Kejahatan
Persekusi atau Tindakan Intimidasi?
Amzulian Rifai ; Ketua Ombudsman RI
|
KORAN
SINDO, 08 Juni 2017
Istilah kejahatan persekusi (persecution) setidak-tidaknya telah dirumuskan secara jelas dalam
Statuta Roma tentang Pengadilan Pidana Internasional (Rome Statute of the International Criminal Court) pada 17 Juli
1998. Ada 124 negara pihak (state
parties) dari statuta ini. Kebetulan Indonesia belum termasuk di d
alamnya. Saat ini istilah persekusi populer di masyarakat kita. Istilah ini
menjadi viral setelah seseorang bernama AM, yang kini ditahan polisi,
mendatangi dan menganiaya seorang anak (PMA) berusia 15 tahun. Sebagaimana
dikutip media, anak itu sempat ditahan dan dipukul sebelum kemudi an
diserahkan ke kantor RW.
Tind akan ”main hakim sendiri” oleh AM ini karena PM A
telah mengg unggah status di Facebook yang menurutnya menyindir pentolan FPI
Rizieq Shihab. Malah menurut juru bicara FPI, ”anak itu” juga menghina dan
menantang umat Islam. Sebelum kasus PMA ini, ada juga kejadian yang mirip
terhadap seorang dokter perempuan berusia 40 tahun di Solok, Sumatera Barat.
Kasus ini, menurut korban dalam surat terbukanya , ber mula dari beberapa
unggahannya di Facebook antara tanggal 19 sampai 21 Mei 2017.
Dalam Facebooknya, ia menuliskan beberapa hal seperti ”Kalau tidak salah, kenapa kabur? Toh ada
300 pengacaran 7 juta ummat yg siap
mendampingimu, jg nurun away lg dunk bib,” juga ”Kadang fanatisme sudah membuat akal sehat n logika tdk berfungsi
lagi, udah zinah, kabur lg, masih dipuja & dibela.” Apa pun
alasannya, tindakan main hakim sendiri dengan melakukan intimidasi terhadap
orang yang dinilai menyinggung perasaan, termasuk di med sos, tidak dapat
diterima.
Hukum memberikan perlindungan terhadap korban tindakan
semacam ini. Namun apakah tepat menggunakan istilah persekusi untuk kasus
”penculikan” dan penganiayaan oleh AM terhadap PMA sebelum diserahkan olehnya
ke RW? Per tanyaan ini muncul karena dalam hukum internasional, istilah
persekusi adalah untuk menggambarkan suatu kejahatan yang sangat serius (extra-ordinary crimes).
Tidak bisa sembarangan menggunakan istilah hukum persekusi
(persecution) yang dalam hukum
internasional merupakan kejahatan melawan kemanusian (crimes against humanity) setara dengan pembunuhan massal (genosida) dan kejahatan perang (war crimes). Bukankah tindakan salah
oleh AM tersebut masih kategorisasi intimi dasi, jauh dari perbuatan yang
masuk kategori persekusi? Bukankah dari dahulu juga ada tindakan semacam itu,
tetapi tidak disebut perkusi? A pakah ada kait an dengan kondisi masyarakat kita
yang saat ini heboh oleh topik radikalisme sehing ga digunakan istilah
persekusi? Tulisan ini ingin berbagi atas topik tersebut.
Tidak Boleh Main Hakim Sendiri
Di negara hukum mana pun, tindakan main hakim sendiri itu
tidak dapat dibenarkan. Sudah ada ketentuan yang meng atur setiap perilaku
menyim pang atau jika terjadi silang sengketa dalam suatu masyarakat.
Perkembangan medsos, terutama penggunanya, sungguh luar biasa di Indonesia .
Peredaran kata, ber ita, dan gambar begitu mudah dan dalam hitungan klik
saja.
Akibatnya sangat mungkin terjadi gesekan antara mereka
yang mengunggah dengan pembacanya. Hukum di Indonesi a ”sangat ketat”
mengatur apa saja yang layak, patut atau tidak patut beredar di medsos. Ada
Undang- Undang Nomor 11/2008 yang diperbarui oleh UU Nomor 19/2016 tentang
Informasi dan Transaksi Elek tronik (I TE). UU ini mengatur cukup terperinci
tata krama bergaul di dunia maya beserta sanksi yang cukup berat. Dengan lalu
lintas medsos yang luar biasa hiruk-pikuknya, wajar apabila ter jadi
gesekangesekan atau bahkan ”perkelahian” argumentasi.
Namun apakah ketika terjadi argumentasi yang tidak sesuai,
lantas ”lawan kita” harus diculik, dianiaya? Masyarakat di negara demokratis
sudah maklum dengan jawabannya . Tindakan main hakim sendiri terhadap
pengguna medsos jelas salah. Namun pertanyaannya , apakah tepat meng guna kan
istilah persekusi? Atau lebih tepat menggunakan isti lah lain seperti
penganiayaan atau intimidasi? Pemahaman ini penting agar kita tidak dinilai
aneh dalam menggunakan istilah yang jauh berbeda dengan istilah yang dimaksud
dalam dunia global.
Rujukan Hukum Persekusi
Begitu mengerikankah Indonesia saat ini sehingga istilah
persekusi digunakan? Padahal dalam hukum internasional, istilah persekusi
tidak dapat sembarangan digunakan. Salah satu di antaranya karena istilah ini
menggambarkan suatu kejahatan kemanusiaan yang terstruktur dan sistematis.
Hal ini yang diatur dalam Rome Statute of the International Criminal Court
(ICC). Apalagi selain atas dasar Statuta Roma, persekusi juga diatur lebih
lanjut dalam konferensi tahun 2000.
Konferensi ini mempertegas kejahatan yang masuk kategori
persekusi dengan menambah eleme-elemen ke jahatan. Melalui kon ferensi ini,
setidaknya harus ter penuhi enam unsur agar suatu ke jahatan dapat dikate
gorikan sebagai pidana persekusi. Dapat dimaklumi jika ada pe ngetatan untuk
menuduh suatu kelompok telah melakukan kejahatan persekusi. Apabila kejahatan
ini terjadi, tindakan tersebut masuk ke dalam kejahatan terhadap kemanusiaan.
Statuta Roma tentang ICC mengakui tiga jenis kejahatan
luar biasa yang dapat diadili di ICC, yaitu genosida, kejahatan atas
kemanusiaan, dan kejahatan perang. Saya ingin menegaskan bahwa dalam Statuta
Roma tentang Pengadilan Pidana Internasional tersebut, kejahatan persekusi
setara dengan kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity) se
bagaimana diatur dalam Pasal 7(h). Untuk masuk kategori tindak pidana ini,
perbuatan penyerangan itu dilakukan secara tersebar luas atau sistematis
terhadap kelompok sipil dengan kesadaran oleh pelaku.
Ini artinya suatu kejahatan untuk dapat dikategorikan
sebagai persekusi apabila memenuhi enam unsur kejahatan. Keenam unsur
tersebut ada lah sebagai ber ikut.
Pertama, pelaku kejahatan secara nyata menghilangkan
hak-hak dasar orang lain.
Kedua, pelaku kejahatan menargetkan seseorang atau
sekelompok orang atas dasar identitas yang berbeda.
Ketiga, orang atau kelompok yang disasar atas dasar
politik, ras, kewarganegaraan, etnik, budaya, agama, gender atau atas alasan
lain yang secara universal dilarang dalam hukum internasional.
Keempat, yang harus dipenuhi untuk dikategorikan sebagai
kejahatan persekusi, perbuatan itu dikaitkan dengan perbuatan mana pun
sebagaimana di atur dalam Pasal 7 ayat 1 (di antaranya pembunuhan, pem
basmian, perbudakan, deportasi atau pemindahan paksa penduduk, pemenjaraan
atau tekanan-tekanan kebebasan fisik yang kejam yang melanggar peraturan dasar
hukum internasional, penyiksaan, penculikan/penghilangan paksa, kejahatan apartheid) atau kejahatan lain yang
menjadi yurisdiksi ICC.
Kelima, kejahatan itu dilakukan sebagai bagian dari
serangan yang meluas dan sistematik yang ditujukan kepada sekelompok sipil
tertentu. Unsur keenam, pelaku ke jahatan (persekusi) menge tahui bahwa
perbuatannya merupakan atau dengan niat menjadi bagian serangan yang meluas
dan sistematis terhadap kelompok sipil tertentu.
Jangan Salah Istilah
Ada beberapa catatan atas ramai-ramai penggunaan istilah
persekusi dewasa ini.
Pertama , saya meyakini bangsa Indonesia setuju bahwa kita
harus mewaspadai kemungkinan kejahatan luar biasa , termasuk genosida,
kejahatan atas kemanusiaan, dan kejahatan perang. Namun tidak berarti kita
menggunakan istilah yang sangat berbeda dengan apa yang dimaksud dalam hukum
internasional.
Kedua, jikapun istilah persekusi ingin tetap digunakan sesuai
dengan istilah kita sendiri, hal itu harus dimasukkan dalam peraturan
perundang-undangan yang menjelaskan batasan istilah tersebut.
Ketiga, sebag ian orang hukum mestinya berkerut keningnya
ketika ada seseorang yang mengintimidasi orang lain lantas dikategorikan
sebagai kejahatan persekusi. Padahal syaratnya kejahatan itu sangat-sangat
serius untuk dikategorikan sebagai kejahatan persekusi. Oleh karena itu
pelaku jenis kejahatan ini dapat diadili di Pengadilan Pidana Inter nasional
(International Criminal Court).
Keempat, mungkin kata ”intimidasi” lebih tepat untuk
kejahatan dalam bentuk reaksi berlebihan terhadap suatu pihak, seseorang atau
suatu kelompok sebagaimana yang dilakukan AM terhadap PMA. Begitu juga
terhadap dokter di Solok itu. Sepertinya enam unsur kejahatan atau apalagi
unsur-unsur dalam Pasal7 ayat 1 S tatuta Roma tersebut belum terpenuhi.
Kelima, istilah kejahatan persekusi bukan ”barang baru”
karena setidak-tidaknya telah ada sejak Statuta Roma 1998 tersebut.
Padahal ”tindakan inti midasi” serupa sudah banyak
terjadi, mengapa selama ini tidak digunakan istilah ini? Wajar jika akibatnya
ada yang memiliki persepsi sendiri soal ini. Saya ingin menegaskan bahwa di
era Indonesia yang demokratis atas dasar Pancasila , kita wajib mengakui
berbagai keberagaman yang sudah given di negeri ini. Selama ini tidak juga
ada persoalan yang terlalu serius soal ini. Tentu saja termasuk di dalamnya
kebebasan orang lain untuk berinteraksi dan berekspresi.
Namun semua itu harus dilakukan secara bijak dengan
memperhitungkan konsekuensinya. Tindakan AM terhadap PMA atau yang menimpa
seorang dokter di Solok jelas tidak dapat diterima dan wajar diproses secara
hukum. Tapi meng klasifikasikan perbuatan tersebut sebagai kejahatan
persekusi terlalu berlebihan. Jangan campur adukkan antara istilah intimidasi
dengan persekusi. Dua istilah yang bukan hanya tidak sama, tetapi memiliki
konsekuensi hukum sangat berbeda pula. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar