Senin, 05 Januari 2015

Jembatan Galata

Galata Köprüsü

Trias Kuncahyono  ;  Wartawan Senior Kompas
KOMPAS,  04 Januari 2015

                                                                                                                       


Orang Turki memberi nama Galata Köprüsü atau Jembatan Galata. Jembatan itu membentang di atas Golden Horn, sungai besar gabungan antara Sungai Alibeykoy dan Kagithane, yang berbentuk tanduk. Itulah sebabnya disebut ”Golden Horn”. Aliran Golden Horn masuk ke ujung Selat Bosphorus sebelum bertemu dengan Laut Marmara. Hilir mudik perahu dan kapal melintasi Golden Horn mengingatkan pemandangan serupa di Sungai Nil, Kairo, Mesir.

Jembatan dua tingkat di Istanbul, Turki, ini—tingkat pertama untuk rumah makan dan tingkat kedua untuk jalan raya, dengan tiga jalur mobil untuk setiap arahnya, satu jalur rel trem, dan di kedua sisinya dibuat jalan untuk para pejalan kaki—mula pertama dibangun oleh Kaisar Justinianus Agung yang berkuasa pada abad ke-6. Jembatan itu terus diperbaiki, hingga akhirnya dibangun ulang menjadi seperti sekarang ini pada 1990-an.

Saat berdiri tepat di tengah Galata Köprüsü sambil menyaksikan sejumlah pemancing mengadu nasib dalam terpaan angin dingin, ingatan kembali ke masa lalu tentang kisah kota Istanbul. Inilah kota dengan dua wajah: Asia dan Eropa. Dan, Galata Köprüsü menghubungkan dua wajah itu, Asia dan Eropa (selain Galata Köprüsü, ada pula Atartürk Köprüsü yang juga membentang di atas Golden Horn). Barangkali, memang sudah digariskan bahwa Istanbul—yang dulu bernama Konstantinopel karena didirikan oleh Kaisar Konstantin, penguasa Imperium Romanum Timur, Kekaisaran Romawi Timur—menjadi tempat perjumpaan; perjumpaan antara Timur dan Barat.

Di kota inilah Imperium Romanum Timur berpusat dan menjadi besar setelah runtuhnya Imperium Romanum Barat yang berpusat di Roma. Istanbul menjadi saksi sejarah bertemunya peradaban Kristiani (Byzantium, kemudian Konstantinopel) dengan Muslim (Ottoman atau Utsmaniyah). Coba lihat Hagia Sophia dengan kubahnya yang begitu megah, karya arsitektur Byzantium, dengan empat menaranya yang menjulang ke langit, tambahan di zaman Ottoman. Jangan lupa, masuklah ke Hagia Sophia—dibangun tahun 537 hingga 1453—dan di dalam sana kita akan dibawa ke masa lalu yang agung.

Di Istanbul, masa lalu selalu bercerita. Bukan hanya Hagia Sophia yang bercerita. Ada juga Masjid Biru, dibangun 1609 hingga 1616, yang berdiri megah persis di seberang Hagia Sophia. Istana Topkapi, istana para Sultan Ottoman selama sekitar 400 tahun (1465-1856), dan masih banyak lagi. Istanbul seperti Roma, Kairo, atau Athena, di sana masa lalu menceritakan dirinya. Namun, kelebihan Istanbul adalah perjumpaan antara masa lalu Timur dan Barat.

Sekarang, memang, dunia telah menjadi satu; disatukan oleh teknologi komunikasi, disatukan oleh kepentingan ekonomi, kepentingan pasar, dan politik. Kishore Mahbubani dalam Asia Hemisfer Baru Dunia (2011) menulis, ”Dulu bangkitnya Barat mengubah dunia. Bangkitnya Asia sekarang akan membawa perubahan signifikan yang serupa. Kebangkitan Asia akan berbuah baik bagi dunia.”

Cerita tentang kebangkitan Asia ini sudah lama didengungkan. Dan, cerita itu, tentang kebangkitan dua kekuatan besar di Timur, Tiongkok dan India. Kedua raksasa dari Timur ini berkembang demikian cepat dan hebat meski tak berarti tanpa tantangan dan hambatan. Namun, toh, kedua raksasa Asia abad ke-21 ini menandai pergeseran kekuatan global dari Barat ke Timur.

Perubahan itu tak terelakkan. Juga tidak bisa dielakkan oleh Indonesia. Di sini tidak lagi cerita masa lalu seperti di Istanbul, tetapi tentang masa depan. Dalam konteks politik luar negeri Indonesia, pergeseran kekuatan dari Barat ke Timur itu menjadi sangat penting artinya. Itu berarti lingkungan strategis Indonesia—mulai dari tataran global sampai lingkungan terdekat di Asia Timur—terus mengalami perubahan penting. Perubahan itu akan menentukan relevansi, posisi, dan peran internasional Indonesia.

Akhirnya harus disadari bahwa masa lalu memiliki keagungannya sendiri, tetapi kini tak bisa kembali. Dan, masa depan ada di depan sana yang harus ditentukan di masa kini. Itu berarti kita jadi semacam ”Galata Köprüsü” yang menghubungkan masa lalu dan masa depan. ”Itulah hidup, c’est la vie,” kata Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dalam perbincangan ringan di Kompas jelang tutup tahun lalu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar