Gus
Dur dan Peningkatan Mutu Pendidikan Nasional
Anton Prasetyo ; Pendidik di Yogyakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 30 Desember 2013
SETIAP 30 Desember selalu
diperingati sebagai hari wafatnya KH Abdurrahman Wahid. Tokoh
nasionalis-agamais itu dikenang tak lepas dari keluasan intelektualitasnya. Bahkan
tak jarang dirinya dikenal sebagai sosok yang lebih cerdas daripada zamannya.
Sosok kiai yang akrab disapa Gus Dur itu pernah menduduki posisi strategis,
baik di pemerintahan maupun di ormasnya. Selain sebagai guru bangsa, cucu
pendiri ormas Nahdlatul Ulama (NU) itu juga pernah menjabat presiden RI dan
ketua tanfiziah (badan eksekutif) ormas NU.
Gus Dur juga mendapat banyak
penghargaan, seperti gelar doktor honoris causa dari Universitas Jawaharlal
Nehru India, Bintang Tanda Jasa Kelas 1 Bidang Ilmu Pengetahuan dan
Kebudayaan dari pemerintah Mesir, dan pin penghargaan Keluarga Berencana dari
Perhimpunan Keluarga Berencana I Ramon Magsaysay. Termasuk, Bintang
Mahaputera Utama dari Presiden RI BJ Habibie, gelar doktor honoris causa
bidang perdamaian dari Soka University Jepang (2000), Global Tolerance Award
dari Friends of the United Nations New York (2003), World Peace Prize Award
dari World Peace Prize Awarding Council (WPPAC) Seoul Korea Selatan (2003),
serta Presiden World Headquarters on NonViolence Peace Movement (2003),
penghargaan dari Simon Wiethemtal Center Amerika Serikat (2008), penghargaan
dari Mebal Valor Amerika Serikat (2008), penghargaan dan kehormatan dari
Temple University Philadelphia Amerika Serikat yang memakai namanya untuk
penghargaan terhadap studi dan pengkajian kerukunan antarumat beragama, Abdurrahman Wahid Chair of Islamic Study
(2008). (Kompas.com, 31/12/2009)
Keberhasilan demi keberhasilan
yang diraih Gus Dur dipastikan tidak didapatkan secara instan, tetapi
memerlukan proses yang panjang dan penuh perjuangan. Kesuksesan intelektual
Gus Dur tak lepas dari tiga fase, sebagaimana yang banyak dilalui orang-orang
sukses lainnya. Ketiganya ialah fase formulasi atau pembentukan, fase
momentum, dan fase stabil. Nah, dalam fase formulasi itulah sosok Gus Dur dan
orang-orang sukses lainnya harus memiliki niat baja dan tahan uji. Di fase
formulasi tersebut seseorang harus menjalani kehidupan yang penuh dengan
cobaan dan rintangan.
Karena fase formulasi penuh cobaan
dan rintangan, terdapat dua kemungkinan seseorang dalam menjalani masamasa
itu. Pertama, seseorang yang teguh pendirian sehingga mampu melewati cobaan
dan rintangan. Orang-orang itulah yang nantinya lulus dan akan menikmati
masa-masa selanjutnya. Hanya, tidak banyak orang bisa melewati masa-masa
tersebut dengan baik dan lulus uji. Kedua, seorang yang tidak memiliki mental
baja. Orang itu tidak sanggup melewati cobaan dan rintangan sehingga bukan
hasil maksimal yang didapat, melainkan kegagalan demi kegagalan yang
menghampirinya.
Pejuang
intelektual
Pada fase formulasi inilah
perjuangan harus diupayakan. Tanpa adanya perjuangan, mustahil semua akan
dapat dilaksanakan dengan baik.
Dalam pencarian ilmu pengetahuan, kiai yang pernah menjabat presiden RI setelah BJ Habibie itu harus mengalami perjuangan yang tidak banyak dilakukan orang lain. Semenjak belia Gus Dur sudah harus belajar mengaji dan Alquran kepada kakeknya (KH Hasyim Asy'ari) sehingga pada usia lima tahun ia telah lancar membaca Alquran.
Di samping itu, saat dirinya masih
duduk di sekolah tingkat dasar, bersama ayahnya di Jakarta, di sela-sela
waktu sekolah formal, dirinya selalu meluangkan waktu untuk les privat bahasa
Belanda kepada Willem Buhl, seorang Jerman yang telah masuk Islam.
Ketika masuk SMEP (sekolah
menengah ekonomi pertama) di Gowongan, Yogyakarta, pada 1953, dirinya juga
sambil mondok di pesantren Krapyak.
Hariannya full digunakan untuk aktivitas. Kegiatan rutin harian ialah mengaji kepada KH Ma'shum Krapyak setelah salat subuh, dilanjutkan sekolah di SMEP, dan pada malam hari ia ikut berdiskusi bersama dengan Haji Junaidi dan anggota Muhammadiyah lainnya. Di samping itu, di masam asa tersebut Gus Dur juga mulai belajar mulai belajar bahasa Inggris.
Beragam buku berat berbahasa
Inggris dibaca Gus Dur belia. Di antara buku yang dibaca Gus Dur semasa
sekolah SMEP ialah karya Ernest Hemingway, John Steinbach, William Faulkner,
Johan Huizinga, Andre Malraux, Ortega Y Gasset, serta beberapa karya penulis
Rusia seperti Pushkin, Tolstoy, Dostoevsky, dan Mikhail Sholokov. Di samping
itu, Gus Dur juga melahap habis karya Will Durant yang berjudul The Story of Civilization.
Tak hanya itu, Gus Dur yang baru
menginjak dewasa juga rajin menggali informasi melalui siaran lewat radio Voice of America dan BBC London. Dirinya juga membaca buku
karya Lenin What is to be Done, Das
Kapital-nya Karl Marx, filsafat Plato, Thales, dan sebagainya.
Setamat dari SMEP, Gus Dur
melanjutkan belajar di Pesantren Tegalrejo Magelang, Jawa Tengah. Di
pesantren itu, Gus Dur meneruskan hobi membacanya. Dibawanya seluruh koleksi
buku yang dimilikinya hingga membuat teman-teman santri asuhan KH Chudhari
itu terheran-heran. Atas bekal ilmu yang dibawa dan ketekunannya, Gus Dur
mampu menyelesaikan studi selama dua tahun di Pesantren Tegalrejo. Padahal,
umumnya belajar di pesantren itu setidaknya empat tahun baru mendapat
kelulusan.
Pengembaraan Gus Dur dalam rangka
menimba ilmu dilanjutkan ke Pesantren Tambak Beras Jombang. Di pesantren
pamannya itu, Gus Dur berkesempatan belajar sempurna karena dia manahi untuk
menjadi ustaz selama dua tahun. Pada usia 22 tahun, pengembaraan Gus Dur
dalam rangka mencari ilmu mulai merambah ke luar negeri. Selepas melaksanakan
ibadah haji, dirinya pergi ke Mesir untuk melanjutkan studi di Universitas Al
Azhar.
Di Mesir, Gus Dur merasakan
kekecewaan. Dirinya merasa ada rintangan menghadangnya. Sampai di Mesir,
dirinya tidak dapat langsung masuk Universitas Al Azhar. Gus Dur harus masuk
aliyah (semacam sekolah persiapan). Kendati demikian, kekecewaan Gus D Dur
tidak membuatnya putus asa. Dirinya tetap mencari celah sehingga dapat
menggali ilmu pengetahuan sebanyak-banyaknya. Sering kali Gus Dur mengunjungi
perpustakaan dan pusat layanan informasi Amerika (USIS) serta toko-toko buku
tempat dia dapat membaca dan/atau memperoleh buku-buku yang dikehendaki.
Perjalanan mencari ilmu tak henti
di situ. Pada 1966 Gus Dur pindah belajar ke Irak. Dirinya masuk ke Department of Religion di Universitas
Baghdad sampai 1970. Di situlah Gus Dur mulai mendapatkan rangsangan
intelektual lagi karena di Kota Seribu
Satu Malam itu dirinya kembali bersentuhan dengan buku-buku besar karya
sarjana orientalis Barat. Dengan adanya kesempatan emas tersebut, dirinya
tidak menyia-nyiakannya, dibacanya buku-buku yang ada secara intensif.
Di samping pengembaraannya ke
Mesir dan Baghdad, Gus Dur juga sempat pergi ke McGill University di Kanada. Di
situ dirinya mempelajari kajian-kajian keislaman secara mendalam. Hingga pada
1971 Gus Dur menyelesaikan pengembaraan pendidikannya dan menetap di
Indonesia lagi. Kendati demikian, semangat belajar tak pernah surut. Terbukti
pada 1979 Gus Dur ditawari untuk belajar ke sebuah universitas di Australia
guna mendapatkan gelar doktor.
Dirinya memiliki keinginan untuk menjalankan
studi itu. Hanya, niatan mulia tersebut tidak dilaksanakannya karena semua
promotor tidak sanggup. Gus Dur dianggap tidak membutuhkan gelar tersebut.
Bahkan pada kenyataannya, beberapa disertasi calon doktor dari Australia
justru dikirimkan kepada Gus Dur untuk dikoreksi.
Mendewakan
Atas prestasi intelektual Gus Dur
yang luar biasa itulah masyarakat kita sering kali mendewakannya. Praktik
pendewaan itu pun sekadar melihat hasil akhirnya. Banyak warga kita yang
mengagumi keluasan ilmu Gus Dur tanpa menyimak proses belajarnya. Segala
rangkaian kata digunakan untuk memuji-mujinya. Terlebih pada momentum
peringatan hari wafatnya seperti saat sekarang. Bahkan beraneka ragam
rangkaian kata menghiasi media cetak dan elektronik dalam rangka mengagumi
sosok Gus Dur.
Mendewakan Gus Dur dalam arti
membanggakan sehingga bisa memotivasi diri untuk bisa mencontohnya tentunya
merupakan tindakan positif. Namun yang banyak terjadi ialah mendewakan
sebatas mengaguminya. Masyarakat kita lupa bahwa Gus Dur ialah sosok teladan
yang harus ditiru, bukan sekadar dipuji. Perjuangan intelektualnya harus
ditiru generasi penerusnya. Tanpa adanya perjuangan meniru dan meneruskan
upaya-upaya pendidikan Gus Dur, mustahil bangsa kita akan menjadi maju.
Dunia pendidikan pun harus berkaca
pada sosok Gus Dur. Keluasan ilmu Gus Dur bukanlah semata hasil kerja
pendidikan formal. Bahkan berulang kali Gus Dur kecewa terhadap dunia
pendidikan formal. Dirinya sempat tidak naik kelas ketika di SMEP karena
kelakuannya yang disebabkan kekecewaan pada dunia pendidikan. Berakar dari
sinilah, momentum peringatan haul keempat KH Abdurrahman Wahid ini semoga
bisa menjadi pelecut semangat generasi muda kita agar bisa meneladani
perjuangan pendidikannya dan menjadi inspirasi para punggawa pendidikan untuk
bisa meningkatkan mutu pendidikan nasional. Semoga! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar