Soal
Panggilan Timwas Century kepada Wapres
Satya Arinanto ; Guru Besar Hukum Tata Negara FHUI; Mantan
Anggota Tim Ahli MPR dalam Perubahan UUD 1945; Mantan Anggota Tim Ahli
Pemerintah dalam Penyusunan UU MD3
|
KOMPAS,
30 Desember 2013
SEBAGAIMANA
diberitakan di media massa, Tim Pengawas Bank Century mengundang Wakil
Presiden Boediono untuk hadir dalam rapat dengan Timwas.
Terkait undangan ini, dengan tetap
menghormati lembaga, tugas dan wewenang DPR, Boediono menyatakan dengan
menyesal tidak dapat menghadiri undangan tersebut. Hal itu telah ditegaskan
oleh Wapres melalui juru bicaranya, Yopie Hidayat.
Salah satu alasan yang dikemukakan
anggota Timwas Century ialah bahwa undangan tersebut dimaksudkan agar
Boediono mengklarifikasi pernyataannya. Saat menyampaikan keterangan di
Panitia Khusus (Pansus) Bank Century, Boediono menyatakan bahwa Bank Century
ditalangi. Namun, setelah diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi untuk kedua
kalinya, Boediono menyatakan Bank Century diambil alih. Isi keterangan yang
dianggap berbeda itulah di antaranya yang jadi alasan Timwas memanggil
Wapres.
Menurut penelusuran penulis,
rencana Timwas mengundang Wapres sebenarnya sudah terdengar sejak sekitar April
2013. Dengan demikian, sebenarnya itu bukan baru muncul belakangan ini.
Karena Boediono kemudian menyatakan dengan menyesal tidak dapat menghadiri
undangan itu, muncul pertanyaan apakah penyampaian undangan ini— atau lebih
lazim disebut sebagai pemanggilan—sudah sesuai dengan kaidah-kaidah hukum?
Perspektif hukum
Undangan itu sebenarnya memiliki
permasalahan yang mendasar jika ditinjau dari perspektif hukum, khususnya
hukum tata negara. Pertama, ditinjau dari sisi kelembagaan, lembaga Timwas
Century dibentuk setelah Sidang Paripurna DPR pada 4 Maret 2010 memutuskan
Opsi C sebagai rekomendasi dari Pansus Century. Opsi C itu pada intinya
merekomendasikan bahwa seluruh dugaan penyimpangan dan penyalahgunaan
wewenang yang berindikasi perbuatan melawan hukum yang merupakan tindak
pidana korupsi, tindak pidana perbankan, dan tindak pidana umum berikut
pihak-pihak yang bertanggung jawab agar diserahkan kepada lembaga penegak
hukum, yaitu Kepolisian Negara RI, Kejaksaan Agung, dan KPK sesuai
kewenangannya.
Selanjutnya, berdasarkan Pasal 81
Ayat (1) UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Daerah (atau yang dikenal sebagai UU
MD3), diatur tentang adanya sepuluh alat kelengkapan DPR, termasuk pansus.
Adapun timwas tidak termasuk dalam sepuluh alat kelengkapan utama DPR
tersebut; tetapi menurut ketentuan huruf k dari pasal dan ayat ini, timwas
dapat dikategorikan sebagai alat kelengkapan lain DPR.
Kedua, dari sisi tugas dan
wewenang. Berdasarkan Pasal 20A Ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 77 Ayat (1) UU
MD3, DPR mempunyai hak interpelasi, angket, dan menyatakan pendapat. Jika ini
dikaitkan dengan permasalahan kelembagaan tadi, dapat dinyatakan kewenangan
timwas tidak sama dengan pansus. Pansus dibentuk sebagai pelaksanaan hak
angket DPR. Pada saat Pansus Century bekerja, mekanisme kerjanya masih
didasarkan pada UU Nomor 6 Tahun 1954 tentang Penetapan Hak Angket DPR.
Berdasarkan Pasal 77 Ayat (3) UU
MD3, hak angket adalah hak DPR melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan
suatu UU dan/atau kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta
berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dalam
penjelasan pasal ini diuraikan pelaksanaan suatu UU dan/atau kebijakan
pemerintah dapat berupa kebijakan yang dilaksanakan sendiri oleh presiden,
wapres, menteri negara, Panglima TNI, Kapolri, Jaksa Agung, atau pimpinan
lembaga pemerintah non-kementerian.
Berdasarkan Pasal 3 UU No 6 Tahun
1954, Panitia Angket— yang dalam konteks kasus Century tugas dan wewenangnya
dijalankan Pansus Hak Angket Century—memang berhak melakukan pemanggilan
kepada semua penduduk dan warga negara Indonesia. Namun, UU No 6 Tahun 1954
tersebut telah dicabut Mahkamah Konstitusi melalui putusannya dalam nomor
perkara 8/PUU-VIII/2010 tanggal 31 Januari 2011. Dari sisi tugas dan wewenang
ini, timwas dibentuk dengan maksud untuk mengawasi pelaksanaan
rekomendasi DPR berupa Opsi C itu.
Dengan demikian, pada intinya
timwas berwenang mengawasi kinerja lembaga-lembaga penegak hukum, yaitu
memastikan bahwa Polri, Kejagung, dan KPK menjalankan tugas dan wewenangnya
sebagaimana mestinya untuk menyelesaikan permasalahan Century. Di samping
itu, timwas juga bertugas mengawasi pelaksanaan rekomendasi dan proses
penelusuran aliran dana serta pemulihan aset dengan kewenangan berdasarkan
peraturan perundang-undangan. Jadi, berbeda dengan pansus, timwas tak
berwenang melakukan pemanggilan kepada pihak-pihak lain di luar ketiga aparat
penegak hukum itu, termasuk tidak berwenang melakukan pemanggilan kepada
Wapres Boediono.
Pemulihan aset
Sebagaimana kita ketahui, ketika
Pansus Century sedang bekerja, Wapres Boediono telah dua kali menghadiri
undangan rapat Pansus, yaitu pada 22 Desember 2009 dan 12 Januari 2010. Pada
saat itu, Boediono telah menyampaikan keterangan, data, dan informasi yang ia
ketahui terkait bail out Bank Century. Dengan sikap kooperatif,
Boediono juga telah dua kali memenuhi permintaan keterangan sebagai saksi
oleh KPK. Dalam proses pemeriksaan tersebut, semua fakta, data, informasi,
dan dokumen yang terkait dengan permintaan keterangan sebagai saksi juga
telah disampaikan kepada KPK.
Di samping itu, menurut pengamatan
penulis, ketiga aparat penegak hukum yang disebut dalam rekomendasi Pansus
Century—Polri, Kejagung, dan KPK—selama ini juga telah menjalankan
rekomendasi DPR itu sesuai tugas dan wewenangnya. Dalam konteks hukum, mereka
menjalankan sebagian dari kekuasaan kehakiman. Sebagaimana ditegaskan dalam
pasal-pasal UUD 1945 yang terkait kekuasaan kehakiman, khususnya Pasal 24
Ayat (1), kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Dengan
demikian, seyogianya proses yang dijalankan ketiga aparat penegak hukum ini
tak diintervensi oleh pihak mana pun, termasuk oleh pihak tim pengawas. Akan
lebih bijak jika, sesuai isi rekomendasi tentang tugas dan wewenangnya, pihak
tim pengawas lebih memfokuskan diri pada pelaksanaan kewenangan mereka,
khususnya proses pemulihan aset.
Sebagaimana kita ketahui, pada 16
Juli 2013 Majelis Arbiter International Centre for Settlement of Investment
Disputes (ICSID) menolak gugatan yang diajukan terpidana kasus Bank Century,
Rafat Ali Rizki, dan menerima eksepsi Pemerintah RI. Dalam gugatan yang
diajukan 12 Mei 2011 di Singapura, pada intinya Rafat memosisikan diri selaku
pemegang saham Bank Century yang menganggap Pemerintah RI telah melanggar
ketentuan perjanjian investasi bilateral atau bilateral investment
treaty (BIT) antara Indonesia dan Inggris dalam penyelamatan Bank
Century. Rafat antara lain menuntut Pemerintah RI membayar ganti rugi 75 juta
dollar AS.
Gugatan ini diajukan dengan dua
alasan. Pertama, terkait masalah investasi di mana Rafat merasa dirugikan
atas pengucuran bail out Bank Century. Kedua, Rafat menilai bahwa
putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memvonisnya 15 tahun penjara
secara in absentia bertentangan dengan hak asasi manusia.
Berdasarkan putusan arbitrase tersebut, investasi itu dinyatakan tidak
mendapatkan perlindungan BIT dan Majelis Arbiter juga tidak memiliki
yurisdiksi untuk memeriksa perkara.
Dalam kaitan dengan putusan ICSID,
dan juga dengan masih diperlukannya sinergi yang lebih kuat dalam proses
pemulihan aset (asset recovery),
ada baiknya Timwas DPR bersinergi dengan aparat penegak hukum untuk
menyelesaikan proses pemulihan aset ini. Hal ini disebabkan tugas dan
wewenang lain dari timwas, yakni melakukan penelusuran aliran dana, juga
telah diselesaikan oleh Badan Pemeriksa Keuangan melalui laporan hasil
auditnya.
Apabila permasalahan undangan (pemanggilan) terhadap Boediono masih
dilanjutkan, hal ini niscaya akan menjadi kontraproduktif terhadap tujuan
luhur menyelesaikan kasus Century itu sendiri, karena hal itu justru lebih
mengesankan adanya aspek penekanan terhadap politik daripada aspek hukumnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar