Paket
Bali dan Negara Berkembang
Khudori ; Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia;
Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat (2010-2014)
|
KOMPAS,
28 Desember 2013
DI luar dugaan, Konferensi
Tingkat Menteri IX WTO di Bali akhirnya berhasil menyepakati Paket Bali.
Dirjen WTO Roberto Azevedo dan Ketua Konferensi WTO yang juga Menteri
Perdagangan RI Gita Wirjawan bungah.
Setelah macet 12 tahun tanpa
hasil, sebagian agenda Putaran Doha bisa diselesaikan. Roberto dan Gita yakin
hasil ini akan mengembalikan kepercayaan 160 anggota WTO tentang pentingnya
kerja sama multilateral.
Paket Bali berisi tiga hal:
fasilitas perdagangan, paket pembangunan untuk negara kurang berkembang, dan
pertanian. Dua paket pertama mulus disetujui. Perundingan paling alot terjadi
pada agenda pertanian. Dimotori India, kelompok G-33 yang dipimpin Indonesia
mendesakkan penaikan subsidi pertanian, dari 10 persen menjadi 15 persen
tanpa batas waktu. Sekitar 40 persen dari 1,2 miliar penduduk India bekerja
di pertanian dan terancam kelaparan. India berkepentingan menjamin hak pangan
warga tanpa diatur-atur WTO.
Memaknai Paket Bali
Dimotori AS, negara-negara maju
menentang India. Argumennya, subsidi untuk memperkuat cadangan pangan
mendistorsi pasar jika merembes. Usulan India akhirnya disetujui jadi bagian
Paket Bali dengan peace clauseempat tahun. Setelah itu dijanjikan ada
solusi permanen. Pertanyaannya, benarkah negara berkembang diuntungkan Paket
Bali? Benarkah Paket Bali mencerminkan free and fair trade seperti
diyakini SBY? Bisakah negara berkembang memanfaatkan 1 triliun dollar AS yang
didorong perdagangan dunia?
Paket Bali sejatinya tidak
mengubah apa-apa. Negara maju tetap pada wajahnya yang lama: banyak menuntut
tetapi pelit memberi. Pertama, peace clause empat tahun sejatinya
hanyalah omong kosong. Itu karena hasil negosiasi dengan tenggat empat tahun
tersebut telah ditukar (trade off)
dengan fasilitas perdagangan yang akan meliberalisasi secara luas pasar di
negara-negara berkembang. Lagi pula, skema peace clause hanya berlaku untuk cadangan pangan, bukan
untuk yang lain. Janji solusi permanen juga tak jelas bagaimana wujudnya dan
kapan akan diberlakukan? Boleh jadi, empat tahun lagi negara maju berganti
taktik.
Kedua, Paket Bali mencerminkan
tetap berlanjutnya diskriminasi. Menurut WTO, dengan mengamini argumen AS,
subsidi guna memperkuat cadangan pangan mendistorsi perdagangan. Di lain
pihak, subsidi pangan dan pertanian di negara-negara maju tetap dibolehkan
oleh WTO. Ini tecermin dari tetap dilegalkanya subsidi ekspor dan dukungan
domestik yang oleh WTO dimasukkan dalam Green Box, Blue Box, dan de
minimis.
Ketiga, inti Paket Bali tetap
berfokus pada akses pasar (market
access). Ini tecermin dari disetujuinya poin-poin dalam fasilitas
perdagangan. Isu ini memang eksklusif milik negara-negara maju. Dengan
disetujuinya poin fasilitas perdagangan, lewat WTO negara-negara maju bisa
mendesak dibangunnya sejumlah fasilitas seperti kepabeanan, pelabuhan, dan
perizinan serta fasilitas pengukuran kesehatan di negara berkembang. Itu
semua memakan biaya besar. Padahal, fasilitas ini tak lain untuk melancarkan
lalu lintas barang impor di negara-negara berkembang. Impor bakal membanjir,
termasuk ke Indonesia.
Janji negara-negara berkembang
akan menikmati kue ekonomi yang didorong oleh perdagangan dunia hanya janji
surga. Dengan pelbagai standar teknis internasional dan asal barang,
persyaratan lingkungan dan kesehatan di negara-negara maju akan cukup efektif
membendung masuknya aneka produk dari negara berkembang. Selain pelbagai
hambatan new non-tariff barrier itu, negara maju juga memberlakukan
tarif eskalasi untuk sejumlah produk olahan. Dengan cara itu, sulit produk
negara berkembang menembus pasar negara maju. Negara maju hanya tertarik
membuka pasar bahan baku.
Kemenangan korporasi
Menurut sebuah studi Bank Dunia,
skenario Putaran Doha hanya memberikan keuntungan kepada negara-negara maju.
Menurut Bank Dunia, negara-negara berkembang hanya memperoleh sekitar 16
miliar dollar AS, sementara negara-negara maju mendapatkan keuntungan hingga
96 miliar dollar AS sampai 2015.
Yang paling diuntungkan adalah korporasi.
Menurut World Trade Report 2013, ”80 persen ekspor AS dikuasai satu
perusahaan besar, 85 persen ekspor Eropa ada di tangan 10 persen eksportir
besar, dan 81 persen ekspor terkonsentrasi pada lima perusahaan ekspor di
negara berkembang”. Jadi, Paket Bali adalah kemenangan korporasi.
Keempat, Paket Bali menegaskan
adanya dua dunia di belahan bumi: utara yang makmur dan kaya serta selatan
yang miskin dan melarat. Ada negara berpendapatan per kapita lebih dari
40.000 dollar AS, tetapi jumlah penduduk yang pendapatan per kapita 1.000
dollar AS per tahun atau kurang amat banyak.
Lebih dari 1,2 miliar orang atau
satu dari setiap lima penduduk dunia harus hidup dengan 1 dollar AS per hari
atau kurang. Mereka miskin, kurang gizi, rentan terhadap bencana dan gejolak,
serta akses terhadap kesehatan dan pendidikan rendah. Negara-negara ini masih
bergulat dengan persoalan kebutuhan dasar.
Di sisi lain, negara-negara maju
yang telah mencapai tahapan tertinggi dari pembangunan industri, jasa, dan
perdagangan terus melakukan ekspansi pasar guna menghindari stagnasi ekonomi.
Negara-negara ini terus mengejar kemajuan tiada henti, tanpa mau tahu
pelbagai masalah yang membelit negara-negara berkembang dan miskin: rendah
penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, sumber daya manusia, serta lemah
akses pasar dan modal. Apakah demikian ini yang dinamakan perdagangan bebas
yang bukan hanya free, melainkan juga fair trade?
Yang amat disesalkan adalah peran
Indonesia. Sebagai tuan rumah, Indonesia lebih banyak mendorong Paket Bali
agar segera (bisa) disepakati. Sebagai Ketua G-33, posisi Indonesia juga
”abu-abu”. Tak jelas kepentingan nasional yang diperjuangkan. Sebagai tuan
rumah, di mata dunia luar Indonesia akan dipuji WTO dan korporasi karena
telah berhasil memfasilitasi terus berlanjutnya mesin ekonomi WTO dan
perputaran kapital mereka. Di dalam negeri, Indonesia kembali menuai kecaman
karena tak gigih membela kepentingan nasional. Jangan-jangan memang kita tak
merumuskan semua itu? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar