Pengajaran
Pancasila yang Menyenangkan Siswa
Eva K Sundari ; Anggota Kaukus Pancasila DPR, Fraksi PDI
Perjuangan
|
MEDIA
INDONESIA, 03 Juni 2017
BEBERAPA temuan riset memperkuat sinyalemen bahwa
Indonesia darurat radikalisme (Wahid
Institute, Setara, AW Institute). Bom bunuh diri di Kampung Melayu
menegaskan radikalisme sudah berkembang menjadi terorisme. Radikalisme
berawal dari sikap intoleransi yang diperoleh seseorang dari lingkungannya
sehingga salah satu rekomendasi Wahid Institute (2017) ialah penyelenggaraan
pendidikan toleransi di sekolah-sekolah. Pendidikan toleransi yang paling
jitu ialah dengan pendekatan konstitusionalisme, yaitu pengajaran Pancasila.
Sila kedua tentang konsep kemanusiaan berisi nilai-nilai
kesetaraan, toleransi, saling hormat lintas gender, agama, etnik, bahkan
lintas bangsa. Soekarno, dalam pidato Pancasila 1 Juni 1945, mengurai makna
konsep kemanusiaan di depan sidang BPUPK (Badan Penyelidik Usaha-Usaha
Persiapan Kemerdekaan) sebagai salah satu dasar Indonesia merdeka. Tidak ada
pilihan lain, Pancasila sebagai norma dasar harus dijadikan arus utama dalam
pendidikan dan pengajaran di sekolah-sekolah hingga ke perguruan tinggi.
Untuk pendidikan dasar dan menengah, penanaman nilai-nilai Pancasila sudah
dimungkinkan di Kurikulum 2013.
Akan tetapi, komitmen moral saja tidak cukup, perlu
komitmen politik sehingga amanat itu dilaksanakan. Pendidikan Pancasila belum
sepenuhnya dilaksanakan. Mendikbud mengeluarkan surat edaran nomor
21042/MPK/PR/2017 yang meminta sekolah-sekolah untuk segera menyelenggarakan
pendidikan untuk nasionalisme sebagai bagian dari Gerakan Nasional Revolusi
Mental. Namun, kembali respons sekolah-sekolah belum terlihat. Tampaknya
inisiatif harus dipimpin lembaga negara sehingga perubahan konkret di
lapangan segera terwujud.
Negara bisa mengambil pelajaran dari SMP Pawyatan Daha 1
Kediri, Jawa Timur, yang telah melaksanakan amanah-amanah itu, Pancasila
benar-benar diajarkan. Komitmen yang kuat serta percobaan (trial-error) inisiatif itu sudah satu
tahun dijalankan.
Integrasi nilai Pancasila
Di SMP Pawyatan Daha 1 Kediri, Jawa Timur, guru-guru tidak
menambah mata pelajaran baru Pancasila, tetapi mengintegrasikan nilai-nilai Pancasila
ke dalam kurikulum pendidikan. Jerih payah itu menghasilkan silabus untuk
semua mata pelajaran intra (12 pelajaran), bahkan berhasil melakukannya juga
untuk pelajaran ekstrakurikulumnya. Untuk mata pelajaran kesenian tradisional
Jawa, guru dan para siswa bersama menciptakan tari Panji dan gending Jawa
berisi pesan nilai-nilai Pancasila. Suasana guyub (kekeluargaan) bisa dilihat
di kelompok wayang orang (WO) milik sekolah.
Para guru gembira berperan sebagai punokawan yang harus
kromo inggil kepada para siswa yang berperan sebagai pandawa. Lebih dari itu,
agar terinternalisasi menjadi karakter komunitas sekolah, Pancasila dibacakan
bersama-sama pada setiap pagi di halaman sekolah, seusai membaca doa. Setelah
menyanyikan salah satu lagu nasional, siswa baru masuk ke kelas-kelas untuk
memulai pelajaran. Pengintegrasian ke silabus mata pelajaran intra, para guru
awalnya memasukkan 36 butir Pancasila tetapi tidak cukup. Sekolah harus pula
merespons kebutuhan darurat radikalisme, bahaya narkoba, kekerasan di sekolah
(bullying) atau antikorupsi.
Maka, pengintegrasian nilai-nilai Pancasila juga terkait
dengan pendidikan kewarganegaraan. Beberapa materi seperti negara hukum,
kewajiban patuh pada hukum, NKRI, kebinekaan ditambahkan selain kebebasan
beragama, toleransi, antikekerasan, gotong royong, antikorupsi, dll juga
diberikan. Untuk pelaksanaan, guru lebih memilih metode interaktif di kelas
selain diskusi kelompok atau permainan simulasi. Internalisasi nilai-nilai
lebih bisa mendalam karena suasana menggembirakan dan mengakomodasi daya
kritis siswa (tidak dogmatis).
Bukan mem-Pancasila-kan kurikulum
Integrasi Pancasila ke dalam kurikulum bukan berarti
mem-Pancasila-kan kurikulum, melainkan mem-Pancasila-kan siswa. Di mapel
bahasa Indonesia, misalnya, Pancasila diberikan siswa sebagai perspektif
ketika membedah karakter tokoh dalam novel. Atau siswa diminta mengarang
dengan judul bebas tetapi terkait dengan Pancasila dan tiga pilar berbangsa
dan bernegara yang lain. Tidak semua topik ajaran dikaitkan dengan Pancasila.
Di mapel biologi nilai-nilai Pancasila 'dititipkan' ke topik penyelamatan
lingkungan (ekosistem). Hindari sikap egois (merusak lingkungan), tetapi
kembangkan sikap gotong royong bagi penyelamatan lingkungan.
Pendidikan ketrampilan hidup antinarkoba dititipkan di
topik saraf, berupa penjelasan kerusakan permanen di saraf akibat
mengkonsumsi obat psikotropika. Di mata pelajaran agama Islam, pendidikan
antikorupsi disisipkan di topik sifat terpuji-jujur melalui interpretasi
Surah Al-Ahzab 71-72, as shof 2-3; Al- Isrok 53. Kejujuran (antikorupsi)
merupakan bagian upaya mewujudkan sila 5, keadilan sosial. Intinya, kejujuran
kata sekaligus perbuatan merupakan bagian dari perbuatan baik di dunia yang
akan diganjar surga.
Topik sejarah penyebaran Islam di Indonesia dilengkapi
dengan sejarah peran ulama dan kelompok-kelompok Islam untuk membela Tanah
Air. Karya-karya tembang Sunan Kalijogo juga jadi bahan diskusi siswa.
Pesannya jelas bahwa Islam adalah agama rahmatan lil alamin, cinta damai dan
cinta kaum miskin. Proses belajar juga difasilitasi sekolah saat istirahat,
ada ular tangga, kwartet, domino, dll yang bisa dipilih siswa. Para guru
kadang ikut bermain dengan siswa karena pada hakikatnya keduanya juga
sama-sama belajar.
Dengan metode partisipatif demikian, karakter prodialog,
musyawarah untuk mufakat, ditanamkan pada siswa. Apa yang dilakukan SMP
Pawytan Daha 1 Kediri, Jawa Timur, itu ibarat lilin kecil, yang harus dijaga
agar tidak padam supaya kegelapan radikalisme bisa dienyahkan. Pengajaran Pancasila
memang solusi, tetapi tidak bisa hanya di wacana. Harus ada operasionalisasi
supaya bisa diwujudkan jadi ideologi yang hidup. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar