Sebagian besar kandidat calon
presiden yang saat ini beredar belum menunjukkan visi kemaritiman yang
konkret. Kalaupun ada yang pernah menyebutkan kata maritim, itu masih
terkesan sebagai bumbu agar dianggap peduli terhadap persoalan kemaritiman.
Sungguh ironi di negeri dengan maritim sebagai keniscayaan alam ini.
Sejak delapan tahun lalu, China
menetapkan 11 Juli sebagai Hari Maritim. Tanggal itu dipilih mulai tahun
2005 untuk memperingati 600 tahun pelayaran Cheng Ho yang membawa 240 kapal
dengan 27.400 awaknya mengarungi samudra untuk menjalin hubungan dagang
dengan Jawa, India, bahkan sampai ke ujung Afrika, Laut Merah, dan Selat
Hormuz.
Setiap tanggal 11 Juli, pekerja
China diliburkan agar mereka terlibat dalam perayaan yang diselenggarakan
negara secara besar-besaran.
Howard J Dooley, profesor
sejarah pada Western Michigan University, menyebut momen ini sebagai
”kebangkitan maritim China” (”The
Great Leap Outward: China’s Maritime Renaissance”, Journal of East
Asian Affairs, 2012).
Tak hanya berhenti pada kegiatan
seremonial, sejak dipimpin oleh Deng Xiaoping akhir dekade 1970-an, China
berupaya mengembalikan kejayaan maritim yang pernah mereka miliki.
Kebangkitan maritim China bisa
diidentifikasi dari beberapa hal yang saat ini sudah mereka kuasai: ekspansi
perdagangan melalui jalur laut, pertumbuhan perusahaan kapal dagang, serta
pembangunan dan pengelolaan pelabuhan. Ketiganya dilandasi oleh
perkembangan industri galangan kapal China yang modern.
Selain demi tujuan dagang dan
industri, China juga mengembangkan angkatan lautnya menuju taraf ”Blue
Water Navy”. Tak bisa disangkal bahwa kemajuan ekonomi China belakangan ini
salah satunya karena mereka berhasil mentransformasi industri maritimnya.
Berbagai kemajuan itu tentu saja
tak terlepas dari visi pemimpin dan sistem kepemimpinan di China yang
menempatkan sejarah sebagai pijakan untuk melompat ke masa depan.
Adakah para pemimpin dan calon
pemimpin Indonesia yang sudah menempatkan kemaritiman sebagai visi
kepemimpinan?
Kepemimpinan maritim
Selain sejarah yang mengharuskan
kita merefleksikan kembali persoalan maritim, beberapa kondisi obyektif
sebenarnya menuntut kita untuk bisa melahirkan pemimpin dan sistem
kepemimpinan maritim.
Pemimpin maritim mampu
meletakkan laut sebagai arena interaksi masyarakat Indonesia dengan
peradaban-peradaban dunia lain.
Visi kepemimpinan maritim adalah
melihat laut sebagai modalitas utama perjalanan republik ke depan.
Sebuah relasi ekonomi politik
dari tingkat lokal, nasional, regional, sampai internasional yang
mengedepankan adab kemaritiman. Sebuah adab yang, menurut Radhar Panca
Dahana, mencerminkan kultur hibrid, terbuka, adaptif, dan adoptif (Kompas, 7 Desember 2011).
Berbagai kondisi obyektif yang
membuat kita yakin bahwa kepemimpinan maritim itu benar-benar dibutuhkan oleh
Indonesia adalah pemanasan global akibat eksploitasi yang berlebihan atas
sumber daya hutan dan daratan.
Sementara di sisi lain, laut kita masih
belum digarap secara optimal.
Akibatnya, terjadi krisis pangan
dan energi yang sebenarnya bisa kita minimalkan eksesnya dengan
mengoptimalkan sumber daya alam di laut.
Optimalisasi sumber daya laut
juga bisa menjadi alternatif sumber pendapatan nasional yang lestari jika
asas keadilan, baik sosial maupun ekologis, dijadikan pegangan.
Dari sisi geopolitik, potensi
ketegangan dan kompetisi antarnegara saat ini berada di laut sehingga sudah
saatnya strategi pertahanan nasional kita mendasarkan diri pada sistem
pertahanan laut.
Terakhir, yang paling penting
dari semua itu adalah satu kenyataan dinamis bahwa Indonesia sebagai sebuah
negara bangsa mendiami kawasan laut yang sangat besar.
Dengan demikian, konstruksi
integrasi nasional NKRI mesti menjadikan laut sebagai ikatan sosial yang
sesungguhnya dari identitas nasional. Laut dan manusia yang hidup di
atasnya harus dilihat sebagai modalitas penting dalam mempertahankan
integrasi Indonesia.
Namun, hal ini menjadi sangat
memprihatinkan karena sepanjang perjalanan Indonesia pasca-kemerdekaan,
tidak banyak pemimpin dengan visi maritim yang tangguh. Bahkan, kita bisa
saksikan belum ada satu pun kandidat capres yang secara eksplisit
menegaskan bahwa masa depan Indonesia berada di laut.
Sistem kepemimpinan
Sistem kepemimpinan sosial kita
telah melahirkan calon-calon pemimpin yang berjarak kultural jauh dengan
dunia maritim. Tak mengherankan jika para pemimpin kita sekarang belum
memiliki pemaknaan visi kemaritiman.
Mengacu pada pandangan Weber
tentang proses sosial kepemimpinan, ada dua persoalan pokok dalam memaknai
lahirnya seorang pemimpin.
Pertama, sumber dari otoritas
kepemimpinan, dan kedua, pengetahuan untuk mengartikulasikan kuasa yang
diperoleh.
Karena itu, pada masa sekarang,
ketika rasionalitas menjadi acuan setiap upaya tindakan manusia, sumber
otoritas kepemimpinan etis, seperti institusi pendidikan, semestinya mampu
membangun konstruksi keilmuan yang dapat secara sistematis melahirkan
manusia-manusia Indonesia dengan cakrawala berpikir akrab laut sekaligus
memproduksi pengetahuan berperspektif kemaritiman.
Dengan cara itu, diharapkan
kontestasi kepemimpinan masa depan bisa penuh dengan gagasan bernas kembali
ke kejayaan masyarakat maritim. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar