Senin, 05 Januari 2015

Premium

Premium

Putu Setia  ;  Pengarang, Wartawan Senior Tempo
TEMPO.CO,  03 Januari 2015

                                                                                                                       


Duka dan suka mengawali tahun 2015. Duka karena musibah. Yang paling heboh tentu tenggelamnya pesawat AirAsia di perairan Karimata. Duka lainnya pun banyak, Pasar Klewer yang jadi ikon pasar batik terbesar di Indonesia musnah dilalap api. Ada kawasan yang kebanjiran, termasuk terjangan air laut di Manado. Orang suka lupa kalau Gunung Sinabung masih meletus.

Sukanya harga minyak turun, terutama Premium. Menteri Koordinator Perekonomian bersama beberapa menteri mengumumkan harga baru Premium, yakni Rp 7.600, dari sebelumnya Rp 8.500. Tetapi di Denpasar seorang ibu sempat berdebat ketika harga dipatok Rp 7.950. "Kok, bisa lebih mahal dari yang diumumkan Menteri," kata sang ibu. Petugas SPBU menjawab, "Harga area Bali memang segitu, kan jauh dari Jakarta." Ibu itu masih ngotot: "Menteri enggak bilang harga itu beda-beda." Petugas SPBU, kebetulan juga wanita, tetap tenang menjawab, "Menterinya enggak tahu kali ...."

Saya tertawa, jadi tak mengikuti dialog selanjutnya. Apakah menteri yang mengumumkan harga baru itu tak tahu kalau harga berbeda-beda di berbagai area distribusi? Itu tak mungkin. Yang paling mungkin adalah informasi tak lengkap sampai ke masyarakat.

Pemerintah memutuskan harga Premium tak lagi bersubsidi, sementara harga solar subsidinya dipatok Rp 1.000. Jadi, harga bisa gonjang-ganjing setiap saat, seperti halnya harga cabai keriting. Patokan harga untuk Premium secara nasional Rp 7.600. Kenapa di Bali lebih mahal? Karena orang Bali dianggap kaya, maka pajak bahan bakar minyak kendaraan bermotor dipatok 10 persen ditambah pajak penjualan juga 10 persen.

Di daerah yang jauh dari "ibu kota nasional" seperti Papua, harga bahan bakar minyak juga tinggi karena biaya distribusi. Tetapi pemerintah memperkenalkan tiga kategori: bahan bakar minyak penugasan, subsidi, dan non-subsidi. Premium dan solar untuk daerah "nun di sana" digolongkan penugasan.

Masyarakat banyak tak paham soal ini. Bahkan para sopir angkot dan taksi belum paham juga apakah perubahan harga itu nanti seenaknya mengikuti pasar dunia? Mereka sulit merencanakan ongkos angkutan kalau perubahan harga secara mendadak, apalagi dalam waktu singkat. Pemerintah diharapkan masih melakukan kontrol dengan mengumumkan perubahan harga setiap bulan (atau kelipatannya) dan tidak di tengah bulan seperti naik-turunnya harga Pertamax. 

Perubahan harga cukup ditempel di SPBU minimal tidak hari sebelum berganti. Kalau menteri harus tampil di televisi, selain menterinya sibuk, kesannya seperti Orde Baru, mengingatkan pada Menpen Harmoko yang tampil setiap Rabu malam di TVRI mengumumkan harga cabai keriting, bawang, kini harga Premium dan solar.

Kalau diberi penjelasan yang lengkap, masyarakat bisa paham. Buktinya, dengan kenaikan Premium dulu sebesar Rp 2.000-padahal tak tahu cara menghitungnya-rakyat relatif bisa menerima. Kalaupun parlemen mengajukan hak interpelasi, itu bukan aspirasi rakyat.

Subsidi Premium yang dicabut dan dialihkan untuk kepentingan yang produktif sudah mulai dipahami rakyat. Tinggal pembuktiannya nanti, apa benar ada pembangunan waduk, perbaikan irigasi, subsidi pupuk, jalan ke desa dibenahi, hak petani akan air di pegunungan dihormati pemerintah dengan tidak menjual ke investor yang membangun hotel. Kalau nanti pepesan kosong, kepercayaan masyarakat akan hilang.

Ini momentum yang baik, menghapus subsidi bahan bakar minyak yang banyak digunakan orang-orang kaya di kota untuk dipakai membangun desa. Asalkan ada penjelasan gamblang, masyarakat kita sudah tak bodoh lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar