Ada
Korupsi Dalam Perjanjian RI-Singapura?
Derek Manangka ; Wartawan Senior
|
INILAH.COM,
20 Desember 2013
Posisi
Indonesia dalam beberapa perjanjian bilateral dengan Singapura, selalu lemah.
Perjanjian mencakup berbagai bidang, perbankan, telekomunikasi, perhubungan
udara, perusahaan penerbangan, perdagangan minyak mentah, merek dagang dan
ekstradisi bahkan diplomasi.
Yang mengherankan, lemahnya posisi Indonesia, terus
bertahan, seperti sengaja dibiarkan. Dan yang membiarkan, justru pihak
Indonesia. Ada apa? Semakin mengherankan, karena sejauh ini tidak terlihat
tanda-tanda adanya usaha serius pemerintah untuk melakukan revisi terhadap
semua perjanjian bilateral yang merugikan Indonesia.
Seolah-olah hingga kapanpun perjanjian itu sudah tidak
bisa diubah. Kecuali ada kerelaan Singapura. Padahal menunggu kerelaan
Singapura, sama saja dengan menanti matahari terbit di ufuk Utara.
Sehingga hal ini menyisakan beberapa pertanyaan, ada
apa sehingga terjadi pembiaran? Apakah Indonesia tidak punya juru runding
handal? Apakah RI tak punya ahli hukum yang kredibel? Sudah punahkah
putera-puteri Indonesia yang punya integritas dan kapabilitas ?
Fakta di depan mata, Singapura hanya berpenduduk 5 juta
jiwa. Sejatinya, negara dengan penduduk sekecil seperti itu tak mungkin lebih
kuat posisi tawarnya menghadapi Indonesia yang berpenduduk 240 juta jiwa.
Sehingga dalam perjanjian bilateral, semestinya posisi tawar kuat tersebut,
tercermin.
Luas Singapura hanya setara dengan wilayah Jabodetabek.
Tidak sepatutnya Singapura "mengangkangi" Indonesia yang luasnya
sama dengan wilayah Amerika Serikat. Artinya ada alasan bagi para juru
runding untuk menunjukkan superioritas Indonesia.
Singapura yang baru merdeka di 1963, ibarat manusia
yang pengalaman hidup dan jam terbangnya masih terbatas. Bandingkan Indonesia
yang kemerdekaannya lebih tua 18 tahun! Maksudnya, Indonesia seharusnya lebih
matang dan pintar dalam melakukan artikulasi dan perdebatan.
Realitanya Singapura bisa mempecundangi Indonesia dalam
sejumlah perjanjian bilateral. Intinya, Indonesia tidak boleh punya perasaan
rendah diri. Yang mengganggu dari implementasi beberapa perjanjian bilateral
kedua negara, tidak ada atau minimnya azas timbal balik (resiprokal) dari
pihak Singapura.
Sudah menjadi rahasia umum, bank-bank milik pemerintah
Indonesia mengalami kesulitan untuk membuka perwakilan apalagi menambah
kantor cabang di Singapura. Namun rahasia umum itu, tidak diatasi dengan cara
meminta Singapura memberi perlakuan setara seperti yang diberikan Indonesia
kepadanya.
Ketika Indonesia berniat membuka cabang, persyaratan
yang dituntut otoritas Singapura sangat berbelit dan birokratis. Padahal pembukaan
cabang itu cukup beralasan. Terdapat jutaan warga Indonesia yang setiap tahun
berbelanja ke Singapura. Mereka perlu mendapat fasilitas layanan perbankan
Indonesia. Selain itu, terdapat ribuan TKI yang bekerja di sana. Mereka pun
wajib difasilitasi layanan perbankan Indonesia.
Jadi, tidak diterapkannya azas resiprokal dalam dunia
perbankan ini saja sudah merupakan sebuah bukti, betapa besar kerugian
Indonesia dalam perjanjian bilateralnya dengan Singapura.
Kesalahan tidak sepenuhnya bersumber dari Singapura.
Tapi bisa saja berada kepada para juru runding Indonesia. Dimana mereka tidak
menggunakan argumentasi non-hukum seperti luas wilayah, aset dan penduduk
Indonesia secara proporsional. Jika pendekatan di atas digunakan, seharusnya
Singapura-lah yang lebih banyak memberi. Bukan sebaliknya, Indonesia.
Dalam kerja sama penerbangan, Singapura mengoperasikan
dua maskapai ke wilayah Indonesia: Singapore Airlines dan Silk Air. Yang
terakhir ini bahkan memiliki jalur penerbangan ke semua pulau utama di Indonesia:
Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Papua. Sebaliknya, Indonesia hanya
punya Garuda yang tujuannya pun hanya satu titik: Bandara Changi atau Payah
Lebar, Singapura. Tidak berimbang dan tidak seharusnya !
Dalam urusan lalu lintas udara, pesawat-pesawat
Indonesia yang akan mendarat di Pulau Batam, Riau Kepulauan dan sekitarnya
harus memperoleh clearence dari menara kontrol Singapura.
Adanya kewenangan legal Singapura seperti ini
menimbulkan tanda tanya besar, patutkah Singapura yang mengatur kontrol lalu
lintas penerbangan di atas wilayah Indonesia? Siapa pejabat Indonesia yang
menanda-tangani persetujuan bilateral tersebut? Atau siapa pejabat Indonesia
yang memperpanjang kontrak perjanjian yang merugikan itu?
Jawabannya tak akan pernah diperoleh bila Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak ikut menginvestigasi. Yang lebih
membingungkan lagi, kewenangan Singapura mengontrol wilayah udara, menyeruak
hingga ke bagian Utara. Sampai ke daerah Natuna, wilayah Kepulauan Riau yang
terletak di Laut Cina Selatan.
Padahal letak Natuna, lebih dekat ke Pontianak,
Kalimantan Barat ketimbang ke Singapura maupun Pulau Batam. Kejanggalan dan
ketidak-patutan ini dibiarkan berlanjut. Tanpa gugatan dari dalam negeri.
Kalau sudah begitu, apakah Indonesia yang dibodohi atau mungkinkah pejabat
Indonesia yang sengaja membiarkan negaranya dibodohi Singapura?
Selain memberi kewenangan di udara, Singapura juga
mendapatkan lahan di darat. Indonesia memfasilitasi latihan bagi angkatan
udara Singapura di provinsi Riau. Sekalipun, tidak gratis, tetapi hal ini
menunjukkan betapa gampangnya pejabat Indonesia "menyerahkan"
kedaulatan RI kepada sebuah negara asing. Lantas manfaat apa yang diperoleh
Indonesia dari kerja sama ini?
Oleh sebab itu sangat wajar jika KPK melakukan investigasi
atas perjanjian bilateral yang kontroversil seperti ini. Dalam bidang
telekomunikasi, SingTel, perusahaan milik pemerintah Singapura, menguasai
saham sebesar 35% di PT Telkomsel.
Sejarah masuknya BUMN Singapura di perusahaan strategis
itu, sudah sering digugat oleh publik. Apapun alasannya kepemilikan saham
sebesar itu pada BUMN Indonesia, tetap merupakan sebuah kebijakan kotroversi.
Yang paling mendasar sebetulnya setiap kali ada desakan
agar Indonesia membeli kembali saham itu, pemegang otoritas Indonesia selalu
berdalih: Singapura tidak bersedia !
Yang mencurigakan, jawaban klasik itu seakan sudah
menjadi sebuah harga mati. Semakin membenarkan, Indonesia sudah tak punya
cara sama sekali bagaimana menyingkirkan Singapura dari Telkomsel. Ini juga
perlu diinvestigasi !
Tidak heran muncul spekulasi, jangan-jangan para juru
runding Indonesia yang ditugaskan untuk melakukan negosiasi, tidak mau
bekerja maksimal. Atau niat untuk itu sudah ada, namun berhasil
"dibungkam" Singapura dengan iming-iming gratifikasi.
Sebab bagi Singapura, membungkam dengan gratifikasi
apapun, asalkan SingTel tetap menguasai saham 35% di Telkomsel, masih tetap
jauh lebih menguntungkan. Sementara bagi pejabat PNS yang mendapat
iming-iming, sulit menolak gratifikasi yang menggiurkan.
Kecurigaan ini bukan mengada-ada. Tetapi melihat
maraknya penyuapan kepada sejumlah individu PNS yang memegang kekuasaan.
Bukan tak mungkin hal serupa juga terjadi dalam perjanjian bilateral
Indonesia-Singapura.
Kernel Oil, perusahaan yang berbasis di Singapura,
dipimpin oleh seorang bekas warga negara Indonesia yang kini menjadi warga
Singapura. Data KPK menunjukkan warga Singapura ini menyuap Kepala SKK Migas
Rudi Rubiandini. Tujuannya agar proyek-proyek migas tetap jatuh ke tangan
perusahaan (Singapura).
Peristiwa ini menunjukkan, tidak ada jaminan, Singapura
yang terkenal bersih dari korupsi, lantas otomatis para pebisnisnya pun tidak
mempraktekkan korupsi dan penyogokan terhadap pejabat Indonesia.
Terhadap siapapun, termasuk Singapura, kita pantas
mempercayai. Tetapi demi kepentingan nasional, selain percaya, kita wajib
bersikap curiga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar