Bangsa
Korup
Toeti Prahas Adhitama ; Anggota Dewan Redaksi Media Group
|
MEDIA
INDONESIA, 27 Desember 2013
BENARKAH
kita salah satu bangsa terkorup di dunia? Pertanyaan ini terpulang kepada
kita sendiri untuk menjawabnya. Mengingat fakta akhirakhir ini dan bahwa
korupsi sudah merebak sejak dahulu kala dan menyebar ke semua masyarakat, mungkin
saja asumsi itu benar. Walaupun jiwa korup sebenarnya tumbuh pada setiap
manusia sejak lahir karena pada dasarnya manusia mengutamakan kepentingan
pribadi, egosentris, demi kelangsungan hidupnya. Korupsi bukan hanya merambah
lingkungan masyarakat, tetapi juga lingkungan keluarga. Selingkuh uang biasa
terjadi, apa pun alasannya.
Sejarah peradaban mencatat nama
banyak tokoh besar dari berbagai kalangan yang menyatakan perang terhadap
korupsi. Ada Imam Ahmad Ibnu Hamdal (abad 7 M) dan Abdul Rahman Ibnu Khaldun
(abad 14-15 M), tokoh-tokoh Islam yang selama hidupnya dimusuhi penguasa
negara karena sikap antikorupsi. Ada Wang An Shih, reformis China (abad 11
M), yang mengadakan penelitian dan menyimpulkan bahwa korupsi timbul akibat
kelemahan moral dan hukum. Di Indonesia, sekitar tiga dasawarsa yang lalu,
Prof Soemitro Djojohadikusumo pernah menyatakan bahwa terjadi kebocoran 30%
dalam pengeluaran negara. Artinya, ada kecurigaan terjadi korupsi sebesar itu
di kalangan pejabat negara.
Daftar tokoh sejarah yang
antikorupsi maupun lembaga pemberantasannya cukup panjang. Mungkin hanya
orang-orang primitif yang tidak mengenal korupsi. Semakin canggih pikiran
manusia, semakin canggih pula rasionalisasinya. Berbagai dalih dipakai untuk
tidak terlalu mengutuknya. Buku The
Politics of Scarsity (1962), tulisan ahli ilmu politik Amerika Myron
Weiner (1931-1999), antara lain menyebutkan bahwa korupsi tidak selalu
mengganggu perkembangan politik dan ekonomi. Sogokan atau suap malahan
melancarkan jalannya bisnis pengusaha. Suap membuka sikap ramah dan fleksibilitas.
Menghapus korupsi
Korupsi
memang gejala buruk yang harus diusahakan strategi pemberantasannya. Antara
lain dengan tidak henti-hentinya menegakkan kewaspadaan publik lewat
pendidikan dan penyempurnaan etika masyarakat, pembenahan dan penguatan
hukum, serta yang sedang ramai dibicarakan akhir-akhir ini adalah peningkatan
besaran hukuman. Di sisi lain, pemerintah pun mungkin perlu mengurangi
kompleksitas peraturan yang menghambat kelancaran administrasi bisnis dan ekonomi.
Sejak NKRI berdiri, kesadaran
tentang bahaya korupsi sudah ada. Di masa Orde Lama dibentuk PARAN (Panitia
Retooling Aparatur Negara), di bawah pimpinan AH Nasution, yang mewajibkan
semua pejabat mengisi formulir untuk data yang diperlukan. Kesulitan
mengumpulkan data kemudian mengembalikan tugas lembaga itu kepada Kabinet
Djuanda. Tahun 1963, AH Nasution ditunjuk lagi untuk memimpin yang disebut
Operasi Budhi. Tugasnya lebih berat, yakni mengajukan perusahaan/lembaga yang
rawan praktik korupsi dan kolusi ke pengadilan. Terjadi lagi kemandekan.
Lembaga itu kemudian dibubarkan, diganti dengan Kontrar (Komando Tertinggi
Retooling Aparat Revolusi). Seiring dengan lahirnya Kontrar, pemberan tasan
korupsi di masa Orde Lama kembali mandek.
Di masa Orde Baru strategi
memberantas korupsi pun kurang berhasil, sekalipun pemerintah Orba memberi
harapan besar, tertuang dalam pidato presiden 16 Agustus 1967. TPK (Tim
Pemberantasan Korupsi) terbentuk, diketuai Jaksa Agung. Tim yang kemudian
dianggap tidak efektif ini akhirnya diganti Komite Empat, terdiri dari
tokoh-tokoh lama yang dianggap bersih dan berwibawa. Toh tidak berhasil. Kemudian
ada Opstib (Operasi Tertib), yang juga tidak berhasil karena perselisihan
soal metoda pemberantasan korupsi. Para koruptor menang.
Di era reformasi
Korupsi melibatkan lebih dari satu pihak
dan selalu bersifat rahasia karena dianggap menyimpang dari norma-norma umum.
Menurut sejarah korupsi, problem sosial ini bukan disebabkan perubahan kultur, bukan karena konflik nilai-nilai
lama dan baru, bukan pula hanya karena sistem pencegah dan pengawasannya yang
lemah. Sesuai kata Wang An Shih, problem ini muncul karena perilaku
individu-individu yang ‘kurang’, baik ditinjau dari segi moral maupun
sosialnya. Dia kurang karena tidak mau atau tidak mampu mematuhi pola-pola
normatif masyarakat. Keadaannya bisa diperparah desakan sekitar.
Di era reformasi, berbagai komisi
atau badan baru pemberantasan korupsi dibentuk. Tahun 1999, di bawah
pemerintahan Habibie, ada KPKPN (Komisi Pengawas Kekayaan Pejabat Negara).
Ada KON (Komisi Ombudsman Nasional) yang melakukan pengawasan terhadap
pelayanan publik oleh segenap penyelenggara negara. KON bersikap imparsial
dan tidak memiliki kewenangan menuntut maupun menjatuhkan sanksi kepada
instansi yang dilaporkan.
Di
era Abdurrahman Wahid tahun 2000, dibentuk TGPTPK (Tim Gabungan Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi). Tetapi, melalui judicial
review Mahkamah Agung, TGPTK akhirnya dibubarkan.
Lembaga pemberantasan korupsi yang
masih berhasil menjaga kelangsungan hidup sampai sekarang adalah KPK,
dibentuk pada 2003.
Dengan pembentukan KPK, KPKPN pun melebur masuk KPK. Bagaimana nasib KPK,
bergantung pada bantuan dan kepercayaan masyarakat yang juga makin kritis
terhadap budaya korupsi di negeri ini. Ada asumsi, kemelaratan sebagian
masyarakat antara lain akibat distribusi kekayaan negara yang tidak merata,
juga karena rongrongan korupsi yang merajalela.
Apakah mungkin disebabkan perkembangan politik selama beberapa dasawarsa ini?
Patut menjadi renungan penutup tahun 2013.
Menghapuskan korupsi menjadi dilema karena sulitnya
mengharapkan tertib sosial yang sempurna. Faktanya, tertib sosial tak jarang
jauh ketinggalan dari kemajuan zaman. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar