancasila ini adalah kontrak rakyat
Indonesia seluruhnya untuk menjaga persatuan dan kesatuan kita sebagai
bangsa. Angkatan muda sekarang tidak boleh melupakan ini dan
mengabaikannya!"
Akhirnya, bulan Ramadan harus menjadi saat bagi kita,
terutama umat Muslim untuk berkontemplasi, merenungkan sejarah berdirinya
bangsa yang tak lepas dari konteks kemajemukannya, agar kita dapat
mengesampingkan segala bentuk nafsu dan sikap yang menggambarkan egoisme dan
eksklusivisme yang bisa merusak hubungan harmonis dengan saudara kita yang
lain. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar