AKHIR minggu lalu
pertemuan tingkat menteri 159 negara anggota Organisasi Perdagangan Dunia
(WTO) Ke-9 di Bali menelurkan kemajuan cukup menggembirakan. Kesepakatan
utama meliputi keamanan pangan (food security), penyederhanaan prosedur
kepabeanan yang menghambat perdagangan, dan fasilitasi perdagangan untuk
mempermudah akses ekspor negara-negara miskin ke pasar negara maju.
Walaupun
kesepakatan itu hanya bagian kecil dari Putaran Doha, Paket Bali merupakan
kemajuan berarti dalam sejarah perjalanan WTO sejak terbentuk hampir 20
tahun silam. Kajian Peterson Institute of International Economics
memperkirakan kesepakatan ini memompakan 960 miliar dollar AS dalam
perekonomian global dan menciptakan 21 juta tambahan pekerja, 18 juta
pekerja di antaranya di negara berkembang.
Kesepakatan
tentang keamanan pangan memberikan jeda kepada negara berkembang
menggelontorkan subsidi pangan melebihi 10 persen dari output sesuai ketentuan WTO. Pelonggaran
berlaku untuk empat tahun. Dengan pelonggaran ini, pemerintah negara
berkembang boleh membeli produk pangan dari petani di atas harga pasar dan
menjualnya dengan harga terjangkau untuk melindungi penduduk miskin.
Apa relevansi
kompromi itu bagi Indonesia? Nyaris tidak ada. Sejauh ini pemerintah sangat
kikir mengalokasikan subsidi pertanian untuk memperkokoh ketahanan dan
keamanan pangan. Bulog tidak melakukan operasi pasar secara berarti untuk
membantu petani ketika panen dengan harga di atas harga pasar dan
menjualnya kepada konsumen dengan harga terjangkau. Bulog pun tidak
memperoleh subsidi dari APBN untuk melakukan operasi pasar. APBN hanya
mengalokasikan subsidi pangan, pupuk, dan benih yang nilainya dalam lima
tahun terakhir sekitar Rp 30 triliun setahun, jauh lebih rendah ketimbang
subsidi energi.
Dalam Global Food Security Index 2012 yang
diterbitkan Economist Intelligence
Unit, Indonesia hanya menduduki urutan ke-64 dengan nilai 46,8 dari
nilai tertinggi 100. Sebagai perbandingan, Malaysia di urutan ke-33, China
ke-38, Thailand ke-45, Vietnam ke-55, dan Filipina ke-63.
Pemburukan
ketahanan/keamanan pangan kita juga terlihat dari defisit perdagangan
pangan yang sudah terjadi sejak tahun 2007. Sekalipun produksi beras
dilaporkan meningkat dan pada 2012 surplus ditaksir mencapai 5,8 juta ton,
impor beras tetap besar dan cenderung naik. Tahun 2011 impor beras hampir
2,5 juta ton.
Luas panen jagung
dan kedelai cenderung turun dari tahun ke tahun, sementara yield naik tetapi relatif lambat.
Produksi jagung relatif tak berkembang dan produksi kedelai cenderung
turun. Akibatnya, impor kedua komoditas pangan ini cenderung naik. Dalam
tiga tahun terakhir, impor jagung sekitar 1,5 juta ton sampai 3,2 juta ton,
dan impor kedelai sekitar 1,7 juta ton sampai 2,1 juta ton. Target
swasembada pangan terasa kian jauh. Tak hanya beras dan jagung, tetapi juga
banyak komoditas pangan lainnya, seperti daging sapi, hortikultura, bahkan
garam.
Dengan kinerja
pangan yang semakin melorot, apa yang bisa kita nikmati dari kesepakatan
WTO di Bali? Justru, sebaliknya, kita harus bersiap-siap menghadapi
gempuran impor pangan sejalan dengan tekad WTO untuk memangkas berbagai
hambatan prosedur kepabeanan. Selama ini kita terbuai dengan julukan negara
agraris. Padahal, porsi lahan pertanian di Indonesia relatif kecil
dibandingkan dengan India, China, dan Brasil, bahkan lebih rendah
dibandingkan dengan rata-rata dunia.
Arable land (tanah yang siap ditanami) per kapita
di Indonesia hanya 0,1 hektar. Setiap tahun terjadi konversi dari lahan
pertanian ke non-pertanian, sedangkan pencetakan lahan baru, khususnya
untuk pertanian pangan dan hortikultura, praktis tak terjadi. Hal inilah
yang diperkirakan menyebabkan kemerosotan jumlah rumah tangga usaha
pertanian sebanyak 5,1 juta dalam sepuluh tahun terakhir. Penurunan terjadi
di semua subsektor pertanian. Yang paling tajam dialami rumah tangga petani
hortikultura sebanyak 6,3 juta, diikuti oleh rumah tangga peternakan sebanyak
5,6 juta. Jumlah penurunan di kedua subsektor ini lebih besar dibandingkan
penurunan keseluruhan usaha pertanian, karena satu rumah tangga usaha
pertanian dapat mengusahakan lebih dari satu subsektor usaha pertanian.
Pola penurunan
jumlah rumah tangga pertanian itu mengindikasikan peralihan pekerjaan dari
sektor pertanian ke non-pertanian. Apakah mereka berpindah ke sektor
industri manufaktur?
Agaknya tidak
demikian, apalagi mengingat penurunan tajam terjadi untuk rumah tangga
petani gurem dan mayoritas terjadi di Jawa. Selama 2003-2013, rumah tangga
petani gurem turun tajam sebanyak 4,8 juta. Kebanyakan mereka berpendidikan
rendah sehingga amat sulit diserap industri manufaktur. Mengingat pula
industri padat karya, seperti garmen dan sepatu, kian meredup sejalan
dengan kenaikan upah. Belakangan industri yang makin berkembang adalah
industri padat modal dan industri yang membutuhkan keterampilan lebih
tinggi. Tak pelak lagi, pilihan bagi kebanyakan rumah tangga petani yang
semakin terjepit kehidupannya, menyemut sebagai pekerja informal atau
berusaha di sektor informal non-pertanian.
Tak ada pilihan
bagi Indonesia kecuali merestorasi sektor pertanian. Selain itu, mulailah
serius mengelola sumber daya maritim. Kita memiliki sumber daya kelautan
melimpah: luas lautan tiga kali lebih besar daripada luas daratan, garis
pantai sepanjang 95.181 kilometer, dan kandungan kekayaan beraneka ragam
biota laut dan potensi minyak dan gas alam. Lebih dari cukup untuk
menyejahterakan seluruh rakyat Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar