Kebangkitan
Kaum Tradisionalis
Ali Usman ; Aktivis NU, Tinggal di Yogyakarta
|
SUARA
MERDEKA, 27 Desember 2013
REFLEKSI terhadap pemikiran Abdurrahman Wahid atau Gus Dur
tidak hanya sewaktu ia masih hidup, bahkan setelah berpulang pada pengujung
2009 pun hingga hari ini terus mengemuka. Gus Dur, oleh khalayak diberi ragam
predikat, seperti sebagai Guru Bangsa, Bapak Humanisme, Bapak Pluralisme, dan
sebagainya.
Di kalangan warga nahdliyin, Gus Dur layaknya dalam dunia
akademisi, dikukuhkan menjadi ìguru besar’’, dan mungkin satu-satunya
sepanjang sejarah perjalanan NU sebagai organisasi sosial keagamaan sejak
1926. Ekspektasi publik kepadanya bisa dimengerti mengingat dialah yang
membangkitkan kaum tradisionalis, istilah yang diperlawankan dengan kaum
modernis.
Ironisnya kalangan tradisionalis distereotipkan pada kesan
negatif seperti jumud, antikemajuan, konservatif, dan lain-lain. Gus Dur
menjadi ikon kaum sarungan yang gagasannya melampau sekat-sekat tradisionalis
dan modernis. Tentang pribumisasi Islam misalnya, sebagian kelompok mencerca
karena menganggap pemikiran itu sesat, nyleneh;
kelompok lainnya memilih diam enggan berkomentar, dan sebagian lagi mencoba memahami
secara perlahanlahan.
Dari sana, lantas tak hanya orang Indonesia, para peneliti
Barat pun kembali mempertanyakan, benarkah label tradisionalis- konservatif
hasil konstruksi pengetahuan para ilmuwan sebelumnya itu layak disematkan
kepada NU, terutama tokohtokohnya, seperti Gus Dur? Gus Dur menerangkan bahwa
pribumisasi Islam bukanlah Jawanisasi atau sinkretisme mengingat itu sebatas
mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan lokal (Indonesia) dalam merumuskan
hukumhukum agama, tanpa mengubah hukum itu sendiri.
Juga bukan meninggalkan normanorma (keagamaan) demi budaya
melainkan supaya norma-norma itu bisa menampung kebutuhan-kebutuhan dari
budaya dengan mempertimbangkan peluang yang disediakan oleh variasi pemahaman
nash. Pribumisasi Islam adalah bagian dari sejarah Islam.
Pribumisasi versi Gus Dur adalah juga upaya kembali
mengukuhkan akar budaya, dengan tetap berusaha menciptakan masyarakat taat
beragama. Pribumisasi Islam dengan sendirinya bertindak sebagai antitesis
atas fenomena kemerebakan Arabisasi pada sebagian umat Islam.
Arabisasi dianggap sebagai representasi ajaran agama,
adapun di luar itu dianggap bukan ajaran agama. Gus Dur mempertanyakan
asumsiasumsi dasar tentang Arabisasi itu. Mengapa harus menggunakan istilah
shalat, bila kata sembahyang juga tak kalah benar? Mengapa harus menjadi
mushala, padahal dulu cukup langgar atau surau? Belum lagi ulang tahun, yang
baru terasa afdal dijadikan milad.
Dahulu tuan guru atau kiai, sekarang harus ustadz atau
syeih, baru terasa berwibawa. Bukankah ini pertanda Islam tercerabut dari
lokalitas yang mendukung kehadirannya di belahan bumi ini? Yang dipribumikan
adalah manifestasi kehidupan Islam belaka, bukan ajaran yang menyangkut inti
keimanan dan peribadatan formal. Tidak diperlukan Quran Batak dan hadis Jawa.
Islam tetap Islam di mana saja berada. Namun tak berarti semua harus
disamakan ’’bentuk luar”-nya. Salahkah kalau Islam dipribumisasikan sebagai
manifestasi kehidupan?
Cakrawala Baru
Di kalangan NU, gagasan pribumisasi Islam sebenarnya
merupakan wujud dari kaidah ushul, yang sekaligus menjadi jargon terkenal,
yakni menjaga tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih
baik.
Gagasan-gagasan Gus Dur, termasuk tentang pribumisasi
Islam, justru banyak diapresiasi oleh intelektual muda NU. Gus Dur sebagai
seorang muslim tradisionalis, cenderung menggunakan ungkapan-ungkapan
keagamaan yang didasarkan pada budaya asli lokal Indonesia.
Hal itu terlihat jelas dalam sikapnya terhadap wayang
kulit, wujud seni dari masa pra-Islam dalam dunia Hindu Asia Tenggara. Ia
menghormati bukan saja seni pewayangan, melainkan juga isi spiritualnya.
Kebiasaan inilah yang kerap membuat banyak pengamat ìkebingunganî atas
pemikiran Gus Dur.
Ia sangat menganjurkan pluralisme dan toleransi, sekaligus
pada saat bersamaan menjadi orang yang sangat mencintai kebudayaan Islam
tradisionalnya dan juga pesan umat Islam itu sendiri. Padahal idiom modern
Barat mengatakan bahwa hanya dengan melepaskan dogmatisme maka seseorang bisa
menjadi toleran (Barton, 2002).
Karena itu, dalam komunitas nahdliyin, Gus Dur sebagaimana
ungkapan Nur Khalik Ridwan (2010) adalah guru besar kaum muda dan para kiai
NU, meskipun ada orang tidak suka dan tak sepaham dengannya, tapi itu lumrah
dan wajar.
Ketidaksepahaman itu, lagi-lagi juga tidak menutup
kebesaran dan posisinya sebagai guru besar nahdliyin, terutama bagi kaum muda
dan kiai. Posisi sebagai guru besar kaum nahdliyin tidaklah diperdebatkan,
sebagaimana orang memperdebatkan wajib dan tidaknya mendirikan negara Islam,
karena memang begitulah adanya.
Gus Dur telah membuka cakrawala dan wawasan baru, dan itu
berpengaruh ke dalam arus perkembangan pemikiran warga nahdliyin khususnya,
dan masyarakat pada umumnya. Jasa Gus Dur-lah, membuat banyak warga nahdliyin
bangga menjadi orang NU. Dengan demikian Gus Dur memang benar-benar guru
bangsa sekaligus guru bagi keberagaman masyarakat Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar