Moral
yang Minim :
Mempertanyakan
Kembali Perjuangan Perempuan
Rianne Subijanto ; Anggota Redaksi IndoPROGRESS
|
IndoPROGRESS,
16 Desember 2013
‘KRISIS kemanusiaan dalam
institusi kemanusiaan’ mungkin merupakan kontradiksi paling ironis dalam
sejarah manusia. Sitok Srengenge, seorang penyair, pengusung nilai-nilai
kemanusiaan dan kebebasan, juga kurator di komunitas Salihara yang berslogan
‘bersama publik merawat kebebasan’ melakukan kekerasan seksual terhadap RW,
mahasiswi di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia.
Keduanya datang dari institusi-institusi yang mengasuh nilai-nilai
kemanusiaan dan kebebasan, dan mungkin paling paham tentang agenda perjuangan
hak-hak perempuan.
Kontradiksi ini juga terlihat
dalam konteks yang lebih luas lagi. Pasca 1998, perjuangan atas hak-hak
perempuan kembali digerakkan di negeri ini. Komisi Nasional Perempuan
berdiri. LSM-LSM yang membawa platform perjuangan untuk perempuan pun
bermunculan. Begitu pula feminisme (salah satu perspektif dominan yang
merupakan landasan perjuangan perempuan) menjadi salah satu studi populer di
bidang sosial dan humaniora di berbagai universitas di negeri ini.
Sebulan
yang lalu saya bertemu sekitar 25 mahasiswa FIB-UI yang sedang menulis
skripsi. Paling tidak sepertiga dari jumlah tersebut menganalisis isu gender,
seksualitas dan feminisme. Kita pun punya berbagai penulis sastra perempuan
kenamaan yang mengangkat isu feminisme; banyak diantaranya pun dilahirkan di
komunitas Salihara. Namun, ketika kesadaran tentang perempuan sudah beberapa
tahun terakhir menjadi perhatian masyarakat dan juga negara, jumlah kekerasan
terhadap perempuan dari tahun ke tahun justru semakin meningkat[i] (mungkin ini karena usaha pencatatan kasus pun
sulit dilakukan).
Ironis juga, ketika negara menjadikan perjuangan perempuan
sebagai agenda nasional[ii], produk-produk hukum pasca 1998 dari Perda Syariah di
Aceh dan di Jawa Barat hingga undang-undang anti-pornografi justru
melanggengkan sistem patriarki dengan menjadikan tubuh perempuan sebagai
obyek yang dikontrol.
Lalu, bagaimana kita menyikapi
kontradiksi ini?
Kita sebenarnya sedang dituntut
mempertanyakan kembali agenda teoretik dan praktik perjuangan perempuan.
Teori lahir bukanlah dalam sebuah vakum; ia adalah produk sosial yang muncul
dalam relasi sosial tertentu. Artinya, pemikiran yang melandasi teori dan
praktik perjuangan perempuan perlu dievaluasi.
Perubahan apa yang sudah kita
miliki dan apa yang tidak? Di mana letak kegagalannya? Untuk itu kita butuh
kritik, melalui alat debat, bukan untuk melawan orang-orang yang mendukung
agenda tersebut tetapi untuk memperbaiki agenda itu sendiri. Karena di mana
lagi intelektual akan berpijak kalau bukan melalui kritik?
Dalam bukunya Minima Moralia[iii] (atau Moral yang Minim), filsuf Theodor Adorno,[iv] melalui kritik dan refleksi akan hidup yang sudah
rusak (damaged life), coba mencari jawaban mengapa dan
bagaimana unsur-unsur kemanusiaan, seperti logika, pengetahuan, seni dan
rasionalitas, justru mendukung kebiadaban itu sendiri. Sehingga, dengan
bercermin pada kasus Sitok dan RW, marilah kita bertanya mengapa dan
bagaimana teori dan gerakan perempuan bisa (berpotensi) menjadi
anti-perempuan?
Lima paradigma dominan
Mari kita mulai dari yang ada.
Berdasarkan apa yang saya temui di media sosial, paling tidak ada lima
paradigma yang mendasari reaksi yang bermunculan seputar kasus Sitok vs. RW:
Paradigma ini paling dominan
khususnya dalam berita-berita di media online maupun cetak. Menjelaskan dan
membuktikan siapa pelaku, siapa korban dan bagaimana perkaranya terjadi
memang sangat penting dalam proses hukum. Namun bila diperhatikan,
pemberitaan pun sarat dengan bias gender. Seringkali pemberitaan tentang RW
berfokus pada penggambaran karakternya sebagai perempuan yang ‘lugu,’
‘tertutup,’ ‘datang dari lingkungan relijius’ dan ‘lemah’. Sementara, Sitok
adalah ‘budayawan ternama’ yang akrab dengan ‘minuman keras,’ dan
‘kebarat-baratan.’ Apakah tidak mungkin kekerasan seksual dilakukan oleh pria
lugu, tertutup dan relijius? Apakah kemudian kita akan meragukan apabila
perkosaan terjadi pada perempuan yang cerdas, sekolah di Eropa, mandiri dan
jago silat? Paradigma yang berasal dari dikotomi ini, terutama tentang
‘perempuan yang pasif’ vs. ‘laki-laki yang aktif’ bisa merugikan korban itu
sendiri. Contohnya, bila RW terlihat sedikit lebih aktif—dia datang ke
kontrakan Sitok, dia mahasiswa, dia sudah dewasa—kita dengan mudah menepis
dugaan adanya kekerasan seksual dengan dalih ‘ah, pasti suka sama suka’.
2. Jejak hubungan seks dan
tubuh perempuan
Ayu Utami, salah seorang penulis
feminis dari komunitas Salihara, menjelaskan ‘apa yang salah dengan ‘suka
sama suka.’ [vi] Menurutnya bahkan ketika seks dilakukan atas dasar
‘suka sama suka,’ hubungan seks meninggalkan jejak yang secara biologis
berbeda antara laki-laki dan perempuan. ‘Tubuh perempuan membawa jejak
persetubuhan lebih lama. Bahkan bisa selama-lamanya. Ia bisa menerima benih
dan menjadi hamil. Maka alamiah juga jika perempuan lebih tidak cepat lupa.’
Asumsi ini mengandaikan dua hal. Pertama, secara lahiriah laki-laki dan
perempuan berbeda, sehingga penyelesaian masalah harus dilakukan dengan
menghormati ‘perspektif perempuan.’ Kedua, penyelesaian dilakukan secara
personal di ruang privat, yaitu seputar hubungan seks: ‘Hubungan seks harus
dimaknai lebih panjang. Di dalamnya termasuk bagaimana kedua pihak
menyelesaikan jejak emosional dan psikologis peristiwa dengan cara yang
beradab dan manusiawi.’ Kita akan bahas sebentar lagi mengapa kedua asumsi
ini bermasalah.
3. Kasus Sitok tidak ada
hubungannya dengan Salihara
Paradigma ini juga mengasumsikan bahwa
perbuatan Sitok adalah masalah pribadinya sendiri tidak ada hubungannya
dengan institusi di mana dia bekerja dan mendapatkan nama besarnya. Paradigma
ini berasumsi bahwa institusi dan nilai-nilai yang dibawanya selalu netral.
4. ‘Serahkan pada hukum’;
‘serahkan perkara ini kepada proses yang adil.’
Paradigma ini berasumsi bahwa
‘hukum’ adalah institusi yang ‘adil,’ dengan menyerahkan pada hukum, keadilan
akan ditegakkan. Sama dengan poin 3, paradigma ini berasumsi bahwa hukum
adalah institusi yang netral.
5. ‘Kekerasan perempuan
berakar pada budaya patriarki’
Saras Dewi, pendamping RW, menulis
dalam blognya bahwa ketidakadilan yang dialami oleh RW bahkan dalam proses
penegakan hukum mencerminkan bahwa ‘Kita masih hidup di dalam masyarakat yang
phalogosentrik, logika, argumen dan hukumnya masih dikuasai oleh budaya
partriarki [sic!)].’[vii] Argumen ini berangkat dari asumsi bahwa sistem
patriarki adalah sumber dari permasalahan kekerasan perempuan. Saya akan
jelaskan bagaimana pandangan ini tidak cukup untuk menjelaskan permasalahan.
Perjuangan perempuan dan
politik identitas
Perjuangan perempuan seringkali
didasarkan pada asumsi ini. Permasalahan penindasan perempuan berasal dari
adanya sistem patriarki, yaitu sistem sosial di mana laki-laki merupakan
otoritas inti dan utama dalam organisasi masyarakat. Dalam sistem patriarki,
laki-laki mendominasi dan mengontrol perempuan dengan menjadikan tubuhnya
obyek seksual dan obyek kuasa baik melalui ruang fisik, kerja, budaya maupun
representasi. Asumsi ini berdasar pada dua premis, yaitu adanya sistem
patriarki dan keberadaan sistem tersebut datang dari dikotomi antara
laki-laki vs. perempuan (yang menindas vs. yang ditindas).
Kita mulai dengan dikotomi
laki-laki vs. perempuan (dan potensinya untuk menjadi ‘yang menindas vs. yang
ditindas’) yang diasumsikan ada berdasar perbedaan lahiriah. Kalau memang
secara biologis, laki-laki secara otomatis lahir dengan potensi sebagai agen
dominasi dan perempuan sebagai korban, apa kemudian jalan keluarnya?
Pandangan lahiriah ini hanya mengajak kaum laki-laki untuk
memperlakukan kaum perempuan dengan lebih baik, ‘be nicer to women!’ atau ‘hargai perspektif
perempuan!’ Sementara bagi kaum perempuan jalan keluarnya adalah dengan
menjadi ‘perempuan,’ ‘tuntut para lelaki untuk menghormatimu sebagai
perempuan!’ Asumsi ini mendasari perjuangan perempuan pada identitasnya
sebagai ‘perempuan.’ Perjuangan berdasarkan identitas ini menurut saya berat
sebelah karena hanya melandasi perjuangan perempuan pada politik identitas.
Padahal, politik identitas dapat berbalik merugikan perempuan itu sendiri.
Contohnya, jalan keluar yang
ditawarkan politik identitas bagi perempuan adalah dengan merayakan tubuhnya,
merayakan kebebasan berekspresi dan kebebasan untuk diakui di ruang publik
sebagai ‘perempuan,’ sementara laki-laki dituntut menghormati identitas
perempuan tersebut. Namun, sejauh mana ini menjadi parameter kesuksesan
perempuan? Dalam kontes Miss World misalnya, kita sudah biasa mendengar bahwa
para kontestan dituntut untuk memiliki 3B–Brain, Beauty and Behavior (plus menjadi solehah dalam konteks Miss World
Muslimah). Perempuan dituntut untuk ‘memiliki segalanya.’ Dia harus tampil
cantik, memiliki pengetahuan luas dan berperilaku baik. Apakah ada tuntutan
yang sama, yaitu ganteng, cerdas dan berprilaku baik, untuk para laki-laki?
Tuntutan untuk memiliki segalanya pun terlihat dari berhasilnya kaum
perempuan untuk bekerja dan mendapat upah yang biasanya lebih sedikit dari
laki-laki. Tapi ini artinya, para perempuan diharuskan juga untuk mengurus
anak, bekerja 8 jam sehari dan menjaga moral dan keutuhan keluarga. Sejauh
manakah kesuksesan perjuangan atas nama identitas ‘perempuan’ sudah membawa
kita?
Kembali ke RW, politik identitas
ini termanifestasi dalam bawah sadar kolektif kita (yang terefleksikan di
berbagai komentar dan media) yang seakan-akan ‘berharap’ bahwa RW adalah
perempuan ‘lugu,’ ‘relijius,’ ‘baik-baik’ dan ‘lemah’ untuk menguatkan
statusnya sebagai ‘perempuan korban.’ Apakah kalau RW memiliki karakter
sebaliknya kita tidak akan membantu dia? Ini sama sekali bukan untuk
meremehkan kebenaran karakter tersebut atau pengalaman pahit yang dialami RW.
Kekerasan seksual struktural dirasakan oleh individu korban dalam realitas
yang paling personal. Tapi poin saya adalah ini. Penekanan berdasarkan moral
dan karakter personal ini tidak membawa kita kemana-mana.
Alih-alih dengan
mudah dijawab dengan penyelesaian moral seperti ‘damai,’ ‘maaf,’ ‘tobat,’
‘selesaikan dengan jalan kekeluargaan’ dll. Ini bukanlah penyelesaian. Ini
merugikan baik bagi RW sendiri maupun korban-korban kekerasan seksual
lainnya. Kenapa? Karena seakan-akan penyelesaian penindasan atas perempuan
ketika dilihat dari logika politik identitas ‘perempuan’ dapat diatasi dengan
menjawab kebutuhan personal ‘keperempuanan’-nya, yang dalam kasus RW adalah
kebutuhan sebagai ibu dan janin yang dikandungnya.
Melihat penindasan perempuan dari
identitasnya sebagai ‘perempuan’ saja, apalagi yang berangkat dari dikotomi
lahiriah laki-laki vs. perempuan jauh dari cukup. Sebab, akan berat sebelah
ketika sebenarnya kita dihadapkan dengan kenyataan bahwa RW adalah perempuan dan juga manusia.
Sistem patriarki dan
kapitalisme
Ini membawa kita ke poin kedua,
yaitu bahwa sistem patriarki merupakan sumber permasalahan. Penjelasan ini
menurut saya kurang lengkap, karena segera muncul pertanyaan: apa yang
mengkondisikan lahirnya sistem patriarki? Dengan kata lain, kenapa dan bagaimana
patriarki lahir? Pertanyaan ini penting karena suatu landasan pemikiran perlu
dievaluasi berdasarkan kenyataan historis dan sosialnya. Kalau landasan
teoretis sistem patriarki ahistoris dan asosial bagaimana mungkin kita
menjelaskan strategi pembebasan atas penindasan perempuan? Namun, pertanyaan
ini perlu penelitian yang mendalam sehingga tidak akan saya jawab di
sini—semoga para ahli sejarah perempuan dapat ikut mengklarifikasinya.
Proposisi yang saya ingin ajukan adalah bahwa penindasan perempuan dalam
sistem patriarki telah berjalan bersamaan dengan eksploitasi manusia dalam
kapitalisme.
Secara historis, kita melihat
bahwa alienasi manusia dalam relasi sosial yang berpijak pada logika kapital
terwujud dalam berbagai bentuk penindasan dan eksploitasi—termasuk penindasan
perempuan, rasisme, kolonialisme dan imperialisme. Sistem patriarki
di(re)produksi atau diciptakan dalam sistem kapitalisme karena membantu
proses akumulasi laba. Namun, bisa juga sistem patriarki ‘dihancurkan’ demi
proses akumulasi laba tersebut. Salah satu kesuksesan terbesar feminisme
adalah masuknya perempuan ke ruang kerja yang sebelumnya didominasi
laki-laki. Tidak bisa kita tutup mata dari fakta: sistem kapitalisme itu sendiri telah menjadi feminis! Di balik kenyataan bahwa
masih banyak perempuan bekerja di kantor-kantor, mereka harus mempekerjakan
perempuan lain untuk menjadi pembantu atau nanny mengurus
tugas-tugas rumah tangga biasanya dengan upah yang rendah. Sekarang,
perempuan pun mengeksploitasi perempuan.
Apakah dengan kontradiksi ini
penindasan terhadap perempuan menjadi isu nomor dua dari perjuangan kelas?
Tidak. Karena perjuangan kelas justru harus menjadikan berbagai bentuk
penindasan tersebut sebagai agenda pembebasan kelas itu sendiri. Kelas
bercorak dengan pengalaman-pengalaman individunya yang tertentu (particular) tetapi kita semua berhadapan dengan
sistem eksplotatif yang satu (universal).
Patriarki, kolonialisme, imperialisme dan kapitalisme saling berkelindan dan
membuat satu sistem yang eksploitatif dan menindas manusia.
Dalam kasus Sitok vs. RW, jelas
bahwa Sitok menggunakan modal sosial dan budayanya, yaitu sebagai penyair,
budayawan kenamaan dan anggota sebuah komunitas terkemuka, dalam hubungan
profesionalnya dengan RW. Di sini, meminjam Pierre Bourdieu, modal
non-ekonomi seperti budaya, jaringan dan perkenalan menjadi modal tersendiri
yang memberikan akses seseorang pada modal ekonomi. Kesenjangan sosial pun
dapat diukur dari kesenjangan kepemilikan dan akses pada modal sosial dan
budaya.[viii] Bukankah RW datang berdasarkan undangan untuk
bertemu di Salihara, walau kemudian bertemu di kontrakan Sitok? Bukankah RW
menghadap Sitok untuk membahas ‘tugas penelitian sastra,’ yang memang Sitok
seorang sastrawan atau ahli di bidang tersebut?[ix] Korban kedua yang melaporkan pun bertemu Sitok untuk
‘proyek sastra.’[x] Dalam hal ini institusi-institusi di mana Sitok
bekerja, yaitu Salihara, sastra Indonesia dll, tidak serta merta netral.
Institusi tersebut berperan memberi ‘modal sosial’ dan ‘modal budaya’ bagi
Sitok. Terdapat relasi kerja antara Sitok dan RW (serta korban lainnya) dan
dalam relasi tersebut sudah ada ketimpangan dalam derajat ‘modal sosial’ yang
dimiliki Sitok sebagai sastrawan ternama dan RW yang hanya mahasiswa S1.
Apakah ketimpangan derajat ini berperan dalam kekerasan seksual perlu
dibuktikan melalui jalur hukum. Namun, ketimpangan derajat ‘modal sosial’ ini
cukup untuk menunjukkan pada kita bahwa kasus kekerasan seksual, terutama
kasus Sitok vs. RW, bukanlah permasalahan biologis yang sifatnya personal dan
privat saja. Permasalahannya struktural dan sosial sehingga membutuhkan
penyelesaian publik dan politik.
Maka, ketika pemberitaan
mulai surut…
Selain mendampingi proses hukum yang adil bagi RW, kita
pun harus mengubah hukum itu sendiri dan elemen-elemen ideologis di dalamnya.
Jelas hukum di dalam sistem yang menindas tidak dapat berperan ‘netral’
(lihat wawancara dengan pengacara RW di sini). Sehingga, karena kekerasan seksual berakar pada
permasalahan struktural, kita membutuhkan dua hal. Pertama, adalah perubahan yang radikal mengubah
sistem sampai ke akar-akarnya. Institusi pendidikan, rumah tangga, agama,
negara, hukum, dan moral. ‘Moral yang minim’ bukan hanya berarti minimnya
‘moral kemanusiaan’ yang diproduksi struktur yang menindas, tetapi juga
dengan itu kita tidak dapat berpijak pada moralitas sebagai agen perubahan. Kedua, agar perubahan tersebut tercapai, kita tidak
bisa hanya berfokus pada tubuh perempuan, simbol dan representasinya. Kita
butuh perjuangan kolektif. Permasalahannya bukan hanya
keadilan bagi RW saat ini, tetapi bagaimana di masa depan RW, bayi yang
dikandungnya, korban kekerasan seksual lain dan kaum perempuan dapat
mengekspresikan hidupnya sebagai perempuan dan manusia tanpa terjebak dalam
relasi (kekerasan) struktural yang berakar pada logika yang eksploitatif dan
menindas. Kalau kita diam, kesalahan sejarah akan terulang. Maka mulai dari
sekarang, marilah kita mengorganisir kekuatan. ●
|
KEPUSTAKAAN
[i] Lihat: “Kekerasan Seksual Naik 2 Kali Lipat”, Minggu, 21
April 2013 dihttp://www.tempo.co/read/news/2013/04/21/064474839/Kekerasan-Seksual-Naik-2-Kali-Lipat; dan juga http://kekerasanseksual.komnasperempuan.or.id/main.
[ii] Bukankah kita juga punya Kementerian Pemberdayaan
Perempuan dan perlindungan Anak? Coba lihat visi dan tujuan kementerian ini
yang mewakili agenda negara dalam hal pemberdayaan perempuan:
http://www.menegpp.go.id/v2/index.php/tentangkami/visimisidantujuan.
[iii] Adorno, Theodor W., and E. F. N. Jephcott. 1978. Minima moralia: reflections from damaged life. London:
Verso.
[iv] Theodor Adorno adalah seorang filsuf dan sosiolog di
Institut für Sozialforschung (atau Institute for Social Research) di Frankfurt,
Jerman. Bersama Max Horkheimer, ia mengembangkan pemikiran-pemikiran Marx yang
dicoba diintegrasi dengan pemikiran psikoanalisis Freud. Bersama dengan
pemikir-pemikir lain di jamannya ia dikenal sebagai anggota “Frankfurt School.”
Karena ancaman rezim pemerintah Nazi yang saat itu baru saja terbentuk,
institusi di Frankfurt ini ditutup pada tahun 1933 dan seperti beberapa anggota
yang lain yang berdarah Yahudi, Adorno beremigrasi ke Amerika. Selain Minima Moralia, bersama Horkheimer ia menulis
dialektika pencerahan yang mempertanyakan bagaimana pencerahan dalam sejarahnya
berbalik menjadi anti-pencerahan,Dialectic of enlightenment.
[New York]: Herder and Herder (1972).
[v] Sebuah analisis tentang pelaku vs. korban dari kacamata
framing dilakukan oleh Wisnu Prasetya di blognya berjudul “Ketika media
membingkai SS”, 4 Desember 2013 di sini:
http://wisnuprasetya.wordpress.com/2013/12/04/ketika-media-membingkai-ss/.
[vi] Ayu Utami, “Mengapa kita tak pantas lagi bilang suka sama
suka”, http://ayuutami.com/mengapa-kita-tak-pantas-lagi-bilang-suka-sama-suka/.
[viii] Penjelasan tentang
modal sosial dan modal budaya dapat dilihat di: Pierre Bourdieu dan Passeron,
“Cultural Reproduction and Social Reproduction.” Dalam Richard K. Brown (Ed.),Knowledge, Education and Cultural Change. London:
Tavistock.
[ix] Lihat:
http://www.metrotvnews.com/metronews/read/2013/11/29/5/198025/RW-Mengaku-Pertama-Kali-Disetubuhi-Sitok-Srengenge-Maret-2013.
[x] Lihat:
http://www.kapanlagi.com/showbiz/selebriti/mahasiswi-bandung-juga-ngaku-dicekoki-miras-sitok-srengenge-919fe4.html.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar