Minggu, 29 Desember 2013

Oasis di Tengah Eksploitasi

Oasis di Tengah Eksploitasi

Sudharto P Hadi  ;   Dosen Mana­jemen Lingkungan Universitas Diponegoro
SUARA MERDEKA,  28 Desember 2013

  

BILA kita memutar balik jarum jam tahun lalu, 2013 sudah ditabalkan sebagai tahun politik, tahun strategis bagi parpol, caleg, dan capres untuk ancang-ancang memenangi pemilu legislatif pada April 2014 dilanjutkan pemilihan presiden pada Juli tahun yang sama. Setelah lembar demi lembar tahun 2013 kita lewati, ramalan itu ada benarnya.

Itu semua fenomena di permukaan. Di dapur legislatif (DPR dan DPRD), keputusan yang menyangkut kepentingan publik pasti diwarnai tarik-menarik kepentingan politik di antara wakil rakyat dalam melaksanakan fungsi sebagai pengawas, penyusun perundang-undangan ataupun penganggaran.

Bagaimana di dapur eksekutif? Sebelum pemberlakuan otda awal 2000, genderang peringatan peningkatan eksploitasi lingkungan sudah ditabuh.  Hal ini didasari kekhawatiran sumber daya alam diperlakukan sebagai lumbung PAD. 

Adalah fakta pemda yang kaya sumber daya alam mudah memberikan izin penambangan demi mengejar PAD. Termasuk gampang menerbitkan izin pemanfaatan kayu.

Pada Hari Tata Ruang tanggal 8 November lalu, saya menjadi narasumber seminar tentang tata ruang kepulauan berbasis pertambangan di Bangka Belitung. Sampai saat ini draf tata ruang provinsi tersebut masih dalam pembahasan. Menurut tokoh masyarakat provinsi tersebut, yang proeksploitasi sengaja terus mengulur agar kepentingan mereka tidak terusik.

Kita tahu UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang mengamanatkan rencana tata ruang nasional, provinsi, kabupaten/kota harus mendasarkan pada daya dukung lingkungan dan daya tampung lingkungan. Untuk kabupaten/kota yang tidak memiliki sumber daya alam memadai, instrumen izin dipgunakan sebagai wahana mengeruk PAD.

Di tengah ingar-bingar eksploitasi sumber daya alam dan lingkungan, muncul sejumlah oasis seperti Kota Surabaya dan kelompok/masyarakat peduli lingkungan. Surabaya yang dulu dikenal sebagai ’’Surabahaya’’ mengingat tingkat kerusakan dan pencemaran lingkungan yang melebihi batas, di bawah Wali Kota Tri Rismaharini berubah jadi kota teduh, nyaman, asri, dan manusiawi.

Kota Pahlawan itu meraih tiga kali secara berturut-turut Adipura Kencana, mengindikasikan bukan hanya comply mengelola sampah,  menekan tingkat pencemaran udara dan air melainkan sudah beyond compliance dengan inovasi. Kita bisa melihat pengolahan sampah dari skala rumah tangga dan TPS berprinsip 3R (reduce, reuse, dan recycle), menggunakan energi terbarukan dan efisiensi energi.

Melalui Taman Bungkul, ibu kota Jatim itu menerima Asian Townscape Award dari Badan PBB untuk Habitat, dan dinyatakan sebagai taman terbaik di Asia karena memadukan aspek budaya, sosial, dan ekonomi.  Di taman tersebut ada makam cikal-bakal kota itu yang masih ramai dikunjungi masyarakat. Di tempat itu pula, warga berekreasi, melepaskan lelah, bertemu dengan rekan bisnis.

Anak-anak muda bisa sepuasnya browsing internet. Di taman itu PKL bisa berjualan dengan tenang. Taman Bungkul menjadi tumpuan warga dan menurut Wali Kota akan dibangun 15 taman serupa di seantero Surabaya.  Fungsi  sosial taman bukan hanya dirasakan oleh pengguna melainkan juga oleh warga kota pada umumnya.

Sementara, oasis lain bisa kita lihat dari kelompok pelestari lingkungan yang dalam 5 tahun terakhir tumbuh bagai cendawan pada musim hujan. Kelompok-kelompok pengolah sampah skala rumah tangga yang melakukan 3R dapat kita temui di Semarang, Jakarta, Bandung, Solo, Bantul, Yogyakarta dan sebagainya.

Prospek 2014

Sampah organik diolah menjadi pupuk dan sampah anorganik dikemas jadi berbagai produk bernilai ekonomi seperti tas, tempat tisu, vas bunga dan sebagainya. Kelompok yang didominasi ibu-Ibu ini mengembangkan sayap dengan membentuk bank sampah. Bank ini membeli sampah dari warga untuk kemudian dipilah, sebagian dijual kepada pengumpul, sebagian lagi diolah jadi berbagai produk.

Diskusi mengenai prospek Indonesia pasca-2014 berkait Munas IKA Undip di kampus Pleburan tanggal 7 Desember 2013 menyimpulkan bahwa bila kualitas Pemilu 2014 masih seperti periode sebelumnya, bisa dipastikan kondisi Tanah Air ke depan tak akan lebih baik. Pemilu-pemilu sebelumnya selalu diwarnai politik uang, dan bukan lagi rahasia adanya biaya politik tinggi untuk bisa menjadi legislator.

Tak mengherankan bila sepanjang masa baktinya anggota legislatif, dan mungkin juga kepala daerah lebih disibukkan urusan bagaimana mengembalikan dana yang pernah dikeluarkan berkait keterpilihan mereka. Nasib lingkungan tahun depan tidak bisa banyak mengandalkan pilar legislatif dan eksekutif tetapi harus banyak bertumpu pada kreativitas, inovasi perorangan dan kelompok/masyarakat yang dengan panggilan hatinya memelopori pelestarian lingkungan.

Senyatanya embrio oasis sudah terlihat di ibu kota Jateng. Kota ini, tahun 2012 dan 2013, meraih Adipura. Kelompok swadaya pengolah sampah bermunculan di banyak tempat, dari Sampangan, Jomblang, hingga Tembalang. Demikian juga kelompok swadaya pelestari lingkungan seperti Prenjak di Dukuh Tapak Kelurahan Tugu, Yayasan Biota di Mangunhardjo, Komunitas Kandang Gunung di Gunungpati, yang jadi modal berharga mewujudkan impian itu. Kesetaraan Semarang sudah selayaknya dirupakan jadi kota asri, teduh, indah, sekaligus manusiawi. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar