Korupsi
Mengoyak Kemanusiaan
Benni Setiawan ; Dosen di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY),
Peneliti Maarif
Institute for Culture and Humanity
|
SINAR
HARAPAN, 28 Desember 2013
Indonesia dalam cengkeraman koruptor. Inilah hasil survei
yang dilakukan Transparency International 2013. Berdasarkan hasil survei
terhadap 177 negara, Indonesia mendapatkan skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK)
yang sama dengan tahun 2012, yaitu 32.
Secara global, Indonesia masuk dalam 70 persen
negara-negara yang memiliki skor IPK di bawah 50. Sementara itu, di regional
Asia Pasifik, Indonesia masuk dalam 63 persen negara-negara yang memiliki
skor IPK di bawah 50. Meski memiliki skor yang sama dengan tahun lalu,
Indonesia naik empat peringkat di antara negara-negara lain, dari 118 menjadi
114.
Survei TII menyebutkan, dalam skala korupsi menurut
kelembagaan di Asia Tenggara, yang paling tinggi melakukan korupsi menurut
responden adalah institusi kepolisian dengan jumlah 3,9 persen. Kemudian,
partai politik 3,6 persen dan ketiga diisi pejabat publik yang dianggap korup
dengan 3,5 persen.
Sementara itu, peradilan sebanyak 3,4 persen. Parlemen
dianggap korup oleh 3,3 persen responden. Di urutan berikutnya ada bidang
bisnis dengan 3,1 persen. Bidang kesehatan dan pendidikan dianggap korup oleh
2,9 responden. Mengapa institusi penegak hukum menjadi contoh buruk dalam
perilaku terkutuk korupsi?
Kaburnya Kemanusiaan
Korupsi yang menggerogoti jantung penegak hukum seakan
kontras dengan seruan hukum (law)
agar berlaku adil dan memutus perkara berdasarkan pertimbangan keadilan.
Ia pun jauh dari semangat dan seruan agama untuk menjauhi
perbuatan keji (kotor) dan munkar (mengambil hak manusia lain); melarang
manusia memakan harta anak yatim; dan hidup hemat, tidak boros, bersahaja,
dan tidak menyombongkan diri dengan anak dan harta.
Mereka semua mengaku beragama dan menjalankan ritus
keagamaan. Namun, perilaku mereka jauh dari semangat humanisme agama.
Lebih lanjut, apa yang telah tertulis di dalam kitab suci
hanya sebagai bacaan harian yang tidak pernah menyentuh realitas nyata. Kitab
suci dibaca dan dikutip sebagai penguat atas perilaku yang tidak benar dan
menguatkan gagasan untuk memerintah secara absolut. Mereka membaca, tetapi
hanya sampai pada tenggorokan, hilang sebelum menyentuh kalbu.
Apa yang terjadi di atas menunjukkan seakan tidak ada
korelasi positif antara agama sebagai keyakinan hidup dan aktivitas manusia
di dunia. Manusia jauh dari semangat atau roh agama yang diyakini sebagai
kebenaran dan penyelamat di kehidupan kelak.
Franz Magnis Suseno (2009) menyatakan, orang maupun
lembaga yang korup tidak dapat membedakan antara yang benar dan yang salah.
Itu fatal. Garis jelas antara kemanusiaan yang wajar dan sikap penjahat
menjadi kabur. Orang menjadi terbiasa menipu, mencuri, main curang, dan tidak
bertanggung jawab.
Jika institusi-institusi mulia saja tidak mampu membedakan
antara yang benar dan yang salah, bagaimana kehidupan berbangsa dan bernegara
di Indonesia yang mengakui adanya Ketuhanan Yang Maha Esa dan setiap warga
negara berhak menjalankan agama dan keyakinannya masing-masing?
Semua hanya pengakuan di lisan dan dalam aturan tertulis.
Aturan formal menjadi menara gading yang tidak mampu terwujud dalam kehidupan
nyata. Hal ini menjadi penanda semakin gersangnya kehidupan manusia.
Manusia tak ubahnya seperti serigala yang memangsa semua
makhluk dalam keadaan lapar (homo homini lupus). Manusia jauh dari semangat
saling mengasihi, menyayangi, menjadi teladan bagi orang lain, dan berbuat
baik guna mewujudkan keadaban (homo homini socius).
Pemaknaan
Guna mewujudkan hal tersebut, Abdul Munir Mulkhan (2007)
menilai pemaknaan jihad al-nafs (jihad dengan jiwa) yang lebih besar daripada
jihad dalam arti qital (perang) tampaknya perlu dipertimbangkan. Pengembangan
good governance, gerakan pemberantasan korupsi, dan perusakan martabat
kemanusiaan lainnya di negeri berpenduduk mayoritas muslim ini sama
pentingnya dengan perlawanan terhadap sekularisme.
Korupsi dan praktik pemerintahan (berikut praktik
legislasi) yang tidak adil mungkin perlu ditempatkan sebagai musuh terbesar
gerakan keagamaan abad ini.
Dalam masyarakat yang menyatakan taat kepada ajaran Tuhan,
good governance memerlukan sejumlah konsep ketuhanan dan kemanusiaan yang
kompetibel. Tanpa hal itu, dengan mudah hukum Tuhan dipakai untuk menghindari
sanksi pelanggaran hukum publik. Sebaliknya, hukum publik dipakai untuk
memutihkan sanksi pelanggaran hukum Tuhan.
Oleh karena itu, perlu dijernihkan pelanggaran atas hukum
publik berarti juga melanggar hukum Tuhan. Inilah arti fungsional dari wihdah
al-wujud (manunggaling kawula Gusti) bukan dalam pengertian seseorang berada
pada posisi superhuman yang bebas dari hukuman publik.
Superhuman (malaikat) perlu diberi arti kesadaran. Manusia
bertindak lebih dari hasrat kemanusiaan yang ditunjukkan pada perilaku
menjadikan tugas duniawi bagi tugas ukhrawi, seperti malaikat yang tak butuh
makan, minum, istri, dan jabatan, bukannya tidak makan minum, berkeluarga,
dan memegang jabatan.
Namun, semuanya itu diabdikan bagi kepentingan publik.
Kepentingan publik menjadi mantra bagi kehidupan
kemanusiaan yang beradab. Inilah tujuan kebangsaan yang telah dirumuskan
foundhing fathers and mothers. Kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan
rasa penyerahan diri kepada Tuhan sebagai penuntun dan pertanggungjawaban moral
serta pemanusiaan manusia sebagai penghargaan sesama makhluk hidup.
Akhirnya, korupsi merupakan musuh bersama. Korupsi telah
membentengi manusia hidup wajar penuh dengan sikap kedewasaan (toleransi,
humanisasi, liberasi). Oleh karena itu, pelaku korup wajib diasingkan dari
kehidupan atau komunitas kemanusiaan yang beradab. Pasalnya, koruptor telah
menegasikan diri sebagai “penguasa” dan tidak mengakui kekuasaan Tuhan
sebagai penguasa jagat dan menafikan kehidupan makhluk hidup. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar