PROSPEK POLITIK
2014
Berani Berubah untuk Melaju Lebih Cepat
Ninuk Mardiana Pambudy ; Wartawan Kompas
|
KOMPAS,
25 Oktober 2013
“BERKAH
dari harga komoditas yang terus tinggi hingga tahun lalu telah membuai
Indonesia sehingga lupa harus melanjutkan transformasi ekonomi.”
Nilai tukar rupiah yang merosot
cepat dari aras Rp 9.900-an pada Agustus lalu dan bertahan pada tingkat Rp
11.000-an menyadarkan, defisit transaksi berjalan membuat ekonomi Indonesia
rentan gejolak keuangan global.
Ekonomi Indonesia termasuk tahan
banting karena lolos dari krisis ekonomi di Amerika Serikat dan Eropa Barat
tahun 2008. Saat itu China dengan pertumbuhan ekonomi sekitar 10 persen
menjadi gerbong penghela Asia, termasuk Indonesia, yang mengandalkan ekspor
komoditas, terutama batubara dan minyak sawit.
Hal tersebut ikut melenakan
Indonesia. Industri terlambat berkembang dan ekonomi mengandalkan konsumsi
domestik yang dipasok impor. Indonesia berada di pinggir jejaring rantai
nilai tambah global dan mendapat sedikit manfaat dari liberalisasi
perdagangan bila dikaitkan dengan ambisi menjadi negara berpenghasilan
menengah-atas pada 2030 dan ekonomi ketujuh terbesar seperti disebut lembaga
riset global McKinsey.
Pelambatan ekonomi China dan India
membuat tahun 2012 transaksi perdagangan Indonesia defisit, pertama kali
sejak merdeka. Situasi ini memperburuk defisit transaksi berjalan yang sudah
berlangsung 22 bulan.
Laporan Harvard Kennedy School Ash Center for Democratic Governance and
Innovation tentang Indonesia, The
Sum is Greater Than Parts (Oktober 2013), menyebutkan nilai tukar
rupiah terhadap mitra dagang terbesar Indonesia yang relatif kuat ikut
menyumbang defisit. Industri manufaktur tidak berkembang karena daya saing
melemah dan barang impor membanjir. Pangan juga semakin mengandalkan impor
sebab arah kebijakan pangan pemerintah tidak jelas.
Defisit transaksi berjalan selain
karena defisit perdagangan, terutama disebabkan tingginya impor bahan bakar
minyak, juga akibat repatriasi keuntungan penanaman modal asing ke negara
asal, biaya perjalanan ke luar negeri, pembayaran utang luar negeri swasta
dan pemerintah, dan perginya investasi asing di pasar keuangan karena rencana
Bank Sentral Amerika Serikat menghentikan kebijakan moneter longgarnya.
Tantangan kualitas
Ekonomi Indonesia selama periode
2000-2010 tumbuh 5,3 persen. Antara 2009 hingga Juni 2013 tumbuh rata-rata
5,9 persen. Hal tersebut didukung aliran investasi asing karena besarnya
pasar domestik dan kekayaan alam, terutama tambang.
Setelah krisis ekonomi Asia 1998,
kebijakan ekonomi makro Indonesia sangat berhati-hati. Defisit APBN dibatasi
3 persen produk domestik bruto dan utang pemerintah maksimum 60 persen PDB.
Likuiditas perbankan dijaga dan pengawasan industri keuangan diperketat
melalui otoritas jasa keuangan.
Secara politik, Indonesia juga
relatif stabil melalui transisi dari periode Orde Baru dan telah melalui tiga
kali pemilu. Pemilu 2014 juga ditanggapi optimistis pengusaha. Bahkan pemilu
akan menaikkan pertumbuhan ekonomi, terutama jasa transportasi dan hotel.
Di sisi lain, pertumbuhan tersebut
kurang tinggi untuk memenuhi target menjadi negara kaya, menciptakan lapangan
kerja, serta menurunkan kesenjangan kesejahteraan dan kesenjangan pembangunan
antarwilayah yang rawan memicu konflik. Pertumbuhan ekonomi nasional 1 persen
hanya menciptakan 200.000 lapangan kerja baru. Sebanyak 54 persen tenaga
kerja ada di sektor informal. Di sektor formal, 38 persen tenaga kerja tidak
memiliki kontrak sehingga rawan PHK dan menganggur.
Meskipun pemerintah mengklaim
jumlah orang miskin terus turun, tetapi ukurannya pengeluaran Rp 253.273 per
orang per bulan. Bila memakai standar internasional 2 dollar AS per hari,
separuh penduduk Indonesia tergolong miskin.
Melonjaknya harga pangan karena
pemerintah kurang mendorong produksi dan mengendalikan harga setelah kenaikan
harga BBM bersubsidi pada Juni lalu, mungkin menambah jumlah orang miskin.
Ini mengingat lebih separuh pengeluaran orang Indonesia masih untuk makanan.
Bahkan saat harga komoditas primer
andalan ekspor Indonesia tinggi, pertumbuhan ekonomi nasional di bawah target
7-8 persen seperti rencana pembangunan 2010-2014. Pertumbuhan itu pun tidak
dinikmati merata. Kesenjangan kemakmuran tertinggi sejak merdeka, dengan
indeks gini 0,41. (Indeks gini bergerak pada 0-1, angka 1 menunjukkan
ketidakmerataan sempurna). Ketimpangan juga terjadi antarawilayah
Jawa-Sumatera-Bali dengan bagian lain Indonesia.
Itulah tantangan ke depan
Indonesia: pertumbuhan ekonomi lebih tinggi, berkualitas, dan inklusif untuk
menjamin kemakmuran yang adil dan merata serta keluar dari jebakan negara
berpendapatan menengah.
Transformasi
Indonesia memiliki kekayaan alam
sebagai modal terberi. Jumlah penduduk usia produktif akan mencapai puncak
pada 2025-2030 dan memberi peluang lonjakan kemakmuran bila tenaga kerja
terdidik, produktif, bekerja, dan menabung.
Joseph E Stiglitz dalam The
Price of Inequality (2012) menunjukkan, di Amerika Serikat sebagai
negara yang dianggap paling demokratis, paling kaya, dan kiblat pembangunan
banyak negara berkembang, terjadi ketimpangan kesejahteraan karena kebijakan
pemerintah.
Pemerintah dituntut mengendalikan
kelebihan yang terbentuk pada kelompok kecil di puncak piramida kemakmuran,
menguatkan yang di tengah, dan membantu yang di bawah. Masing-masing
membutuhkan program spesifik.
Permasalahan akut Indonesia adalah
rente ekonomi yang menyebabkan pembangunan tidak efisien dan memperlebar
ketimpangan. Ekonomi rente memiliki banyak bentuk, seperti disebut Stiglitz,
antara lain, transfer terbuka dan tersembunyi serta subsidi pemerintah,
peraturan yang membuat persaingan kurang kompetitif, lemahnya pelaksanaan
peraturan yang mendorong persaingan usaha, atau memindahkan biaya praktik
rente ekonomi kepada masyarakat.
Semua tantangan tersebut
membutuhkan transformasi mendasar, terutama kelembagaan sebagai prasyarat
agar kebijakan dan program pembangunan berjalan baik. Seperti dijelaskan
Daron Acemoglu dan James A Robinson dalam Why Nations Fail (2012),
kegagalan membentuk kelembagaan ekonomi dan politik yang demokratis,
inklusif, dan transparan, menjebak banyak negara dalam perangkap negara
berpenghasilan menengah.
Ada tiga aspek reformasi
kelembagaan yang kurang disentuh saat pemerintah menjalankan reformasi ekonomi:
reformasi administratif, sistem hukum, dan politik.
Kebijakan reformasi ekonomi yang
bersemangat deregulasi dalam derajat tertentu sudah dalam jalur memperkuat
daya saing ekonomi, tetapi tidak ditopang kelembagaan administratif memadai.
Reformasi administrasi-birokrasi sebatas jargon sehingga kapasitas dan
kompetensi administrasi birokrasi tidak membaik.
Contoh gamblang, fenomena
korupsi dan penyerapan APBN yang lamban.
Kelembagaan hukum juga amat parah
sehingga terjadi ketidakpastian dalam kegiatan ekonomi. Tidak ada jaminan hak
kepemilikan dan tidak ada kepastian penanganan sengketa.
Reformasi kelembagaan politik
secara prosedur sudah mengadopsi unsur penting demokrasi, seperti pemilihan
umum yang terjadwal, adanya lembaga parlemen, dan pelembagaan media untuk
berekspresi. Lebih penting dari itu, demokrasi sebagai hasil reformasi
politik telah menyediakan jalan bagi terjadinya lalu lintas transaksi
kepentingan yang transparan dan akuntabel.
Diandaikan jika kegiatan ekonomi
sudah dideregulasi dan sistem politik telah demokratis, maka patronase antara
politisi dan birokrat dapat dibatasi dalam sistem ekonomi yang dipandu pasar.
Padahal, semua itu hanya bisa terjadi bila sistem politik demokratis tersebut
dilengkapi aturan main dan norma yang jelas sehingga sistem dapat
mengakomodasi aspirasi politik rakyat. Sebaliknya, jika sistem politik
demokratis itu tidak ditopang aturan main rinci, maka agenda reformasi
ekonomi berpotensi ditelikung pemburu rente ekonomi-politik. Contoh paling
telanjang adalah kebijakan tata niaga impor daging, kedelai, hingga gula. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar