PROSPEK EKONOMI
2014
Kemandirian yang Masih Sebatas Angan
Evy Rachmawati ; Wartawan Kompas
|
KOMPAS,
25 Oktober 2013
IRONI terus terjadi di negeri
ini. Kelimpahan beragam sumber daya energi tidak dikelola dengan baik untuk
memenuhi kebutuhan energinya secara mandiri. Yang terjadi ketergantungan
terhadap minyak bumi yang mahal justru makin tinggi.
Sejauh ini akses
terhadap energi di beberapa tempat masih rendah. Menurut Direktorat Jenderal
Kelistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, pada 2012 baru 75,8
persen dari total jumlah rumah tangga di Indonesia yang berlistrik. Bahkan,
PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) mencatat rasio elektrifikasi di
sejumlah provinsi di bawah 60 persen, antara lain Nusa Tenggara Timur, Nusa
Tenggara Barat, dan Papua.
Dalam 20 tahun
terakhir, permintaan energi di Indonesia tumbuh pesat. Mengutip data
Kementerian ESDM, pada 1990 permintaan energi baru 248 juta setara barrel
minyak (SBM) dan pada 2000 konsumsi energi telah mencapai 739,5 juta SBM.
Penggunanya adalah industri (44,2 persen), transportasi (40,6 persen), dan
rumah tangga (11,4 persen). Hal ini seiring pesatnya laju pertambahan jumlah
penduduk dan pertumbuhan ekonomi.
Konsumsi bahan bakar
minyak kian tinggi seiring pertumbuhan jumlah kendaraan. Gabungan Industri
Kendaraan Bermotor Indonesia mencatat, penjualan mobil di Indonesia pada
Januari-September 2013 mencapai 908.279 unit atau lebih tinggi daripada
periode sama tahun sebelumnya yang sebanyak 816.317 unit. Menurut Asosiasi
Industri Sepeda Motor Indonesia, penjualan sepeda motor di Tanah Air pada
Januari-Agustus 2013 mencapai 5,1 juta unit.
Ketergantungan pada minyak
Situasi ini membuat
bangsa Indonesia lapar energi. Akibat kenaikan konsumsi BBM sementara
produksi minyak mentah merosot, volume impor minyak kian tinggi. Apalagi
sejak 1994, tidak ada pembangunan kilang baru. Kapasitas kilang PT Pertamina
(Persero) 1,05 juta barrel per hari (bph), tetapi kemampuan produksinya hanya
700.000 bph. Adapun kebutuhan BBM nasional mencapai 1,4 juta bph.
Satuan Kerja Khusus
Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas mencatat, produksi minyak triwulan
III-2013 hanya 829.000 bph, terendah dalam sejarah produksi minyak. Indonesia
pernah mengalami puncak produksi 1,6 juta bph pada 1977 dan 1995. Minimnya
kegiatan eksplorasi mengakibatkan cadangan minyak hanya 3,6 miliar barrel
atau 0,2 persen dari total cadangan minyak dunia dan diperkirakan habis 10-11
tahun lagi.
Impor minyak mentah
dan produk BBM yang terus naik menyebabkan defisit perdagangan karena
pemerintah mengguyur subsidi BBM. Menghadapi Pemilu 2014, subsidi kemungkinan
tetap tinggi karena partai-partai politik akan berlomba-lomba memikat rakyat.
Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2013, pagu anggaran
subsidi energi Rp 299,8 triliun yang terdiri dari subsidi BBM Rp 199,9
triliun dan subsidi listrik Rp 99,9 triliun.
Menurut Dewan Energi
Nasional (DEN), dalam bauran energi pada 2010, porsi minyak 49 persen, gas
bumi 22 persen, batubara 24 persen, dan energi baru terbarukan 5 persen.
Dalam skenario bauran energi nasional 2025 yang disusun DEN, porsi minyak
ditargetkan turun menjadi 25 persen, gas 22 persen, batubara direncanakan
naik menjadi 30 persen, dan energi baru terbarukan diharapkan 23 persen.
Namun, Bank
Pembangunan Asia (ADB) memprediksi, setelah tahun 2030 Indonesia akan makin
bergantung pada minyak bumi dan terus mengekspor batubara. Indonesia juga
akan jadi importir gas alam jika tidak ditemukan cadangan gas baru yang
signifikan. Menurut Lembaga Kajian Ekonomi Pertambangan dan Energi,
ketergantungan pada minyak terjadi akibat ketidakjelasan kebijakan
pengendalian BBM dan lambatnya konversi BBM ke gas.
Diversifikasi energi
Sebenarnya gas
merupakan sumber energi yang bisa diandalkan, tetapi
eksploitasinya perlu
teknologi dan biaya tinggi. Dengan cadangan 104,25 triliun kaki kubik atau
1,7 persen dari cadangan gas dunia, Indonesia terus mengekspor gas karena
terikat kontrak dan ketidaksiapan infrastruktur di dalam negeri. Contohnya,
sejak 1970-an, gas alam cair (LNG) dari Kilang Bontang, Kalimantan Timur,
diekspor ke Jepang, dan LNG dari Kilang Tangguh dijual murah ke China karena
ada batas atas harga dalam kontrak.
Sejauh ini pemakaian
gas sebagai sumber energi di dalam negeri terbatas. Pengalihan pemakaian BBM
ke gas untuk transportasi lambat lantaran keterbatasan infrastruktur gas,
baik jaringan pipa maupun stasiun pengisian bahan bakar gas. Pasar BBG juga
belum terbentuk akibat lemahnya koordinasi antar-kementerian dan dengan produsen
mobil dalam hal pemasangan alat pengonversi pada kendaraan.
Persoalan lain adalah
dominasi asing dalam pengelolaan wilayah kerja yang tersebar dari Sabang di
barat sampai Papua di timur Nusantara membuat kedaulatan negeri ini atas
sumber daya migas dan tambang rawan. Dari semua blok migas, porsi operator
nasional hanya 25 persen dan 75 persen dikuasai asing. Direktorat Jenderal
Migas Kementerian ESDM menargetkan porsi operator oleh perusahaan nasional
mencapai 50 persen pada 2025.
Sementara itu, batubara
diperlakukan sebagai komoditas, bukan sumber energi sehingga Indonesia jadi
salah satu eksportir batubara terbesar dunia. Dari total produksi batubara
nasional 2012 sebanyak 386 juta ton, porsi domestik hanya 82 juta ton.
Padahal, mengacu kajian statistik British Petroleum, Indonesia hanya memiliki
cadangan batubara terbukti 5,5 miliar ton atau 0,6 persen dari cadangan
batubara dunia. Menurut Badan Geologi Kementerian ESDM, cadangan batubara
terbukti dan potensial Indonesia 29 miliar ton.
Selain itu, potensi
energi baru terbarukan belum tergarap dengan baik, misalnya panas bumi.
Dengan potensi 28.500 megawatt (MW), kapasitas terpasang pembangkit listrik
tenaga panas bumi (PLTP) baru 1.340 MW. Beberapa proyek PLTP macet karena
diprotes masyarakat setempat dan banyak aturan yang harus ditaati, termasuk
perizinan penggunaan kawasan hutan dari Kementerian Kehutanan.
Di tengah tekanan
defisit neraca perdagangan, potensi bahan bakar nabati mulai mendapat
perhatian. Pemerintah telah mewajibkan pencampuran biodiesel 10 persen ke
dalam solar dan serta menargetkan kandungan biodiesel 20 persen pada 2025.
Agar bisa berkelanjutan dan tidak mengulang kegagalan pengembangan bioetanol
dari tanaman jarak, tata niaga biodiesel dari hulu sampai hilir perlu
dibenahi.
Setumpuk masalah
energi ini jadi tantangan ke depan. Saatnya menyehatkan portofolio energi
dari ketergantungan pada bahan bakar bernilai tinggi, berfluktuasi harganya,
dan mencemari lingkungan seperti minyak dengan beralih ke gas dan energi lain
yang murah, bersih, dan ramah lingkungan, disertai efisiensi penggunaan
energi. Ini perlu ketegasan dan konsistensi menjalankan kebijakan, tidak
hanya bermimpi kemandirian energi di Tanah Air akan mewujud. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar