Selasa, 10 Desember 2013

Mencari Pemimpin Bervisi Maritim

Mencari Pemimpin Bervisi Maritim
Bayu A Yulianto  ;   Pengajar Sosiologi Maritim Program Studi Keamanan Maritim
Universitas Pertahanan Indonesia
KOMPAS,  12 November 2013
  


Sebagian besar kandidat calon presiden yang saat ini beredar belum menunjukkan visi kemaritiman yang konkret. Kalaupun ada yang pernah menyebutkan kata maritim, itu masih terkesan sebagai bumbu agar dianggap peduli terhadap persoalan kemaritiman. Sungguh ironi di negeri dengan maritim sebagai keniscayaan alam ini.

Sejak delapan tahun lalu, China menetapkan 11 Juli sebagai Hari Maritim. Tanggal itu dipilih mulai tahun 2005 untuk memperingati 600 tahun pelayaran Cheng Ho yang membawa 240 kapal dengan 27.400 awaknya mengarungi samudra untuk menjalin hubungan dagang dengan Jawa, India, bahkan sampai ke ujung Afrika, Laut Merah, dan Selat Hormuz.

Setiap tanggal 11 Juli, pekerja China diliburkan agar mereka terlibat dalam perayaan yang diselenggarakan negara secara besar-besaran.
Howard J Dooley, profesor sejarah pada Western Michigan University, menyebut momen ini sebagai ”kebangkitan maritim China” (”The Great Leap Outward: China’s Maritime Renaissance”, Journal of East Asian Affairs, 2012).
Tak hanya berhenti pada kegiatan seremonial, sejak dipimpin oleh Deng Xiaoping akhir dekade 1970-an, China berupaya mengembalikan kejayaan maritim yang pernah mereka miliki.

Kebangkitan maritim China bisa diidentifikasi dari beberapa hal yang saat ini sudah mereka kuasai: ekspansi perdagangan melalui jalur laut, pertumbuhan perusahaan kapal dagang, serta pembangunan dan pengelolaan pelabuhan. Ketiganya dilandasi oleh perkembangan industri galangan kapal China yang modern.

Selain demi tujuan dagang dan industri, China juga mengembangkan angkatan lautnya menuju taraf ”Blue Water Navy”. Tak bisa disangkal bahwa kemajuan ekonomi China belakangan ini salah satunya karena mereka berhasil mentransformasi industri maritimnya.

Berbagai kemajuan itu tentu saja tak terlepas dari visi pemimpin dan sistem kepemimpinan di China yang menempatkan sejarah sebagai pijakan untuk melompat ke masa depan.

Adakah para pemimpin dan calon pemimpin Indonesia yang sudah menempatkan kemaritiman sebagai visi kepemimpinan?

Kepemimpinan maritim

Selain sejarah yang mengharuskan kita merefleksikan kembali persoalan maritim, beberapa kondisi obyektif sebenarnya menuntut kita untuk bisa melahirkan pemimpin dan sistem kepemimpinan maritim.

Pemimpin maritim mampu meletakkan laut sebagai arena interaksi masyarakat Indonesia dengan peradaban-peradaban dunia lain.

Visi kepemimpinan maritim adalah melihat laut sebagai modalitas utama perjalanan republik ke depan.

Sebuah relasi ekonomi politik dari tingkat lokal, nasional, regional, sampai internasional yang mengedepankan adab kemaritiman. Sebuah adab yang, menurut Radhar Panca Dahana, mencerminkan kultur hibrid, terbuka, adaptif, dan adoptif (Kompas, 7 Desember 2011).

Berbagai kondisi obyektif yang membuat kita yakin bahwa kepemimpinan maritim itu benar-benar dibutuhkan oleh Indonesia adalah pemanasan global akibat eksploitasi yang berlebihan atas sumber daya hutan dan daratan. 

Sementara di sisi lain, laut kita masih belum digarap secara optimal.
Akibatnya, terjadi krisis pangan dan energi yang sebenarnya bisa kita minimalkan eksesnya dengan mengoptimalkan sumber daya alam di laut.
Optimalisasi sumber daya laut juga bisa menjadi alternatif sumber pendapatan nasional yang lestari jika asas keadilan, baik sosial maupun ekologis, dijadikan pegangan.

Dari sisi geopolitik, potensi ketegangan dan kompetisi antarnegara saat ini berada di laut sehingga sudah saatnya strategi pertahanan nasional kita mendasarkan diri pada sistem pertahanan laut.

Terakhir, yang paling penting dari semua itu adalah satu kenyataan dinamis bahwa Indonesia sebagai sebuah negara bangsa mendiami kawasan laut yang sangat besar.

Dengan demikian, konstruksi integrasi nasional NKRI mesti menjadikan laut sebagai ikatan sosial yang sesungguhnya dari identitas nasional. Laut dan manusia yang hidup di atasnya harus dilihat sebagai modalitas penting dalam mempertahankan integrasi Indonesia.

Namun, hal ini menjadi sangat memprihatinkan karena sepanjang perjalanan Indonesia pasca-kemerdekaan, tidak banyak pemimpin dengan visi maritim yang tangguh. Bahkan, kita bisa saksikan belum ada satu pun kandidat capres yang secara eksplisit menegaskan bahwa masa depan Indonesia berada di laut.

Sistem kepemimpinan

Sistem kepemimpinan sosial kita telah melahirkan calon-calon pemimpin yang berjarak kultural jauh dengan dunia maritim. Tak mengherankan jika para pemimpin kita sekarang belum memiliki pemaknaan visi kemaritiman.

Mengacu pada pandangan Weber tentang proses sosial kepemimpinan, ada dua persoalan pokok dalam memaknai lahirnya seorang pemimpin.
Pertama, sumber dari otoritas kepemimpinan, dan kedua, pengetahuan untuk mengartikulasikan kuasa yang diperoleh.

Karena itu, pada masa sekarang, ketika rasionalitas menjadi acuan setiap upaya tindakan manusia, sumber otoritas kepemimpinan etis, seperti institusi pendidikan, semestinya mampu membangun konstruksi keilmuan yang dapat secara sistematis melahirkan manusia-manusia Indonesia dengan cakrawala berpikir akrab laut sekaligus memproduksi pengetahuan berperspektif kemaritiman.

Dengan cara itu, diharapkan kontestasi kepemimpinan masa depan bisa penuh dengan gagasan bernas kembali ke kejayaan masyarakat maritim.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar