PROSPEK EKONOMI
2014
Jangan Terlena, Jangan Lamban
Pieter P Gero ; Wartawan Kompas
|
KOMPAS,
25 Oktober 2013
DARI fakta yang ada, sangat
jelas bahwa pemerintah dan semua pemangku kepentingan di negeri ini terlena.
Bisa diduga, karena terlena, mereka menjadi sangat lamban mengambil
langkah-langkah kebijakan penanggulangan. Tudingan terlena dan lamban ini
muncul jika dikaitkan dengan kinerja defisit neraca perdagangan dan, akhirnya,
defisit neraca transaksi berjalan di negeri ini.
Defisit neraca perdagangan di
Indonesia mulai terjadi sejak tahun 2012. Kinerja defisit perdagangan untuk
produk minyak dan gas (migas) serta produk nonmigas ini merupakan yang
pertama sejak tahun 1962. Pertama terjadi dalam 50 tahun ini. Neraca
perdagangan sejak itu silih berganti defisit dan surplus, sementara defisit
transaksi berjalan per triwulan II-2013 sudah berlangsung tujuh triwulan atau
21 bulan ini.
Kenyataannya, pemerintah baru
mengeluarkan langkah-langkah penanggulangan dengan mengeluarkan empat paket
kebijakan ekonomi pada Agustus lalu. Itu juga setelah terkejut ketika angka
defisit transaksi berjalan pada triwulan II-2013 mencatat rekor 9,8 miliar
dollar AS. Sekitar 4,35 persen dari produk domestik bruto (PDB). Meningkat
tajam dari 5,8 miliar dollar AS, angka defisit transaksi berjalan triwulan
I-2013.
Padahal, sangat jelas, defisit
transaksi berjalan yang bersumber dari defisit neraca perdagangan ini lebih
disebabkan kebutuhan impor produk migas dan produk nonmigas yang meningkat
pesat. Ironisnya, beberapa dari produk impor ini sebenarnya bisa disiapkan
dari dalam negeri, seperti beras, produk hortikultura, daging sapi, jagung,
dan kedelai. Saat pemerintahan Orde Baru, produksi beberapa produk tersebut,
seperti jagung, kedelai, dan beras, bisa sangat tinggi. Namun, kini
kinerjanya merosot tajam dan harus diisi dari impor.
Data menyebutkan, produksi kedelai
tahun 1992 mencapai 1,9 juta ton. Namun, produksi kedelai tahun 2013 hanya
800.000 ton sehingga perlu impor 2 juta ton kedelai per tahun. Tahun lalu,
Indonesia mengimpor 3 juta ton, mengimpor bawang putih 410.100 ton, dan
mengimpor bawang merah rata-rata 100.000 ton per tahun. Total impor pangan
Indonesia tahun 2012 sebesar Rp 81,5 triliun.
Semisal pemerintah mengeluarkan
paket kebijakan antara lain menekan impor bahan bakar minyak (BBM) yang terus
meningkat. Seperti diketahui, anggaran subsidi energi yang disiapkan dalam
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2013 sebesar Rp 299,8
triliun. Subsidi BBM mencapai Rp 199,9 triliun dan subsidi listrik Rp 99,9
triliun.
Anggaran subsidi BBM yang sekitar
20 persen dari APBN untuk kehidupan 240 juta jiwa sepanjang setahun jelas
tidak sehat. Lembaga pemeringkat S&P sudah memperingatkan hal ini saat
menurunkan peringkat utang Indonesia. Dan, sungguh ironis, pemerintah baru
menaikkan harga BBM bersubsidi pada bulan Juni lalu.
Terlalu lamban untuk sebuah
pengorbanan infrastruktur yang tidak terbangun, petani yang kesulitan
mendapat pupuk dan benih yang baik, serta saluran irigasi yang sudah kritis.
Petani bisa menghasilkan produk pertanian yang juga akan menekan beban impor
produk pertanian. Mengapa tidak semua subsidi dialihkan ke sana?
Kebijakan paket ekonomi pengalihan
BBM bersubsidi jenis solar ke produk biodiesel berbasis minyak sawit mentah
(CPO) bersubsidi sebenarnya harus dilakukan sejak jauh hari. Setelah pasar
global mengalami resesi akibat krisis ekonomi di Amerika Serikat dan Eropa
sejak tahun 2008, sebuah langkah kebijakan mengalihkan biodiesel ini juga
sudah harus diambil. Ketika itu, banyak ekspor CPO berkurang dan bisa
dialihkan untuk BBM jenis solar. Bakal ada penghematan impor produk BBM
solar.
Lambannya aksi pemerintah ini
menimbulkan prasangka ada permainan di balik berbagai impor minyak mentah dan
produk BBM. Apalagi, pembangunan kilang minyak di dalam negeri terakhir pada
tahun 1974. Tak pernah lagi ada pembangunan kilang baru. Terkesan, pemerintah
atau oknum dalam pemerintah yang bermain untuk mendapat rente dari kegiatan impor
minyak mentah dan produk BBM. Saatnya pemerintah mulai tahun 2014 segera
memutuskan pembangunan kilang di dalam negeri. Maklum, kebutuhan domestik
yang terus melonjak.
Tudingan terlena dan tidak
antisipatif juga terlihat berkaitan dengan pujian bahwa negeri ini mengalami
ledakan kelas menengah dengan populasi besar masyarakat usia muda yang juga
bonus demografi. Studi McKensey Global Institute sering kali dikumandangkan,
di mana kekuatan ekonomi Indonesia kini 16 besar dunia dengan 45 juta
konsumen potensial. Kekuatan ini akan menjadi nomor tujuh dunia pada tahun
2030 dengan 135 juta konsumen potensial.
Bukankah berarti masyarakat kelas
menengah yang konsumtif karena perubahan gaya hidup dan kebutuhan ini
memerlukan banyak produk? Dengan pertumbuhan ekonomi sekitar 6 persen dalam
beberapa tahun terakhir ini, bukankah kebutuhan mereka akan bertambah pesat?
Bukankah pertumbuhan ekonomi 6 persen itu karena peranan konsumsi dan
investasi? Namun, mengapa sektor manufaktur, sektor ekspor manufaktur minim?
Mengapa impor begitu mendominasi, apalagi impor produk konsumsi yang
sebenarnya bisa diproduksi di dalam negeri? Masih banyak pertanyaan menggugat
lainnya.
Konsekuensi yang mahal
Konsekuensi dari terlena dan
lamban adalah transaksi berjalan yang melambung besar. Dalam berbagai
kesempatan, peserta panel diskusi, pengamat ekonomi, dan berbagai lembaga
keuangan internasional meminta pemerintah untuk fokus menekan defisit
transaksi berjalan ini. Mengapa? Karena defisit transaksi berjalan merupakan
biang dari nilai rupiah yang melemah, cadangan devisa yang terus merosot, dan
jatuhnya harga saham.
Kondisi defisit neraca perdagangan
dan defisit transaksi berjalan ini akan mendorong spekulasi di pasar valuta.
Apalagi, dengan pasokan dollar AS yang semakin menipis dan cadangan devisa
yang terus merosot. Sekali lagi, pemerintah dan Bank Indonesia perlu
berkoordinasi rapat untuk menyampaikan kondisi yang akut ini. Semisal,
cadangan devisa kita pernah mencapai 124 miliar dollar AS pada Agustus 2011.
Namun, belalakangan merosot hingga 92 miliar dollar AS. Sebuah situasi tak
beres. Sinyal bank sentral AS yang ingin menghentikan kebijakan pelonggaran
likuiditas (quantitative easing) kian memperumit keadaan.
Nilai rupiah yang melemah di
tengah impor yang tinggi berakibat inflasi yang kian meroket. Inflasi yang
sudah tinggi dampak dari kenaikan harga BBM terus terdorong dengan inflasi
impor karena produk barang impor yang mahal akibat rupiah melemah. Bank
Indonesia terpaksa menaikkan suku bunga acuan atau BI Rate hingga 7,25 persen
agar inflasi cukup 9 persen. Konsekuensinya, pertumbuhan ekonomi terkoreksi
menjadi di bawah 6 persen. Upaya penciptaan lapangan kerja terganggu. Terusik
upaya menekan angka kemiskinan.
Paket kebijakan ekonomi
pemerintah, sekalipun lamban, mulai berbuah hasil. Setelah empat bulan sejak
April 2013 neraca perdagangan terus mencatat defisit, neraca perdagangan
Agustus lalu mencatat surplus 132,4 juta dollar AS. Nilai ekspor mencatat
13,16 miliar dollar AS, sementara impor 13,03 miliar dollar AS. Sukses ini karena
nilai impor Agustus 2013 turun 25,2 persen menjadi 13,03 miliar dollar AS.
Sayangnya, total ekspor Agustus 2013 ikut turun 12,77 persen menjadi 13,16
miliar dollar AS.
Pesan yang kuat, pemerintah dan
semua pemangku kepentingan di negeri ini tidak bisa lagi terlena dan lamban
menghadapi kondisi perekonomian, terutama memasuki tahun 2014. Apalagi,
defisit transaksi berjalan diperkirakan masih akan berlangsung dua sampai
tiga tahun lagi. Paling cepat baru akan teratasi pada 2015. Sementara kita
sudah memasuki pasar bebas ASEAN dan menyusul pasar bebas APEC.
Paket kebijakan ekonomi yang
diambil pemerintah dan sejumlah kebijakan bauran makro prudensial Bank
Indonesia masih harus dilakukan. Intinya, kini saatnya sektor manufaktur dan
sektor pertanian di dalam negeri perlu didorong optimal. Siapkan insentif dan
kebijakan yang mendorong penanaman modal asing agar terus meningkat. Juga
memberikan insentif bagi industri yang ada agar bertahan dan ekspansif.
Pesan paling segar datang dari
Deputi Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional Naoyuki Shinohara.
”Indonesia perlu melanjutkan kebijakan fiskal dan moneter untuk menangani
pelemahan ekonomi. Kebijakan yang diambil harus fokus, salah satunya menangani
transaksi berjalan yang defisit. Terkait hal itu, Indonesia harus melanjutkan
reformasi struktural, mendorong investasi, serta memperbaiki infrastruktur
dan iklim bisnis,” ujarnya.
Pesan ini sebenarnya sudah
dilontarkan sejak lama oleh pengamat ekonomi serta sejumlah lembaga ekonomi
dan keuangan lokal dan internasional. Media massa juga berkali-kali
mengumandangkannya. Bahkan, pejabat ekonomi dan keuangan dalam pemerintahan
sekarang ini juga bukan orang sembarangan. Prasangka yang muncul adalah
kepentingan politik mematikan semua logika ekonomi. Akibatnya, pemerintah
menjadi terlena dan lamban. Jangan ada lagi pemerintah yang terlena dan
lamban pada 2014. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar