Berdamai
Pasca-Pilkada Jakarta
Ikhsan Darmawan ; Dosen Departemen Ilmu Politik FISIP Universitas
Indonesia
|
KORAN
SINDO, 08 Juni 2017
Pilkada DKI Jakarta dan keriuh-rendahannya telah berakhir
lebih dari sebulan lalu. Akan tetapi, eksesnya masih terlihat sampai saat
ini.
Setidaknya antar pendukung (dan atau simpatisan) dari
Ahok dan bukan Ahok seperti masih belum puas untuk saling melontarkan status
bernada sentimen di media sosial, seperti Facebook, Twitter, Instagram.
Kondisi seperti ini tentu ”tidak sehat”. Jika terus dibiarkan berlangsung,
pembelahan di masyarakat akan makin menganga.
Yang lebih meng khawatirkan lagi adalah bila kondisi
seperti ini makin mengarah seperti ”bola liar” yang menggelinding deras
menabrak banyak hal. Apa sebetulnya yang menyebabkan kondisi ini terjadi?
Bagaimana sebaiknya problem ini diatasi sehingga dapat terwujud sebuah
rekonsiliasi politik? Tulisan ini ingin mengurai secara singkat kedua hal tersebut.
Dua Cluster
Problem perseteruan politik seusai Pilkada Jakarta dapat
dibagi menjadi dua cluster. Cluster pertama adalah perseteruan di antara
elite politik. Cluster kedua ialah kesengitan yang terjadi diantara para
pendukung dan simpatisan kedua pasang calon. Di cluster pertama, kedua pasang
elite telah berusaha untuk bertemu setelah 19 April 2017. Sehari setelah
hari-H Ahok dan Anies bertemu di Balai Kota Jakarta.
Keduanya seperti ingin menunjukkan kepada publik bahwa
pilkada telah usai dan saatnya kembali ke aktivitas awal seperti biasa.
Begitu juga dengan Djarot dan Sandi yang bahkan bertemu secara lebih informal
di tempat yang memberi kesan santai. Pertemuan Djarot-Sandi ber sama istri
masing-masing sem bari minum es kopyor membuat kemudian muncul istilah
”rekonsiliasi es kopyor”. Pada cluster
elite politik, khususnya kedua pasang calon kepala daerah dan wakil kepala
daerah, tidak terlalu tampak adanya residu persoalan yang berlanjut.
Kalaupun ada perbedaan pendapat di antara kedua pasang elite,
seperti sejauh mana tim sinkronisasi Anies-Sandi dapat mengakses banyak hal
untuk mempersiapkan berjalannya pemerintahan Anies-Sandi, itu masih wajar dan
biasa saja. Bagaimana dengan cluster pendukung dan simpatisan kedua pasang
calon? Ini yang sepertinya masih belum tuntas. Kedua kubu sepertinya masih
belum bisa move on.
Satu status yang di-posting di media sosial oleh salah
seorang pendukung atau simpatisan calon gubernur dan wakil gubernur seperti
tidak ingin dilewatkan oleh pendukung atau simpatisan calon lain untuk
dikomentari secara sengit. Bahkan, satu status bisa membuahkan status baru
yang bernada mengejek, dan hal itu terjadi di kedua kubu. Kondisi di level
pendukung dan simpatisan yang masih bergelimang kesewotan itu dapat terjadi
beberapa sebab.
Pertama, karena kedua pasang calon gubernur dan wakil
gubernur belum terlihat serius berusaha untuk mendinginkan dan mencairkan
suasana serta mengajak para pendukung masingmasing untuk saling menahan.
Meski pun mereka pernah bertemu, terkesan pertemuan itu
seperti simbolik saja. Tidak pernah ada per nyataan bersama dari para calon
gubernur dan wakil gu bernur untuk meminta se luruh pendukung dan simpa tisan
mereka agar menerima hasil dan berhenti untuk ber seteru seperti saat Pilkada
Jakarta Februari-April lalu.
Sebagai contoh, dari kubu Ahok-Djarot yang mendapatkan
karangan bunga dari banyak orang tidak berusaha mengatakan kepada pendukung
dan simpatisan mereka agar tidak memancing reaksi pendukung dan sim patis an
kubu Anies-Sandi da lam bentuk menulis status di media sosial ataupun
mengirim rangkaian bunga yang kata-katanya provokatif. Begitu pula dari
pasangan calon Anies-Sandi tidak berusaha meng ademkan suasana pend ukung nya
yang dipancing dengan me minta agar tidak menanggapi aksi dari pendukung
Ahok-Djarot.
Kedua, akibat Pilkada Ja karta lalu, sudah terlanjur
terjadi pem belahan politik yang tajam disertai oleh ”luka yang belum sembuh”
di antara kedua pendukung.
Saling serang dan ejek oleh para pendukung dan simpatisan
kedua pasang calon tampaknya makin memper jelas garis demarkasi di antara
keduanya. Dalam kondisi seperti itu, saling berjabat tangan dan berdamai
seusai pilkada bukan perkara mudah. Bagi kebanyakan pendukung Anies-Sandi,
apa yang terjadi Kepulauan Seribu merupakan luka yang sulit untuk di
sembuhkan.
Begitu pula, bagi pendukung Ahok- Djarot, ke kalahan Ahok-
Djarot yang mereka nilai seharusnya layak untuk memenangi Pilkada Jakarta
lalu merupakan pukulan telak yang masih belum mereka dapat terima sepenuhnya.
Faktor pertama dan kedua di atas makin diperburuk oleh faktor ketiga, yaitu
ketidak jelasan tentang apa yang dimaksud dengan rekonsiliasi politik
sehingga menjadi terkesan hanyalah jargon semata.
Sejalan dengan itu, scholar dari University Exeter di
Inggris, Andrew Schaap (2005) dalam bukunya Political Reconciliation
mengatakan: ”The possibility of
political reconciliation would depend on the contestability of opinions.”
Dengan kata lain, Schaap meyakini bahwa rekonsiliasi politik tergantung pada
konstatasi opini. Sebelum sebuah rekonsiliasi politik dapat terwujud, apa
maksud dan makna dari rekonsiliasi politik itu sendiri dimaknai beragam oleh
banyak pihak.
Makna itu pun bisa jadi saling berkonstatasi satu sama
lain. Sebagai contoh, di Afrika Selatan, rekonsiliasi politik setelah politik
Apartheid diarti kan beragam oleh beberapa aktor. Ada setidaknya enam
interpretasi tentang apa itu rekonsiliasi politik kala itu, yakni sebuah
ideologi nonrasial, saling pengertian antar komunitas, ideologi religius, pen
dekatan Hak Asasi Manusia (HAM), atau community
building (Schaap 2005).
Beranjak dari situ, dalam konteks pasca-Pilkada Jakarta,
ada minimal dua hal yang musti dilakukan agar rekonsiliasi politik dapat
terwujud.
Pertama, meluruskan makna dan maksud dari rekonsiliasi
politik agar tidak justru menjadi hal yang dikonstatasikan (Schaap, 2005).
Sebelum tercapai ke samaan pemahaman apa itu rekonsiliasi politik, kedua
pasang calon sebaiknya bertemu untuk membahas hal itu. Lalu setelah diketahui
dan sama-sama disepakati apa maksud dari rekonsiliasi politik, hal itu
kemudian disosialisasikan kepada para pendukung masing-masing.
Kedua, melakukan restorasi hubungan antarelite dan
pendukung dengan cara: apology (memaafkan), reparation (memperbaiki), dan
penance (mene rima apa yang telah dilakukan pihak lain) (Schaap 2005).
Tak dimungkiri bahwa ekses dari Pilkada Jakarta 2017 yang
sangat sengit telah menyebabkan adanya timbul rasa saling sakit hati, hubungan
yang tidak seharmonis sebelum pilkada, dan keinginan untuk mengekspresikan
perasaan masing-masing secara terus-menerus. Tidak boleh tidak, kedua elite
politik harus mengembalikan hubungan mereka agar dapat berefek pada perbaikan
hubungan di kalangan pendukung masing-masing. Jika tidak, sulit untuk
mengharapkan rekonsiliasi politik dapat terwujud dengan begitu saja. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar