PROSPEK EKONOMI
2014
Infrastruktur : Eksekusi yang Sangat Terlambat
M Clara Wresti ; Wartawan Kompas
|
KOMPAS,
25 Oktober 2013
PERTENGAHAN tahun 2013,
sesaat sebelum hari raya Idul Fitri, pemerintah dikejutkan dengan ledakan
barang impor yang menyerbu masuk Indonesia. Ribuan peti kemas impor
membanjiri Pelabuhan Tanjung Priok sehingga menimbulkan kemacetan karena
kapasitas pelabuhan yang terbatas.
Semua pemilik barang berteriak
karena kapasitas pelabuhan terbatas dan proses pengeluaran barang dari
pelabuhan lama, membuat pemilik barang harus membayar lebih mahal dari
seharusnya.
Tidak hanya lalu lintas barang di
pelabuhan laut yang mengalami kemacetan. Di Bandara Soekarno-Hatta, para penumpang
juga mengeluh. Sering kali mereka harus menunggu hingga puluhan menit di
dalam pesawat hanya untuk antre lepas landas atau berputar-putar di udara
untuk menunggu giliran mendarat.
Di darat, kondisinya juga tidak
jauh berbeda. Jutaan orang harus menghabiskan waktu, tenaga, dan bahan bakar
yang besar untuk bisa melakukan aktivitasnya. Kemacetan di jalan raya juga
telah mengancam mobilitas warga kota, yang tentu akan berdampak pada
produktivitas. Dinas Perhubungan Provinsi DKI Jakarta, berdasarkan hasil
studi evaluasi biaya kemacetan lalu lintas DKI Jakarta tahun 2010, mencatat,
kerugian akibat kemacetan lalu lintas di Jakarta mencapai Rp 45,198 triliun.
Kerugian mencakup komponen biaya
untuk bahan bakar kendaraan, operasi kendaraan, kehilangan nilai waktu,
kehilangan potensi ekonomi, dan pencemaran udara. Kerugian terbesar dari
kemacetan lalu lintas yang melingkupi DKI Jakarta adalah kehilangan nilai
waktu yang mencapai Rp 14 triliun lebih.
Kemacetan yang terjadi di darat,
laut, dan udara ini tentu saja membuat daya saing Indonesia menjadi rendah.
Walau World Economic Forum (WEF) telah meningkatkan peringkat Indonesia dalam
daftar daya saing global 2013 pada September lalu, dari urutan 50 menjadi
urutan 38 dengan skor 4,53, tetapi jika dibandingkan dengan negara lain di
Asia Tenggara, Indonesia dikalahkan Singapura, Malaysia, Brunei, dan
Thailand. Padahal, sebentar lagi, di tahun 2015, Indonesia harus bersaing
dengan negara-negara itu saat Masyarakat Ekonomi ASEAN diterapkan.
WEF menilai performa Indonesia
telah memperoleh nilai baik pada pembangunan infrastruktur, seperti
peningkatan kualitas jalan, penyediaan air bersih, pelabuhan, pembangkit
listrik, dan fasilitas lain.
Namun, di luar yang diungkapkan
WEF ini, kondisi Indonesia masih belum mencukupi. Kemacetan masih ditemukan
di banyak tempat. Masyarakat di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi masih
mengeluhkan layanan listrik yang buruk. Dengan kondisi ini, Bank Dunia
menyarankan Pemerintah Indonesia harus fokus pada kebijakan membangun
infrastruktur untuk menopang kebutuhan masyarakat dalam beraktivitas.
Menurut Direktur Pelaksana Bank
Dunia Sri Mulyani Indrawati di sela-sela Konferensi Tingkat Tinggi Kerja Sama
Ekonomi Asia Pasifik, di Bali, awal Oktober lalu, kurangnya dukungan
infrastruktur di Indonesia merupakan halangan untuk meningkatkan pertumbuhan
ekonomi, meningkatkan inflasi, dan menciptakan defisit neraca pembayaran.
”Indonesia membutuhkan investasi infrastruktur untuk menopang kebutuhan
masyarakat dalam beraktivitas,” kata mantan Menteri Keuangan Indonesia yang
kerap disapa Ani ini.
Ani juga mengatakan bahwa masalah
infrastruktur dihadapi oleh semua negara di dunia, baik negara miskin,
berkembang, maupun maju. Negara berkembang membutuhkan dana sebesar 1 triliun
hingga 1,2 triliun dollar AS untuk menopang pertumbuhan ekonomi, peningkatan
produktivitas, pengentasan rakyat dari kemiskinan, dan peningkatan
kesejahteraan rakyat.
Fokus infrastruktur
Menteri Keuangan Chatib Basri
sebelumnya mengatakan, Indonesia telah memilih untuk fokus pada masalah
infrastruktur. ”Indonesia secara konsisten memimpin upaya untuk meningkatkan
profil agenda reformasi infrastruktur di APEC serta forum lainnya, seperti
ASEAN dan G-20 serta menciptakan sinergi antarmereka,” ujarnya.
Dikatakannya, untuk memperkuat dan
mempertahankan pertumbuhan ekonomi, perekonomian yang sedang tumbuh perlu
menarik modal jangka panjang yang diinvestasikan dalam proyek infrastruktur
terbaik. ”Tantangan kita saat ini adalah mengambil langkah-langkah praktis
yang membutuhkan kerja dan niat, yang dipandu oleh prospek strategis,”
tuturnya.
Apa yang diputuskan pemerintah
untuk infrastruktur sudah tepat. Namun, masih dibutuhkan banyak dana dan
waktu yang cukup lama untuk bisa mewujudkan infrastruktur itu. Mengenai
kendala dana, Bank Dunia sudah menawarkan Global Infrastructure Facility,
yakni pembiayaan jangka panjang untuk pembangunan infrastruktur. Selain itu
China juga menyatakan ingin membangun bank infrastruktur untuk membantu
pembiayaan infrastruktur negara-negara di Asia.
Sekarang yang dibutuhkan adalah
komitmen yang kuat untuk tidak melakukan korupsi terhadap anggaran-anggaran
infrastruktur. Jangan ada lagi ditemukan daerah-daerah miskin, tetapi pejabat
publiknya bergelimang harta. Demikian juga proses lelang, harus dilakukan
dengan benar dan jujur.
Pertimbangan pemenang tender
jangan lagi sekadar yang menawarkan paling murah, tetapi juga
mempertimbangkan kemampuan dan kompetensi agar infrastruktur yang dihasilkan
adalah infrastruktur yang berkualitas dan tahan lama sehingga mendatangkan
manfaat bagi masyarakat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar