Minggu, 04 Januari 2015

Faksionalisasi Partai dan Oligarki Elite

                    Faksionalisasi Partai dan Oligarki Elite

Wasisto Raharjo Jati  ;   Peneliti di Pusat Penelitian Politik LIPI
KORAN SINDO,  03 Januari 2015

                                                                                                                       


Membincangkan eksistensi partai politik dalam pentas demokrasi elektoral tidaklah terlepas dari adanya faksionalisasipartai. Adanya segregasi maupun fragmentasi antarelite internal partai kerap kali melanda dalam dinamika kepartaian di Indonesia.

Perpecahan antarelite yang terjadi dalam kasus Munas Golkar 2014 yang kemudian menghasilkan adanya faksi ARB dengan faksi Golkar Perjuangan yang dipimpin oleh Agung Laksono adalah kasus terbarukan dalam membingkai adanya faksionalisasi dalam tubuh partai. Meskipun kini sudah bisa tereduksi arena konfliktual dalam partai itu, adanya kepentingan tertanam (vested intered) antarelite partai itu yang sifatnya laten.

Tercatat sejak tahun 1999 semenjak sistem multipartai diberlakukan dalam pemilu, kemunculan partai-partai baru sendiri terlahir karena adanya faksionalisasi elite partai induk. Semisal saja PPP yang menghasilkan adanya PBR, PBB, dan Masyumi. PDI yang menghasilkan PNI Massa Marhaen, PNI Front Marhaen, PNBK maupun PDI Perjuangan.

Golkar yang kemudian terpecah menjadi Hanura, Nasional Demokrat, dan Gerindra. Memang di luar tumbuhnya partai satelit tersebut masih ada partai politik lainnya terlahir dari basis aktivisme gerakan, tetapi eksistensinya tidak berlangsung lama. Daya survivalitasnya dalam dunia politik tidak memiliki akar dukungan ideologi, dana maupun massa kuat seperti halnya partai yang terlahir dari proses faksionalisasi.

Adalah suatu keniscayaan bahwa faksionalisasi partai politik juga sebentuk persaingan antara oligarki partai yang coba merebut kendali kuasa organisasi. Tipologi oligarki yang berkembang dalam tubuh partai adalah kontestasi antara oligarki penguasa (warring oligarchy) dengan oligarki menengah (middle oligarchy).

Dalam hal ini, terdapat persaingan dalam upaya mempertahankan dan menambah kepemilikan sumber daya pribadi yang terinvestasikan dalam tubuh partai untuk bisa ditambah dan diperkuat. Selain juga ditambah dengan adanya pemerkuatan arena jejaring dalam tubuh kader partai untuk kian meneguhkan kekuasaan personal. Secara jelas, faksionalisasi partai politik kerap kali terjadi dalam upaya merebut posisi ketua umum. Posisi tersebut menjadi teramat penting dalam upaya mempertahankan maupun juga menambah sumber daya ekonomi-politik.

Secara umum deskripsi mengenai faksionalisasi partai politik terjadi dalam dua tahap pembilahan, yakni mutually excluded maupun mutually restricted (Katz & Mair, 2012). Dalam pemahaman pertama, faksionalisasi itu terjadi secara laten yang kemudian menciptakan adanya kelompok oligarki kecil dalam tubuh partai, namun masih berupaya untuk membangun harmonisasi dengan kelompok lainnya dalam tubuh sama.

Pola transaksional maupun bargaining politic menjadi alat ukur dalam menjembatani hubungan impersonal antara kelompok kecil tersebut yang pada akhirnya kemudian menciptakan koalisi oligarki kolektif dalam partai tersebut. Fenomena seperti ini biasa terjadi dalam tubuh kepartaian di Indonesia di mana masing-masing kader memiliki kepentingan berbeda dalam menentukan orientasi partai yakni sebagai partai berbasis vote seeking, partai berbasis office seeking, atau sebagai partai berbasis policy seeking.

Ketiga varian orientasi inilah yang menjadi sumber primer konfliktual partai itu terus berlangsung secara simultan dan inheren. Pemahaman kedua, faksionalisasi sendiri terjadi sebagai bentuk aksi disorganisasi dalam tubuh partai yang sifatnya sentrifugal. Maksudnya ialah, faksionalisasi yang berujung pada pembentukan berbagai macam kelompok oligarki partai yang justru kian mengidentifikasikan dan mengafiliasikan diri sebagai bentuk kompetitor dengan kelompok elite dalam tubuh partai itu sendiri.

Dalam tipe faksionalisasi kedua inilah yang kemudian menghasilkan adanya perpecahan partai induk yang menghasilkan partai satelit baru. Meskipun kemudian terjadi disorganisasi dalam tubuh partai, relasi partai induk maupun partai satelit kemudian masih tetap terjaga. Hal tersebut mengindikasikan bahwa masih terjalin hubungan patrimonial antarkeduanya baik sebagai fungsi mentoring, koordinatif maupun fungsi supervisi politik.

Faktor figuritas memang menjadi kata kunci dalam membedah akar oligarki dan faksionalisasi dikarenakan figur inilah yang tampil sebagai simbol pemersatu, simbol pengontrol, maupun juga simbol kompetitor bagi suatu kelompok maupun ketika berhadapan dengan kelompok lain.

Maka melihat konteks kekinian, faksionalisasi partai itu sendiri berjalan instan serta memiliki akar ideologi dan massa yang rapuh. Boleh jadi dikarenakan sekarang ini adalah era kompetisi elektoral berbasis catch all party, jadinya meneguhkan premis dan asumsi bahwa faksionalisasi partai tidak lebih dari usaha pragmatisme dan kompromi politik elite partai saja.

Jika demikian, faksionalisasi yang lahir dan tumbuh justru kian menguatkan prinsip hukum besi oligarki Michels bahwa oligarch yang menguasai partai yang justru menghamba kuasa daripada menjadi abdi masyarakat. Analisis terkini memang menunjukkan gejala ke arah sana bahwa faksionalisasi tidak lebih dari sekadar usaha mempertahankan dan menambah keuntungan pribadi dan kelompok daripada mengartikulasikan kepentingan publik secara utuh.

Faksionalisasi partai adalah sah-sah saja karena itu merupakan bagian dari dinamika organisasi. Namun akan lebih tepat jika faksionalisasi tersebut kemudian menghasilkan arahan partai yang lebih berada dalam public ground seeking. Itu lebih tepat untuk kembali memperkuat relasi dengan massa partai sebagai penyokong suara partai di akar rumput daripada sekadar ribut mempermasalahkan redistribusi kuasa dan cara mempertahankannya.

Berbicara mengenai kasus negara lain, faksionalisasi bukanlah dimaknai sebagai bentuk kontestasi mencari materi dan rente (rent-seeking), tetapi lebih pada bentuk fragmentasi ideologi yang tidak tertampung dalam partai induk. Hal inilah yang membedakan antara kasus faskionalisasi di negara maju yang lebih ideologis dengan negara berkembang yang mencari kuasa.

Kasus pembentukan partai politik yang terjadi di Eropa dan Amerika Utara seperti yang terjadi dalam kasus Jacobin dan Girodins di Prancis maupun Whig-Thories di Inggris lebih karena perbedaan ideologi dan kultur meski dulunya masih satu partai. Adapun dalam kasus negara berkembang seperti halnya Partai Kongres India dengan pecahannya Bharatiya Janata Party dikarenakan adanya kontestasi antarelite yang kemudian berkembang dalam bentuk identitas politik lainnya.

Maka apabila melihat dua contoh kecil di atas, setidaknya faksionalisasi dan oligarki itu pada dasarnya berburu kekuasaan, yang kemudian berkembang dalam berbagai bentuk fragmentasi identitas politik. Pertarungan antarberbagai identitas inilah yang kemudian akan mengerucut pada munculnya partai baru dari partai induk atau mungkin munculnya “oligarki permanen” dalam partai induk.

Pada akhirnya kemudian, perbincangan mengenai institusionalisasi partai hingga kemudian menimbulkan faksifaksi mengindikasikan bahwa partai bukanlah organ tunggal yang satu kata, satu orientasi, dan satu tujuan sama. Ada pelbagai kontestasi antarelite yang saling mengalahkan dan saling menjatuhkan dalam berbagai intrik politik tertentu.

Faksionalisasi adalah komoditas politik yang terjadi secara by design dan by product dikhususkan untuk mengejar kepentingan pribadi dan kelompok dengan mengatasnamakan kepentingan organisasi. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar