Istighotsah
Kubro dan Kesalehan Konstitusi
Fathorrahman Ghufron ; Wakil Katib Syuriah PW NU DIY;
Dosen Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Sunan Kalijaga
|
JAWA
POS, 10
April 2017
DALAM rangka peringatan Hari Lahir Ke-94 NU, PW NU Jawa
Timur menyelenggarakan istighotsah kubro (9/4). Acara ini dilaksanakan,
selain sebagai ekspresi ketaatan beragama kaum nahdliyin melalui serangkaian
doa-doa, sebagai bentuk afirmative action untuk meneguhkan Pancasila, UUD 45,
NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai bangunan konstitusi negara Indonesia
yang sudah final.
Di saat sebagian umat Islam yang masih berambisi
menyeruakkan sistem khilafah dan tujuannya ingin mengganti sistem negara
Indonesia yang berdasar Pancasila, nahdliyin tetap berjibaku melestarikan warisan
para ulama dan pahlawan yang berkomitmen untuk merawat keutuhan berbangsa
melalui napas konstitusi.
Selain itu, maraknya sebagian kaum beragama yang
menggunakan ajaran agama sebagai instrumen untuk mempropagandakan ideologi
radikalisme dan konservatisme yang hal ini turut menjadi ancaman dalam
kehidupan berbangsa, nahdliyin selalu menegaskan bahwa hanya prinsip
wasathiyah-lah yang menjadi modalitas utama dalam menegakkan syiar agama yang
maslahah di dalam bangunan negara yang beragam.
Karena itu, istighotsah kubro yang berlangsung di Sidoarjo
dan dihadiri ratusan ribu hadirin itu menjadi momentum kesetiaan dalam
bernegara yang taat kepada landasan konstitusi yang sudah disepakati oleh
founding fathers kita.
Kontekstualisasi Kesalehan
Dalam spektrum agama, kesalehan menjadi simbol ketaatan
seseorang untuk menunjukkan komitmen dalam menjalankan praktik peribadatan.
Simbol tersebut diekspresikan dalam beragam dimensi. Pertama, kesalehan
bersifat ritual-religius yang mendedahkan perjalanan spiritualitas pada
pelaksanaan ibadah mahdlah yang melingkupi rukun Islam, baik yang diwajibkan
maupun disunahkan. Kedua, kesalehan sosial yang mendedahkan perjalanan
spiritualitas pada pelaksanaan ibadah muamalah yang berhubungan erat dengan
tindakan-tindakan kedermawanan dan kebersahajaan kepada manusia.
Atas dasar ini, kesalehan adalah modalitas keberagamaan
yang mengantarkan seseorang kepada titik sublimatik yang bersifat
transendental, baik yang bermuara pada wilayah theomorfis (keilahian) maupun
wilayah anthromorfik (humanitarian). Lalu, ketika muara kesalehan melingkupi
dua aspek yang sama-sama esensial dalam kehidupan manusia, dapatkah kesalehan
diekspresikan ke dalam ruang lingkup bernegara yang dilandasi kesadaran luhur
untuk mengakui Pancasila sebagai dasar negara dan UUD 45 sebagai
konstitusinya?
Bila merujuk pada seruan moral KH Hasyim Asy’ari, bahwa
menaruh perhatian simpatik kepada negara adalah bagian dari iman (hubbul
wathan minal iman), sebagai kaum beragama yang beriman tentu kita harus tahu
bagaimana memperlakukan negara dengan baik. Dalam hal ini, ketika sebuah
negara seperti Indonesia sudah dilandasi oleh sistem negara-bangsa
(nation-state) yang mekanisme kekuasaan dan kehidupan berbangsanya sudah
diatur melalui sistem demokrasi, spirit berkehidupannya dikerangkai oleh
Pancasila, dan segala aturannya pun dilingkupi oleh UUD 45, tentu menjalankan
apa yang menjadi ketentuan dalam negara tersebut adalah sebentuk ekspresi
kesalehan yang sama penting ketika kita mengekspresikannya, baik lingkup
ritual maupun sosial.
Sebab, esensi kesalehan –bila merujuk pada pandangan Ibn
’Arabi– adalah ketundukan dan kesatuan sikap yang diekspresikan kepada titik
fokusnya. Bila kesalehan diekspresikan dalam konteks theomorfis (ritual
oriented), konsekuensi logis yang harus dijalani adalah menjalankan segala
apa yang menjadi perintah Tuhan. Demikian pula bila kesalehan
dikontekstualisasikan pada wilayah anthromorfik (social oriented), kita
menentukan berbagai indeks perbuatan yang baik yang bisa memberikan manfaat
kepada sesama.
Tidak terkecuali kepada negara, kesalehan tersebut juga
perlu dilingkupi oleh sikap ketaatan kepada pemangku negara (ulul umri) yang
segala kebijakannya dinapasi oleh Pancasila dan UUD 45. Karena itu, apa yang
ditegaskan oleh KH Hasyim Asy’ari bahwa mencintai negara adalah sebagian dari
iman, pada titik ini, ruang kesalehan kita perlu dikontekstualisasikan
menjadi kesalehan konstitusi. Lalu, bagaimana mengekspresikan kesalehan
konstitusi dalam kehidupan kita?
Menjaga Negara
Dalam kaitan ini, ada tiga langkah yang perlu dilakukan
sebagai upaya menjaga negara (hifdz ad daulah/al wathan) sebagai konsekuensi
logis dari kesalehan kostitusi. Pertama, partisipasi kita sebagai warga yang
bisa menjalankan nilai-nilai kehidupan berbangsa sebagaimana ditegaskan dalam
Pancasila dan UUD 45.
Kedua, laku keadaban (civical behaviour) dalam setiap
eksemplar keberpihakan kita kepada ikatan kewargaan yang plural dan
multikultural dan berbaur dengan berbagai kelompok yang berbeda aliran dan
kepercayaan secara inklusifsebagaimana ditegaskan dalam NKRI dan Bhinneka
Tunggal Ika.
Ketiga, sikap bersahaja dalam menempatkan agama sebagai
bagian komplementer yang bisa memperkuat sendi-sendi kehidupan bernegara dan
salah satu simpul penggerak sistem sosial kebangsaan dalam kehidupan
bermasyarakat yang berlandas nilai-nilai luhur seperti toleransi (tasamuh),
moderasi (tawasuth), keseimbangan (tawazun), dan keadilan (ta’adul)
sebagaimana diamanahkan dalam istighotsah kubro.
Tiga aspek ini menjadi modalitas sosial yang bisa menggiring
individu maupun kelompok yang bergerak secara kolektif kolegial untuk
mencapai tujuan bersama di bawah naungan spirit menjaga negara. Mereka akan
menyatu dalam keinginan yang sama dan menjadi sebuah perekat yang saling
bahu-membahu untuk mengelola dan menciptakan negara yang tegak hukumnya,
lestari lingkungannya, merata ekonominya, terjaga warisan kebudayaannya,
terbuka sehat ruang berpolitiknya, dan terbangun kuat keamanan dan ketahanan
nasionalnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar