Minggu, 29 Desember 2013

Tahun Baru

Tahun Baru

Bre Redana  ;   Kolumnis “Catatan Minggu” Kompas
KOMPAS,  29 Desember 2013


  
Tahun baru segera tiba. Banyak yang merasa, waktu berjalan begitu cepat, time flies. Ke mana saja hari? Tiba-tiba sudah akhir tahun dan di depannya tahun baru lagi.

Ah, kita semua sebenarnya ditelan kecepatan. Kecepatan adalah gejala paling menonjol dari kehidupan mutakhir kita. Kita semua pemuja kecepatan. Sesuatu yang lambat, kita keluhkan: internet lelet banget, filmnya lamban jelek, masakannya enak tapi nunggunya lama, jawabannya tidak seketika terlalu mikir, kereta pelan tak sampai-sampai....

Semua orang ingin lebih cepat dan lebih cepat lagi. Kerja lebih cepat, terhubung lebih cepat, berpikir lebih cepat, ngomong lebih cepat, bercinta lebih cepat, hamil lebih cepat—sampai tak sempat berpikir, hamil ini karena terpaksa atau suka bin senang?

Kecepatan dan konsumerisme jalin-menjalin menjadikan apa saja terasa kurang. Ada midnite shopping, liburan, clubbing, nonton bioskop, pesta, berselingkuh, ditambah entah apa lagi. Waktu tetap saja terasa cupet. Padahal, pendidikan anak sudah diserahkan kepada babu. Hidup manusia modern adalah perjalanan dari kekecewaan ke kekecewaan karena apa yang ingin dijalani dan apa yang bisa dijalani makin lebar jaraknya.

Penghayatan kita terhadap waktu bukanlah sebagai siklus. Waktu dihayati sebagai sesuatu yang linear: melesat cepat ke depan. Bersama kecepatan pula kemudian sejumlah imperatif kehidupan hilang. Taruhlah di antaranya proses. Proses diganti sukses, yang datangnya kalau bisa seseketika mungkin. Pokoknya gampang. Tinggal petik.

Bagaimana caranya? Diomongkan. Mengalirlah kutipan, uraian, fasih, diungkapkan sambil mesem-mesem, seolah hidup melulu gejala kata-kata, bukan pelaksanaan segenap aktivitas diri yang di dalamnya termasuk pikiran, tubuh, dan spiritualitas manusia. Bahwa sebagaimana gejala alam, totalitas manusia tak bisa digenjot kecepatannya semudah kata-kata para penganjur produktivitas industri kapitalis. Pret.

Ada sesuatu yang sifatnya alamiah. Tidak ada bayi yang dengan seketika bisa disuruh tegak berdiri dan langsung berlari. Harus terjadi pengondisian tubuh terlebih dahulu, sebelum tubuh bisa diperintah otak untuk melakukan gerak-gerak motorik. Atau sebaliknya, pada fase berikut, kadang dibutuhkan pengondisian otak, untuk tidak terlalu mengintervensi tubuh. Kalau otak terlalu mengintervensi tubuh, orang jadi sulit tidur, stres, mau bercinta loyo karena masih mikirin anjlognya harga saham.

Sejak awal, modernitas memang berkecenderungan mereduksi gejala tubuh. Manusia gerak menjadi manusia duduk. Kota dan metropolitan lahir.
Bersama perkembangan urbanisme, manusia terpisahkan dari alam. Manusia urban tidak mengolah alam. Mereka secara perlahan mulai lupa keterkaitannya dengan alam yang menghidupinya.

Hinterland, desa-desa di sekeliling kota sumber daya pertanian, dilupakan keberadaannya. Dalam globalisasi, keterkaitan kota-desa kian hilang dari memori. Soalnya, jarak antara produsen bahan makanan dengan piring orang kota kian jauh. Beras yang dimakan orang Jakarta berasal dari Thailand. Jeruk dari China. Kopi dari Brasil.

Kalau orang kota kembali ke desa, keinginannya bukan untuk mengolah alam, melainkan mengonsumsi romantisme desa. Banyak teman saya membeli tanah di desa-desa di kota lamanya, sebelum nantinya hengkang, karena kenyataan tidaklah seperti kenangan. Tidak tahu lagi, apa yang harus diperbuat dengan kesenyapan. Sudah terlalu terbiasa dengan kecepatan, hiruk-pikuk, dan gebyar-gebyar palsu.

Di akhir tahun seperti sekarang, kadang sulit saya menjawab pertanyaan orang: di mana tahun baru? Mau apa?

Pasti akan dianggap main-main kalau saya jawab seperti jawaban Guru: saya di sini saja. Karena saya di sini maka saya tidak di sini. Saya tidak melakukan apa-apa. Karena saya tidak melakukan apa-apa, maka saya melakukan apa-apa.... ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar