Semangat
Keberagaman Substantif
Masduri ; Peneliti Teologi dan Filsafat Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran
Islam
UIN
Sunan Ampel Surabaya
|
KORAN
JAKARTA, 27 Desember 2013
Beragama menjadi panggilan naluriah
manusia. Pada agama menggantung kedamaian sebagai pusat dari segala harapan
kebahagian hidup. Karena manusia hakikatnya merasa tidak kuasa atas realitas
kehidupan.
Sebut saja tentang sejarah
kelahiran, tiba-tiba saja manusia lahir ke dunia, tanpa berkesempatan memilih
lahir dari keluarga siapa dan tempat mana. Banyak lagi contoh lain, manusia
juga tidak tahu akhir hidupnya, senang-sedih, dan segenap peristiwa eksistensial
yang dialami manusia sehingga kemudian lahir keyakinan terhadap kebenaran
agama, baik agama samawi ataupun agama ardi. Bahwa ada Zat Yang Mahakuasa dan
Mahapencipta, yang oleh banyak orang kemudian disebut sebagai Tuhan.
Pandangan kaum beragama
tentang ketidakkuasaan manusia terhadap
realitas kehidupan, berbeda dengan penganut Ateisme, misalnya Sigmund Freud,
yang berpandangan bahwa ide Tuhan hanyalah ilusi, manusia seperti anak kecil
yang selalu membutuhan pertolongan.
Sehingga mencipta Zat
diyakininya Mahakuasa sebagai tempat mengadu dan meminta pertolongan. Tetapi
bagi kaum beragama, keimanan kepada Tuhan merupakan manifestasi dari
kesadaran diri, bahwa ada Zat Yang Mahapencipta, awal dari segala sesuatu.
Seperti Rene Descartes
yang menyatakan orang bisa saja menyangkal segala sesuatu (termasuk Tuhan),
namun ia tidak bisa menyangkal bahwa dirinya sendiri ada. Baginya, Allah juga
demikian, Allah sudah ada dengan sendirinya, keraguan kepada Tuhan sama saja
dengan meragukan dirinya sendiri.
Sebab Allah adalah sebab
pertama yang mengadakan semua yang ada dalam alam semesta. Keyakinan pada
Tuhan adalah semangat hidup mencapai kebahagian. Sebab menurut Immanuel Kant,
Allah adalah zat yang menjamin bahwa orang yang bertindak baik demi kewajiban
moral akan mengalami kebahagiaan sempurna.
Maka adalah keniscayaan
jika banyak orang memburu Tuhan dalam agama-agama yang ada di dunia ini.
Prinsip dasarnya mereka ingin mencari ketenangan spiritualitas untuk mencapai
kebahagian hidup.
Namun, kemudian yang
sering dipersoalkan oleh banyak orang adalah ragam agama yang begitu banyak.
Sebut saja di Indonesia, ada enam agama yang secara konstitusional diakui
oleh negara, Islam, Kristen, Katolik, Buddha, Hindu, dan Khong Hu Cu.
Perbedaan agama ini sering memicu konflik kekerasan.
Telah jutaan orang
meninggal dunia sia-sia atas kekerasan sebagian orang yang sebenarnya
berpura-pura mengimani Tuhan, tetapi perilakunya tidak mencerminkan kasih
sayang sebagaimana ajaran dalam setiap agama. Agama adalah panggilan naluriah
jalan hidup, sebagai wujud manifestasi dari kecintaan pada anugerah kehidupan
yang diberikan Tuhan. Karena itu, orang beragama mestinya hidup dengan jalan
kasih sayang yang telah digariskan oleh Tuhan dalam setiap agama.
Persamaan
Hak
Sebagai kaum beriman,
walau berbeda agama dengan umat Kristen, saya merasa sedih ketika mendengar
berita ketakutan umat Kristen dalam merayakan Natal. Sebagai warga negara
yang sah dan dahulu para nenek-moyang umat Kristen juga ikut memperjuangkan
kemerdekaan Indonesia, mereka mestinya memiliki kedaulatan penuh sebagai
warga negara Indonesia layaknya mayoritas umat Islam yang bebas melaksanakan
kegiatan keagamaan tanpa intervensi dari pihak mana pun.
Sejatinya, bukan hanya
untuk umat Kristen, umat Katolik, Buddha, Hindu, dan Kong Hu Cu juga memiliki
hak yang sama. Sebab hal itu dilindungi oleh UUD 1945, dalam Bab XI Pasal 29
ditegaskan bahwa
"Negara
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing
dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaan itu".
Tetapi, selama ini negara seakan tak kuasa menahan intervensi dan kekerasan
yang dilakukan sebagian kelompok terhadap agama minoritas di Indonesia
sehingga saudara- saudara kita, umat Kristen merasa khawatir, takut kekerasan
pada acara Natal seperti tahun-tahun sebelumnya terulang kembali.
Ketakutan yang dialami
umat Kristen menandai bahwa ada sebagian penganut agama di Indonesia yang
belum dewasa. Penghayatan keagamaan mereka masih sangat lemah sehingga agama
yang sejatinya sumber kedamaian, bagi mereka hadir sebagai petaka hidup.
Karena itulah, sejatinya pada hari Natal yang dirayakan umat Kristen, kita
semua dari lintas agama, walau berbeda keyakinan, dapat belajar bagaimana
Yesus yang dalam teologi Kristen diyakini sebagai juru selamat, mampu
menghadirkan kedamaian kepada umat manusia di seluruh dunia.
Ajaran Yesus yang agung
telah menyebar ke banyak negara di dunia. menciptakan tatanan kehidupan yang
harmonis dan berkeadaban. Kelahiran Yesus ke dunia telah menjadi penerang
kehidupan. Membawa manusia dari gelap kehidupan, ke benderang cahaya yang
menyinari jalan kehidupan. Lalu, apakah kita semua tidak juga ingin menjadi
cahaya dan "juru selamat" bagi setiap manusia dan problem
kebangsaan yang sedang kita hadapi bersama?
Beragama bukan hanya
menjalani ritual keagamaan. Lebih dari itu semua, beragama menuntut kita
semua mampu menghadirkan Tuhan yang kita yakini Mahapengasih dan
Mahapenyayang dalam aktivitas keseharian. Jika Tuhan hadir dalam diri kita,
tentu tindakan kekerasan, korupsi, diskriminasi, dan semua hal destruktif
tidak akan kita lakukan. Sebab ajaran Tuhan adalah ajaran kasih dan sayang.
Beragama adalah upaya
menyatukan diri dengan Tuhan sebagai Zat Pencipta karena sejatinya makhluk
adalah manifestasi dari Tuhan (Ibnu Arabi). Sehingga napas hidup, sifat, dan
tindakan kita selaras dengan ajaran dan sifat Tuhan. Meskipun kata filsuf
Schleiermacher, karena manusia adalah ciptaan Tuhan, tidak mungkin bisa
mencapai kesempurnaan hidup, kesempurnaan hanya milik Tuhan, tetapi Tuhan
mencipta manusia agar selalu berikhtiar mencapai kesempurnaan hidup.
Ikhtiar mencapai
kesempurnaan hidup itu, harus dilakukan bersama-sama. Semua umat beragama,
dengan keyakinannya masing-masing harus menggerakkan diri menyatu dengan
Tuhannya. Tuhan harus hadir ke dunia, meminjam bahasa Al-Hallaj, ia berkata
Ana Al-Haqq yang berarti Akulah kebenaran. Pernyataan Al-Hallaj ini tidak
untuk kita maknai sebagai pengakuan diri kita sebagai Tuhan. Tetapi sebagai
penegas, bahwa ajaran agama kita benar sesuai dengan keyakinan penganutnya
masing-masing.
Karena sejatinya dalam
filsafat perennial, setiap agama di
dunia memiliki suatu kebenaran yang tunggal dan universal yang merupakan
dasar bagi semua pengetahuan dan doktrin religius.
Sebab itu, mari kita berlomba-lomba
mencapai kebenaran (Al-Hallaj) dan
mencapai kesempurnaan hidup (Schleiermacher)
dengan keyakinan dan cara kita masing-masing. Selamat Hari Natal untuk Umat Kristiani. Salam damai demi Indonesia
yang bermartabat! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar