Oasis
di Tengah Eksploitasi
Sudharto P Hadi ; Dosen Manajemen Lingkungan Universitas Diponegoro
|
SUARA
MERDEKA, 28 Desember 2013
BILA kita memutar balik jarum jam tahun
lalu, 2013 sudah ditabalkan sebagai tahun politik, tahun strategis bagi
parpol, caleg, dan capres untuk ancang-ancang memenangi pemilu legislatif
pada April 2014 dilanjutkan pemilihan presiden pada Juli tahun yang sama.
Setelah lembar demi lembar tahun 2013 kita lewati, ramalan itu ada benarnya.
Itu semua fenomena di permukaan. Di dapur
legislatif (DPR dan DPRD), keputusan yang menyangkut kepentingan publik pasti
diwarnai tarik-menarik kepentingan politik di antara wakil rakyat dalam
melaksanakan fungsi sebagai pengawas, penyusun perundang-undangan ataupun
penganggaran.
Bagaimana di dapur eksekutif? Sebelum
pemberlakuan otda awal 2000, genderang peringatan peningkatan eksploitasi
lingkungan sudah ditabuh. Hal ini didasari kekhawatiran sumber daya
alam diperlakukan sebagai lumbung PAD.
Adalah fakta pemda yang kaya sumber
daya alam mudah memberikan izin penambangan demi mengejar PAD. Termasuk
gampang menerbitkan izin pemanfaatan kayu.
Pada Hari Tata Ruang tanggal 8 November
lalu, saya menjadi narasumber seminar tentang tata ruang kepulauan berbasis
pertambangan di Bangka Belitung. Sampai saat ini draf tata ruang provinsi
tersebut masih dalam pembahasan. Menurut tokoh masyarakat provinsi tersebut,
yang proeksploitasi sengaja terus mengulur agar kepentingan mereka tidak terusik.
Kita tahu UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang mengamanatkan rencana tata ruang nasional, provinsi,
kabupaten/kota harus mendasarkan pada daya dukung lingkungan dan daya tampung
lingkungan. Untuk kabupaten/kota yang tidak memiliki sumber daya alam
memadai, instrumen izin dipgunakan sebagai wahana mengeruk PAD.
Di tengah ingar-bingar eksploitasi sumber
daya alam dan lingkungan, muncul sejumlah oasis seperti Kota Surabaya dan
kelompok/masyarakat peduli lingkungan. Surabaya yang dulu dikenal sebagai
’’Surabahaya’’ mengingat tingkat kerusakan dan pencemaran lingkungan yang
melebihi batas, di bawah Wali Kota Tri Rismaharini berubah jadi kota teduh,
nyaman, asri, dan manusiawi.
Kota Pahlawan itu meraih tiga kali secara
berturut-turut Adipura Kencana, mengindikasikan bukan hanya comply mengelola
sampah, menekan tingkat pencemaran udara dan air melainkan sudah beyond
compliance dengan inovasi. Kita bisa melihat pengolahan sampah dari skala
rumah tangga dan TPS berprinsip 3R (reduce,
reuse, dan recycle),
menggunakan energi terbarukan dan efisiensi energi.
Melalui Taman Bungkul, ibu kota Jatim itu
menerima Asian Townscape Award dari
Badan PBB untuk Habitat, dan dinyatakan sebagai taman terbaik di Asia karena
memadukan aspek budaya, sosial, dan ekonomi. Di taman tersebut ada
makam cikal-bakal kota itu yang masih ramai dikunjungi masyarakat. Di tempat
itu pula, warga berekreasi, melepaskan lelah, bertemu dengan rekan bisnis.
Anak-anak muda bisa sepuasnya browsing
internet. Di taman itu PKL bisa berjualan dengan tenang. Taman Bungkul
menjadi tumpuan warga dan menurut Wali Kota akan dibangun 15 taman serupa di
seantero Surabaya. Fungsi sosial taman bukan hanya dirasakan oleh
pengguna melainkan juga oleh warga kota pada umumnya.
Sementara, oasis lain bisa kita lihat dari
kelompok pelestari lingkungan yang dalam 5 tahun terakhir tumbuh bagai
cendawan pada musim hujan. Kelompok-kelompok pengolah sampah skala rumah
tangga yang melakukan 3R dapat kita temui di Semarang, Jakarta, Bandung,
Solo, Bantul, Yogyakarta dan sebagainya.
Prospek
2014
Sampah organik diolah menjadi pupuk dan
sampah anorganik dikemas jadi berbagai produk bernilai ekonomi seperti tas,
tempat tisu, vas bunga dan sebagainya. Kelompok yang didominasi ibu-Ibu ini
mengembangkan sayap dengan membentuk bank sampah. Bank ini membeli sampah
dari warga untuk kemudian dipilah, sebagian dijual kepada pengumpul, sebagian
lagi diolah jadi berbagai produk.
Diskusi mengenai prospek Indonesia
pasca-2014 berkait Munas IKA Undip di kampus Pleburan tanggal 7 Desember 2013
menyimpulkan bahwa bila kualitas Pemilu 2014 masih seperti periode
sebelumnya, bisa dipastikan kondisi Tanah Air ke depan tak akan lebih baik.
Pemilu-pemilu sebelumnya selalu diwarnai politik uang, dan bukan lagi rahasia
adanya biaya politik tinggi untuk bisa menjadi legislator.
Tak mengherankan bila sepanjang masa
baktinya anggota legislatif, dan mungkin juga kepala daerah lebih disibukkan
urusan bagaimana mengembalikan dana yang pernah dikeluarkan berkait
keterpilihan mereka. Nasib lingkungan tahun depan tidak bisa banyak
mengandalkan pilar legislatif dan eksekutif tetapi harus banyak bertumpu pada
kreativitas, inovasi perorangan dan kelompok/masyarakat yang dengan panggilan
hatinya memelopori pelestarian lingkungan.
Senyatanya embrio oasis sudah terlihat di
ibu kota Jateng. Kota ini, tahun 2012 dan 2013, meraih Adipura. Kelompok
swadaya pengolah sampah bermunculan di banyak tempat, dari Sampangan,
Jomblang, hingga Tembalang. Demikian juga kelompok swadaya pelestari
lingkungan seperti Prenjak di Dukuh Tapak Kelurahan Tugu, Yayasan Biota di
Mangunhardjo, Komunitas Kandang Gunung di Gunungpati, yang jadi modal
berharga mewujudkan impian itu. Kesetaraan Semarang sudah selayaknya
dirupakan jadi kota asri, teduh, indah, sekaligus manusiawi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar