Dari
Benturan ke Konsolidasi :
Tentang
NU dan ‘Buku Putih’ 1965
Muhammad Al-Fayyadl ; Ketua Tanfidziyah PCI NU, Prancis
|
INDOPROGRESS,
13 Desember 2013
PENGURUS Besar Nahdlatul Ulama
menerbitkan Benturan NU-PKI 1948-1965, buku
yang dimaksudkan sebagai ‘buku putih’ untuk mengklarifikasi tentang
keterlibatan NU dalam kekerasan 1965 dan posisi historis NU di masa lalu
terhadap Partai Komunis Indonesia (PKI). Menarik, bahwa setelah sekian lama
hidup dalam semacam ketabuan berbicara tentang PKI, komunitas Nahdliyyin
mulai berani berbicara tentang satu fragmen sejarah yang gelap dan berdarah,
yang melibatkan mereka dengan salah satu ‘hantu’ dari masa lalu yang sering
ditabukan di kalangan warga Nahdliyyin sendiri: PKI.
Kehadiran buku ini tak pelak
berada pada situasi yang kontradiktif. Di satu sisi, ada keharusan untuk
berbicara mengenai hal yang selama ini ditabukan, karena kesimpangsiuran yang
menempatkan warga NU sebagai satu-satunya pelaku
kekerasan dalam tragedi 1965 (imej yang secara sistematis dikonstruksi oleh
diskursus neoliberal untuk mengaburkan peran militer, intelijen, dan
kepentingan pengusaha asing dalam peristiwa 1965, dan untuk mengadudomba
kekuatan rakyat yang terbentuk hari ini). Di sisi lain, ada keengganan yang
masih kuat di kalangan NU sendiri untuk mengakui bahwa,ya, NU adalah pelaku, meskipun bukan satu-satunya,
dan bahwa peran NU dalam kekerasan anti-komunis sangatlah signifikan.
‘Buku putih’ ini menandai gejala
yang, di satu sisi, kontra terhadap diskursus dominan dan hegemonik, namun di
sisi lain, masih tetap berada dan memperkuat diskursus dominan dan hegemonik.
Siapapun warga Nahdliyyin
mengetahui bahwa tidak pernah mudah berbicara tentang sejarah 1965 tanpa
sentimen kecemasan dan ketakutan tertentu. Dalam arti itu, sejarah 1965 telah
mewariskan suatu sikap yang memaksa warga Nahdliyyin untuk berhati-hati
berbicara, karena ini menyangkut suatu peristiwa yang telah memaksa
orang-orang tua mereka dahulu sebagai eksekutor bagi rangkaian kekerasan
tersebut. Suatu sikap kehati-hatian yang lebih disebabkan oleh keengganan
untuk mengakui bahwa apa yang dilakukan generasi terdahulu merupakan suatu kesalahan, karena ini menyangkut ‘harga diri:’
mengakui bahwa mereka bersalah, berarti mengakui bahwa kita adalah cucu-cucu
dan anak-keturunan dari pelaku kekerasan. Kehati-hatian ini sebenarnya
merupakan suatu wilayah yang rentan, karena dengan segera, warisan ingatan
sejarah 1965 justru di sisi lain menjadi warisan dendam yang kembali
menjustifikasi kekerasan itu sebagai keharusan, dan
bukankesalahan yang harus dikritik dan diintrospeksi.
Demikianlah, dalam beberapa
diskursus di kalangan NU sendiri, terdapat suara-suara dominan yang kembali
mereproduksi wacana dan ketakutan-ketakutan lama tentang ‘bahaya komunisme,’
dan dengan demikian menganggap bahwa apa yang dulu dilakukan NU sudah benar
dan sudah menjadi keniscayaan.
Apa yang ditakutkan di balik
keengganan itu berkisar antara sentimen psikologis yang membuat warga
Nahdliyyin tidak mau dicap, menurut kategori-kategori HAM hari ini, sebagai
‘penjahat kemanusiaan’ atau sebagai keturunan dari ‘penjahat kemanusiaan,’
dan antara sentimen politis tentang perbedaan fundamental dan mendasar antara
NU dan PKI sebagai dua entitas politik yang tidak mungkin bertemu dan niscaya
berkonflik (NU agamis/PKI sekuler, NU moderat/PKI radikal, dst.). Kedua
sentimen itu campur aduk sedemikian rupa sehingga dalam ketabuan yang sekian
lama itu, warga Nahdliyyin tidak berani mempertanyakan sendiri apa alasan
utama mereka mempermasalahkan PKI sedemikian rupa. Tidak ada diskusi yang
intens, terbuka, dan terus-terang di kalangan NU sendiri tentang apa
sebenarnya yang menjadi ketakutan mereka terhadap peristiwa 1965 dan PKI.
Setiap diskusi tentang hal tersebut selalu digiring, dengan satu dan lain
cara, agar menjadi bahan renungan dan introspeksi secara individual agar
peristiwa itu tidak berulang, dan agar tidak beredar desas-desus yang tidak
perlu yang akan dapat meresahkan ‘masyarakat,’ dalam hal ini masyarakat warga
Nahdliyyin yang dipandang ‘awam’ atau tidak tahu-menahu.
Penabuan itu terbukti tidak
efektif, dan pada akhirnya, fragmen sejarah berdarah itu mau tidak mau harus
kembali dibicarakan secara terbuka. Penabuan itu juga menunjukkan bahwa
terdapat kesenjangan antara ingatan generasi tua yang menghendaki agar
persoalan itu tidak diungkap secara publik, dan terkadang masih
menjustifikasi diri bahwa NU tidak melakukan kesalahan dalam tragedi itu, dan
kegelisahan generasi muda yang selalu mencari tahu mengenai mata rantai yang
hilang dalam gerakan kerakyatan yang mereka bangun, pasca-eksterminasi massal
1965, serta dalam sejumlah kasus, mereka yang penasaran dengan keterlibatan
orang tua atau kakek-nenek mereka dalam rentetan peristiwa 1965.
Kultur dan kekhasan tradisi
Nahdliyyin yang tidak memungkinkan generasi muda melawan generasi tua—karena
rasa takzim dan persambungan batin yang terikat antara santri dan
kiainya—mempunyai efek ganda bagi kesenjangan itu. Karena memori samar-samar
tentang kasus 1965 itu berhenti mereproduksi sentimen balas dendam antara NU
dan para tertuduh PKI (ketika pada era Orde Baru kelompok-kelompok militer
tetap melancarkan propaganda anti-komunis), dan inilah yang memberi ruang
bagi generasi muda NU, terutama pasca-Reformasi, untuk mencari sejarah yang
hilang itu dengan caranya sendiri dan menggalang aksi-aksi perdamaian di akar
rumput. Namun, kesenjangan itu di sisi lain juga mereproduksi pengabaian,
kesenyapan, ‘kenaifan’ kolektif dalam jangka waktu yang lama, di mana warga
Nahdliyyin, dengan ditutup-tutupi akses untuk mewacanakan kasus 1965, demi
alasan untuk tidak mengungkit-ungkit luka sejarah, tidak diajak benar-benar
mengerti duduk persoalan kasus ini dan keterlibatan NU di dalamnya.
Pengabaian, kesenyapan, dan
‘kenaifan’ itu pastinya akan berakhir, karena berbagai bukti dan referensi
sudah membuka mata bahwa kekerasan 1965 dan pasca-1965 merupakan suatu proses
sistematis yang dilakukan secara struktural untuk menghancurkan gerakan
kerakyatan, dengan menjadikan massa PKI sebagai tumbal, dan memuluskan
agenda-agenda ekonomi-politik pasca-Orde Lama. Diakui atau tidak, faktanya telah
terjadi kekerasan yang massif, penghilangan paksa, dan penahanan tanpa proses
hukum terhadap mereka yang dituduh komunis, yang dampaknya masih kuat
dirasakan hingga hari ini. Dan dalam rentetan peristiwa itu, warga Nahdliyyin
adalah salah satu elemen yang paling strategis untuk dimobilisasi dalam
percepatan proses kekerasan sistematis itu, mengingat basis massa Nahdliyyin
yang besar dan merupakan kekuatan yang paling diperhitungkan selain massa PKI
sendiri.
Tidak perlu disinggung lagi bahwa
yang paling diuntungkan oleh konfrontasi antara dua kekuatan massa terbesar
ini adalah militer. Konflik antara NU dan PKI melempangkan jalan bagi
kekuatan militer, yang di era Orde Baru menunjukkan watak yang sebenarnya
sebagai kekuatan yang otoriter dan represif. Sementara NU ‘berjasa’
memfasilitasi naiknya militer, NU pada era Orde Baru pada akhirnya dieksklusi
dari panggung, karena dianggap kekuatan massa yang potensial, dan warga
Nahdliyyin tetap termarjinalisasi dan tidak mendapatkan kompensasi apa-apa
dari ‘jasa’-nya.
Kenyataan pahit selama Orde Baru,
idealnya menjadi pembelajaran bagi warga Nahdliyyin bahwa dalam kasus 1965,
bukan saatnya lagi mencari siapa pihak yang paling dipersalahkan, NU
atau PKI. Karena keduanya, pada dasarnya, merupakan korban dari proses penghancuran
gerakan kerakyatan secara struktural yang berlangsung dalam transisi antara
Orde Lama dan Orde Baru.
Dalam hal ini, diskusi yang berkutat semata-mata
pada siapakah yang paling berhak dianggap korban antara NU dan PKI, antara
‘kita’ dan ‘mereka,’ akan menjebak ke dalam konteks yang sempit dan parsial,
karena memisahkan konteks yang lebih luas yang melatari konflik antara dua
massa besar itu.
Tetapi, bukankah ‘buku putih’ ini,
dengan dijuduli ‘Benturan NU-PKI,’ tetap bergerak
dalam logika yang parsial itu? Jika demikian, pertanyaannya: siapakah yang
kembali diuntungkan dengan logika parsial itu? Jika ‘buku putih’ ini
semata-mata untuk mengklarifikasi posisi NU sebagai korban PKI, bukankah
klarifikasi itu pada gilirannya, dengan mengabaikan konteks struktural yang
lebih luas, akan ‘memutihkan’ juga peran militer?
Fakta konflik antara NU dan PKI
yang coba diangkat ‘buku putih’ itu dapat berkembang ke dalam dua
kemungkinan: menebalkan kembali keengganan untuk mengakui kesalahan NU dalam peristiwa 1965 dan
pasca-1965, dengan demikian, mundur sekian langkah dari gagasan progresif Gus
Dur yang sudah mengakui kesalahan itu, sekaligus mendorong NU secara tanpa sadar ke dalam pelukan rezim impunitas dan
tatanan neoliberal yang tidak mengakui kejahatan kemanusiaan pada 1965 dan
tidak menghendaki bersatunya anasir kerakyatan.
Atau, membuka titik terang
bagi diskusi yang lebih terbuka tentang kemungkinan konsolidasi antara NU dan
gerakan-gerakan kerakyatan, yang model pengorganisasiannya dahulu mungkin
pernah dieksperimentasikan oleh PKI dan yang lain-lain, tetapi keburu gagal
karena dihancurkan. Kemungkinan kedua ini mensyaratkan, tentu saja,
pengenalan secara terbuka dan objektif terhadap peran PKI dalam sejarah
Indonesia—keberhasilan dan kegagalannya, baik dan buruknya, kelebihan dan
kekurangannya, dst.; terhadap apa itu komunisme sebagai suatu gagasan sosial
dan politik, terhadap segala hal yang dulu begitu identik dengan PKI, yang,
karena penabuan sekian lama, menjadi terdengar begitu menakutkan.
Bukan hal yang aneh, bahwa Gus Dur — lagi-lagi Gus Dur —
sebagai warga Nahdliyyin memulai hal itu dengan membaca pada usia dini
tulisan-tulisan Karl Marx dan Lenin, dan membawanya berkenalan dengan
gagasan-gagasan yang dulunya dianut PKI tanpa harus menjadi PKI. Contoh Gus
Dur itu hanya simptom bagi ‘buku putih’ ini: keberanian buku ini untuk
menyandingkan NU dan PKI dalam satu tarikan napas yang sama, ‘NU-PKI’— satu
hal yang nyaris tidak terbayangkan beberapa puluh tahun silam di kalangan
warga Nahdliyyin—bisa jadi menandai awal baru bagi warga Nahdliyyin untuk
memikirkan relasi baru antara NU dan PKI, bertolak dari kekelaman masa lalu
bersama (common past), untuk memulai suatu fase yang lebih
maju daripada rekonsiliasi kultural (islah) yang selama
ini sudah terbangun. Bisa jadi. Selama ‘buku putih’ itu tentu saja tidak
dianggap sebagai satu-satunya buku sejarah resmi tentang 1965 yang mengikat
dalam kurikulum pembelajaran sejarah kaum Nahdliyyin. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar