Minggu, 29 Desember 2013

Ada Korupsi Dalam Perjanjian RI-Singapura?

Ada Korupsi Dalam Perjanjian RI-Singapura?

Derek Manangka  ;   Wartawan Senior
INILAH.COM,  20 Desember 2013

  

Posisi Indonesia dalam beberapa perjanjian bilateral dengan Singapura, selalu lemah. Perjanjian mencakup berbagai bidang, perbankan, telekomunikasi, perhubungan udara, perusahaan penerbangan, perdagangan minyak mentah, merek dagang dan ekstradisi bahkan diplomasi.

Yang mengherankan, lemahnya posisi Indonesia, terus bertahan, seperti sengaja dibiarkan. Dan yang membiarkan, justru pihak Indonesia. Ada apa? Semakin mengherankan, karena sejauh ini tidak terlihat tanda-tanda adanya usaha serius pemerintah untuk melakukan revisi terhadap semua perjanjian bilateral yang merugikan Indonesia.

Seolah-olah hingga kapanpun perjanjian itu sudah tidak bisa diubah. Kecuali ada kerelaan Singapura. Padahal menunggu kerelaan Singapura, sama saja dengan menanti matahari terbit di ufuk Utara.

Sehingga hal ini menyisakan beberapa pertanyaan, ada apa sehingga terjadi pembiaran? Apakah Indonesia tidak punya juru runding handal? Apakah RI tak punya ahli hukum yang kredibel? Sudah punahkah putera-puteri Indonesia yang punya integritas dan kapabilitas ?

Fakta di depan mata, Singapura hanya berpenduduk 5 juta jiwa. Sejatinya, negara dengan penduduk sekecil seperti itu tak mungkin lebih kuat posisi tawarnya menghadapi Indonesia yang berpenduduk 240 juta jiwa. Sehingga dalam perjanjian bilateral, semestinya posisi tawar kuat tersebut, tercermin.

Luas Singapura hanya setara dengan wilayah Jabodetabek. Tidak sepatutnya Singapura "mengangkangi" Indonesia yang luasnya sama dengan wilayah Amerika Serikat. Artinya ada alasan bagi para juru runding untuk menunjukkan superioritas Indonesia.

Singapura yang baru merdeka di 1963, ibarat manusia yang pengalaman hidup dan jam terbangnya masih terbatas. Bandingkan Indonesia yang kemerdekaannya lebih tua 18 tahun! Maksudnya, Indonesia seharusnya lebih matang dan pintar dalam melakukan artikulasi dan perdebatan.

Realitanya Singapura bisa mempecundangi Indonesia dalam sejumlah perjanjian bilateral. Intinya, Indonesia tidak boleh punya perasaan rendah diri. Yang mengganggu dari implementasi beberapa perjanjian bilateral kedua negara, tidak ada atau minimnya azas timbal balik (resiprokal) dari pihak Singapura.

Sudah menjadi rahasia umum, bank-bank milik pemerintah Indonesia mengalami kesulitan untuk membuka perwakilan apalagi menambah kantor cabang di Singapura. Namun rahasia umum itu, tidak diatasi dengan cara meminta Singapura memberi perlakuan setara seperti yang diberikan Indonesia kepadanya.

Ketika Indonesia berniat membuka cabang, persyaratan yang dituntut otoritas Singapura sangat berbelit dan birokratis. Padahal pembukaan cabang itu cukup beralasan. Terdapat jutaan warga Indonesia yang setiap tahun berbelanja ke Singapura. Mereka perlu mendapat fasilitas layanan perbankan Indonesia. Selain itu, terdapat ribuan TKI yang bekerja di sana. Mereka pun wajib difasilitasi layanan perbankan Indonesia.

Jadi, tidak diterapkannya azas resiprokal dalam dunia perbankan ini saja sudah merupakan sebuah bukti, betapa besar kerugian Indonesia dalam perjanjian bilateralnya dengan Singapura.

Kesalahan tidak sepenuhnya bersumber dari Singapura. Tapi bisa saja berada kepada para juru runding Indonesia. Dimana mereka tidak menggunakan argumentasi non-hukum seperti luas wilayah, aset dan penduduk Indonesia secara proporsional. Jika pendekatan di atas digunakan, seharusnya Singapura-lah yang lebih banyak memberi. Bukan sebaliknya, Indonesia.

Dalam kerja sama penerbangan, Singapura mengoperasikan dua maskapai ke wilayah Indonesia: Singapore Airlines dan Silk Air. Yang terakhir ini bahkan memiliki jalur penerbangan ke semua pulau utama di Indonesia: Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Papua. Sebaliknya, Indonesia hanya punya Garuda yang tujuannya pun hanya satu titik: Bandara Changi atau Payah Lebar, Singapura. Tidak berimbang dan tidak seharusnya !

Dalam urusan lalu lintas udara, pesawat-pesawat Indonesia yang akan mendarat di Pulau Batam, Riau Kepulauan dan sekitarnya harus memperoleh clearence dari menara kontrol Singapura.

Adanya kewenangan legal Singapura seperti ini menimbulkan tanda tanya besar, patutkah Singapura yang mengatur kontrol lalu lintas penerbangan di atas wilayah Indonesia? Siapa pejabat Indonesia yang menanda-tangani persetujuan bilateral tersebut? Atau siapa pejabat Indonesia yang memperpanjang kontrak perjanjian yang merugikan itu?

Jawabannya tak akan pernah diperoleh bila Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak ikut menginvestigasi. Yang lebih membingungkan lagi, kewenangan Singapura mengontrol wilayah udara, menyeruak hingga ke bagian Utara. Sampai ke daerah Natuna, wilayah Kepulauan Riau yang terletak di Laut Cina Selatan.

Padahal letak Natuna, lebih dekat ke Pontianak, Kalimantan Barat ketimbang ke Singapura maupun Pulau Batam. Kejanggalan dan ketidak-patutan ini dibiarkan berlanjut. Tanpa gugatan dari dalam negeri. Kalau sudah begitu, apakah Indonesia yang dibodohi atau mungkinkah pejabat Indonesia yang sengaja membiarkan negaranya dibodohi Singapura?

Selain memberi kewenangan di udara, Singapura juga mendapatkan lahan di darat. Indonesia memfasilitasi latihan bagi angkatan udara Singapura di provinsi Riau. Sekalipun, tidak gratis, tetapi hal ini menunjukkan betapa gampangnya pejabat Indonesia "menyerahkan" kedaulatan RI kepada sebuah negara asing. Lantas manfaat apa yang diperoleh Indonesia dari kerja sama ini?

Oleh sebab itu sangat wajar jika KPK melakukan investigasi atas perjanjian bilateral yang kontroversil seperti ini. Dalam bidang telekomunikasi, SingTel, perusahaan milik pemerintah Singapura, menguasai saham sebesar 35% di PT Telkomsel.

Sejarah masuknya BUMN Singapura di perusahaan strategis itu, sudah sering digugat oleh publik. Apapun alasannya kepemilikan saham sebesar itu pada BUMN Indonesia, tetap merupakan sebuah kebijakan kotroversi.
Yang paling mendasar sebetulnya setiap kali ada desakan agar Indonesia membeli kembali saham itu, pemegang otoritas Indonesia selalu berdalih: Singapura tidak bersedia !

Yang mencurigakan, jawaban klasik itu seakan sudah menjadi sebuah harga mati. Semakin membenarkan, Indonesia sudah tak punya cara sama sekali bagaimana menyingkirkan Singapura dari Telkomsel. Ini juga perlu diinvestigasi !
Tidak heran muncul spekulasi, jangan-jangan para juru runding Indonesia yang ditugaskan untuk melakukan negosiasi, tidak mau bekerja maksimal. Atau niat untuk itu sudah ada, namun berhasil "dibungkam" Singapura dengan iming-iming gratifikasi.

Sebab bagi Singapura, membungkam dengan gratifikasi apapun, asalkan SingTel tetap menguasai saham 35% di Telkomsel, masih tetap jauh lebih menguntungkan. Sementara bagi pejabat PNS yang mendapat iming-iming, sulit menolak gratifikasi yang menggiurkan.

Kecurigaan ini bukan mengada-ada. Tetapi melihat maraknya penyuapan kepada sejumlah individu PNS yang memegang kekuasaan. Bukan tak mungkin hal serupa juga terjadi dalam perjanjian bilateral Indonesia-Singapura.
Kernel Oil, perusahaan yang berbasis di Singapura, dipimpin oleh seorang bekas warga negara Indonesia yang kini menjadi warga Singapura. Data KPK menunjukkan warga Singapura ini menyuap Kepala SKK Migas Rudi Rubiandini. Tujuannya agar proyek-proyek migas tetap jatuh ke tangan perusahaan (Singapura).

Peristiwa ini menunjukkan, tidak ada jaminan, Singapura yang terkenal bersih dari korupsi, lantas otomatis para pebisnisnya pun tidak mempraktekkan korupsi dan penyogokan terhadap pejabat Indonesia.

Terhadap siapapun, termasuk Singapura, kita pantas mempercayai. Tetapi demi kepentingan nasional, selain percaya, kita wajib bersikap curiga. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar