Meluruskan
Orientasi Guru
Nur Faidatun Naimah ; Peserta Program Sekolah Pendidikan
Politik Kebangsaan
di Monash Institute, Mahasiswi Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang |
SUARA
KARYA, 28 Desember 2013
Dalam kaidah Bahasa Jawa,
kata guru merupakan akronim dari digugu lan ditiru. Artinya, dipercaya dan
dicontoh. Berarti seorang guru harus mampu menjadi panutan bagi peserta didik
ditengah masyarakatnya. Karenanya, guru dituntut memiliki kemampuan dalam
bidang ilmu pengetahuan, serta berperilaku sesuai aturan dan norma yang
berlaku. Sehingga, seorang guru tidak hanya bertugas untuk mentransformasikan
ilmu pengetahuan, tetapi juga harus mampu menjadi uswatun hasanah terutama
bagi peserta didiknya.
Pendidik atau guru
merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan pendidikan. Kehadirannya
menjadi syarat mutlak bagi terwujudnya kegiatan belajar-mengajar. Ahmad D
Marimba dalam, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, menyebutkan bahwa
pendidik merupakan orang yang memikul pertanggungjawaban untuk mendidik.
Artinya, tujuan utama seorang guru adalah mendidik. Sedangkan, untuk dapat
mendidik seorang guru dituntut untuk mampu menguasai materi yang akan
diajarkan kepada peserta didik serta berperilaku baik. Sebab, dalam sistem
pendidikan, guru berperan sebagai center
of seing atau panutan bagi peserta didik. Ketika tidak mampu
mengimplementasikannya, maka bisa dipastikan bahwa peserta didik akan mengalami
dekadensi intelektual dan moral.
Disorientasi Guru
Sangat tidak dibenarkan,
jika seorang guru menjadikan profesi tersebut berorientasi untuk mencari
kekayaan dan jaminan kesejahteraan hidup. Selaras dengan hal ini, Al-Ghazali
dalam Ihya 'Ulumuddin mengatakan, "Ilmu
pegetahuan itu lebih utama dalam segala hal, maka mempelajari adalah mencari
yang lebih utama dari itu. Oleh karena itu, mengajarkannya adalah memberikan
faidah bagi keutamaan itu."
Dari sisi kuantitas, setiap
tahun jumlah guru di Indonesia meningkat tajam. Sayang, ini tidak mampu
diimbangi dalam segi kualitas. Ini lebih diperparah lagi dengan adanya
kebijakan pemerintah tentang sertifikasi guru, yang merupakan kebijakan
pemerintah yang notabene memiliki tujuan yang mulia, yaitu untuk meningkatkan
kesejahteraan guru, mengingat begitu besar jasa guru dalam mencetak generasi
bangsa. Karena dari generasi bangsa inilah, negara mampu meraih berbagai
pencapaian yang cukup signifikan, hingga menjadi negara Indonesia seperti
saat ini. Selain itu, kebijakan ini juga merupakan jawaban pemerintah atas
permasalahan terkait dengan kesenjangan guru, yang sudah mengurat dan
mengakar selama beberapa dekade silam.
Namun, niat baik tersebut
nyatanya telah dikotori oleh perubahan paradigma guru. Semula, tujuan utama
mereka menjadi guru adalah untuk mentransformasikan ilmu pengetahuan dan
mendidik peserta didik agar menjadi lebih baik dari sebelumnya. Namun, kini
niat mulia itu telah berubah menjadi sertifiicate
oriented, seiring dengan berlakunya kebijakan tentang sertifikasi guru
yang mampu "menyejahterakan" kehidupan mereka.
Hal inilah yang
sesungguhnya merupakan faktor utama penyebab disorientasi guru, sehingga
menjadikan mereka insan yang konsumtif dan materialistis. Pasalnya,
sertifikasi mampu memenuhi hasrat konsumtif mereka yang tidak dapat terpenuhi
selama ini. Bayangkan saja, seorang guru swasta yang lazim mendapat gaji lima
ratus ribu per bulan, mendadak mendapat gaji sepuluh kali lipatnya. Maka tak
heran, jika sekarang ini banyak lulusan SMA atau sederajat berbondong-bondong
menyerbu fakultas kependidikan, yang nantinya dapat menghantarkan mereka
menjadi seorang guru.
Bagi mereka, guru adalah
sebuah profesi yang sangat mudah untuk diraih dan dilaksanakan serta mampu
menjanjikan kesejahteraan hidup di masa depan. Apalagi, saat ini pemerintah
tengah gencar-gencarnya mengeluarkan kebijakan untuk dapat mengentaskan guru
dari kesenjangan materi. Semua kemudahan itu, nyatanya tidak mampu memberikan
jaminan akan semakin membaiknya kualitas guru. Namun sebaliknya, guru semakin
mengalami disorientasi. Sikap materialistis, konsumtif, serta ambisius telah
melekat dalam diri guru saat ini.
Tengok saja, ketika dana
sertifikasi cair. Berbagai pusat perbelanjaan, taman hiburan serta
wahana-wahana yang mampu memuaskan hasrat konsumtif, ramai pengunjung. Ketika
dirunut lebih lanjut, ternyata akar dari peristiwa ini adalah dana
sertifikasi guru sudah cair.
Selain itu, ketika di gelar
tes PNS (Pegawai Negeri Sipil), terdapat berbagai macam praktik kecurangan
lengkap dengan mafianya. Mereka menghalalkan berbagai macam cara agar bisa lulus
tes. Tidak heran, jika fenomena yang terjadi selanjutnya adalah rendahnya
kualitas dan SDM (Sumber Daya Manusia) guru. Hal inilah, yang pada akhirnya
berimbas terhadap semakin rendahnya kualitas dan daya saing peserta didik.
Jika sudah begini, jangan salahkan keadaan bila dalam setiap event
internasional, Indonesia selalu kalah dari negara-negara lain.
Rekonstruksi Mind Set
Untuk meluruskan orientasi
guru dalam dunia pendidikan yang semakin melenceng, diperlukan rekonstruksi
mindset. Artinya, perlu dihancurkan dan dibuang jauh-jauh anggapan, bahwa
menjadi seorang guru adalah sebuah profesi yang mudah untuk diraih dan mampu
menjanjikan kesejahteraan hidup di masa depan.
Namun sebaliknya, perlu merekonstruksi
(membangun kembali) mindset, bahwa hakikat guru dalam suatu proses pendidikan
adalah mentransfer pengetahuan, memberikan motivasi belajar, sepenuh hati
dalam membimbing, mengenali dan menggali potensi yang tersembunyi dalam diri
peserta didik, dan bukan sekedar menjadikan profesi tersebut sebagi ajang
mencari kesejahteraan hidup. Karena sesungguhnya, guru yang profesional tidak
hanya ditunjukkan oleh sejumlah dana yang diterima, namun oleh kinerja yang
penuh dedikasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar